ABSTRAK
Berbagai sisi analisis telah dilakukan orang untuk menanggapi persoalan korupsi, hasil analisis tersebut baik secara langsung atau tidak telah membentuk opini publik dengan berbagai versinya. Dasar pijakan teoritisnya pun sangat beragam, mulai dari landasan moral, hukum positif, hukum internasional sampai ke hukum Islam. Namun sangat disayangkan, sejauh ini belum ada suatu kajian dalam perspektif hukum Islam yang dapat dikatakan konstruktif dan komprehensif. Padahal kajian seperti ini sangat ditunggu-tunggu umat, agar mereka tidak terus larut dalam opini yang tidak ber-hujjah. Tulisan ini mencoba membangkitkan kesadaran kita untuk menjawab tantangan ini, dengan mengutip khazanah Islam klasik penulis mencoba mengulas persoalan korupsi dari sisi filsafat hukum Islam. Tulisan ini menggelitik nurani kita pada essensi mashlahat syar`î sebagai standar dalam memaknai hukum Islam, bukan mashlahat yang diukur dengan logika manusia. Sebagai manusia kita memang cenderung mengedepankan rasionalitas dan mengagungkan akal, lalu bagaimana kita dapat menyelami nilai mashlahat syar`î?
PENGANTAR
Korupsi sangat merakyat dalam masyarakat kita, hal ini tergambar dari membuminya istilah uang minum, pelicin, biaya administrasi dan banyak lagi istilah lainnya yang sebenarnya tergolong dalam pungutan liar. Masyarakat juga sudah sangat paham, jika berurusan dengan kantor publik “tips” tambahan itu dapat mempersingkat waktu dalam pengurusan berbagai hal. Bahkan tanpa “tips”, urusan singkat pun bisa molor tak karuan.
Banyak pihak yang merasa terpanggil untuk memberikan sumbangsih dalam mengatasi persoalan korupsi ini. Namun kebanyakan mereka kehabisan energi sebelum upayanya memperoleh hasil. Seringkali faktor kesejahteraan menjadi kambing hitam guna menjustifikasi fenomena ini. Namun masalah sebenarnya adalah “krisis rasa sejahtera” di kalangan pengelola layanan publik. Seseorang tidak akan pernah kaya selama jiwanya masih miskin, tidak akan pernah cukup selama jiwanya tidak cukup pintar bersyukur.
Kemiskinan jiwa pengelola sektor layanan publik cukup nyata terlihat dalam penanganan korban gempa dan tsunami beberapa waktu lalu. Saat bantuan datang, mereka berlomba-lomba menyatakan bahwa dirinyalah yang paling membutuhkan bantuan itu. Sehingga ada yang mendahului mengambilnya sebelum dibagi, tentunya oleh mereka yang memegang wewenang penyaluran bantuan itu. Akibatnya, mereka yang tertimpa musibah terus menahan derita dan lapar.
Orang yang jiwanya kaya, akan berusaha memosisikan tangannya di atas. Memberi, tidak selamanya harus materi, memberikan kesempatan dan menyampaikan hak orang lain juga bentuk pemberian yang berhak atas balasan Allah.
A. PENDAHULUAN
Korupsi adalah penyakit kronis yang melanda bangsa ini, sampai hari ini telah diupayakan berbagai cara untuk mengobatinya namun belum ada yang menunjukkan hasil. Sebagian orang memandangnya sebagai penyakit sosial yang bersumber dari moral, dan berasumsi bahwa hanya dengan sanksi hukum terberat baru dapat disembuhkan. Ada juga yang mengaitkan dengan tinggi rendahnya semangat keberagamaan para pelakunya, lalu diperlihatkan lah kenyataan bahwa di Negara yang muslimnya dominan, justru korupsinya lebih parah. Tentunya setiap orang bebas berasumsi, namun haruslah menempatkan permasalahan secara proporsional, tidak profokatif, tidak terlalu cepat berkesimpulan. Apalagi jika telah masuk dalam wilayah hukum Islam, kita tidak boleh berlepas diri dari segala kaedah yang mengikat penafsiran.
Satu fenomena yang menarik bagi penulis adalah terbentuknya opini publik atas konsekwensi hukum yang patut untuk tindak pidana korupsi. Opini ini terbangun dari sudut pandang besarnya efek mudharat yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi, sehingga masyarakat awan pun berasumsi bahwa koruptor harus dipotong tangannya. Bahkan sebagian orang menganggap hukuman matilah yang cocok untuknya.
Memang Islam sangat mementingkan kemashlahatan umatnya, sehingga hukuman hadd diterapkan demi menjamin kelangsungan hidup dan terjaminnya kebutuhan primer (dharûriyât) manusia. Rasulullah sebagai teladan umat manusia menunjukkan sikap yang konsisten dan tegas dalam hal ini. Dalam sebuah riwayat oleh Bukhari dan Muslim, dari az-Zuhri dari `Urwah dari `Aisyah, dikabarkan bahwa pada hari penaklukan Mekkah kedapatan seorang wanita yang mencuri. Ternyata wanita tersebut memiliki kedudukan terhormat di kalangan orang-orang Qurays, mulailah mereka mencari jalan kompromi dengan Rasulullah. Untuk tugas ini, mereka memilih ‘Usamah ibn Zayd sebagai perantara, karena ia dianggap dekat dan disayangi Nabi Muhammad. Ketika Rasulullah datang, ‘Usamah pun menyampaikan pesan orang-orang Qurays itu. Wajah Rasulullah merah padam begitu mendengar penuturan ‘Usamah, beliau berkata: “Apakah kamu hendak memberi keringanan pada ketentuan (hadd) dari ketentuan-ketentuan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Megah?”. Sadar akan reaksi Rasulullah ini, ‘Usamah dengan bergetar serta merta memohon: “Ya Rasulullah, mohonkanlah ampunan Allah untukku”. Kemudian Rasulullah menyampaikan persoalan ini dalam khutbahnya, setelah menyampaikan puji kepada Allah, beliau bersabda:
Artinya: Sesungguhnya celakalah orang-orang sebelum kamu, karena jika orang mulia di kalangan mereka mencuri, mereka membiarkannya, sementara jika orang lemah yang mencuri, mereka menegakkan hukuman (hadd potong tangan) atasnya. Sedangkan aku, -demi Yang hidupku di tangan-Nya- kalau sekiranya Fathimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku potong tangannya.
Dalam hadits yang di-tashhîh oleh al-Bukhârî ini terlihat sikap Rasulullah yang sangat tegas dalam menindak pelaku pencurian. Dalam konsepsi hukum Islam, beliau memperkenalkan konsepsi Hak Allah dan Hak Anak Adam. Di satu sisi, harta yang dicuri wajib dikembalikan karena itu adalah pelanggaran terhadap Hak Anak Adam. Di sisi yang lain, pelakunya wajib dikenakan hukuman hadd, yaitu potong tangan, karena itu adalah Hak Allah.
Dalam hadits yang lain Rasulullah memerintahkan potong tangan seorang wanita yang mencuri perhiasan, lalu wanita itu bertanya: “Ya Rasulullah, apakah ini bagian dari taubat?”. Rasulullah menjawab: “Hari ini engkau bersih dari dosa kesalahanmu, seperti hari engkau dilahirkan oleh ibumu”. Betapa mulianya sikap Rasulullah, di samping beliau sangat tegas menerapkan hukum syara` tapi juga menjelaskan hikmah di balik penetapan hukum yang diterapkannya.
Namun dalam hukum Islam tidaklah mudah memotong tangan atau menerapkan hukuman mati terhadap seseorang. Pertama ia harus melalui khithâb taklîfî yang jelas, karena syari’at Islam tidak memberikan kebebasan interpretasi bagi hakim dalam penerapan hukuman berat seperti ini. Al-Qur’an mengatur dengan jelas aturan hukum untuk hadd, sehingga tidak memberikan kesempatan untuk digunakan pada selain yang telah ditentukan. Oleh karena itu, tidak serta merta hukum potong tangan dapat diterapkan pada selain mencuri, karena pentunjuk yang ada dalam al-Qur’an hanya sebagai hukuman bagi tindak pidana pencurian. Dalam hal ini, fuqaha Syafi’iyah bersikap tegas, salah satunya Imam al-Ghazâlî. Ia mengatakan, jika tidak didapatkan khithâb dari syara’, maka tidak ada hukum, oleh karena itu, kami berpendirian bahwa akal tidak dapat menetapkan kebaikan atau keburukan sesuatu, pengetahuan akal juga tidak mewajibkan syukur kepada mun’im, dan tidak ada hukum bagi perbuatan sebelum datang khithâb syâri’. Kedua, harus sesuai dengan ketentuan hukum wadh’i yang telah ditetapkan. Pada bagian ini al-Qur’an memberikan kelonggaran, sehingga kita menemukan perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan syarat, rukun dan hal-hal yang dapat mencegah diterapkannya hukuman hadd.
Dengan pertimbangan di atas, kami merasa tidak tepat penalaran yang digunakan dalam salah satu tulisan di sebuah jurnal terbitan Jakarta, yaitu Jurnal Dirosah Islamiyah volume I, nomor 1 tahun 2003. Penulisnya mengatakan bahwa seorang hakim boleh menjatuhkan hukuman mati terhadap koruptor, karena perbuatannya sangat merugikan dan membahayakan masyarakat. Ditambahkan lagi, bahwa seorang koruptor selain memperkaya diri juga mengkhianati Negara (menjual rahasia Negara) dan masyarakat. Setelah membaca tulisan itu, kami menemukan satu hadits yang ternyata tidak dibahas secara tuntas, konteks dan permasalahan di seputar hadits tersebut. Kami menakutkan hal ini dapat menyebabkan kesesatan opini publik, bukannya pencerahan publik. Dalam tulisan itu diketengahkan hadits di mana Nabi Muhammad pernah mencongkel mata pengkhianat, memotong tangan dan membiarkan mereka sampai mati di pinggiran Harrah. Jika hukuman ini kita pandang patut dalam Islam bahkan dicontohkan oleh Rasulullah, maka Islam akan semakin angker. Kita bahkan ikut mengkampanyekan “Islam yang Barbaric”, bukan rahmatan lil `alamîn. Mari sepintas lalu kita melihat pembahasan Ibn Katsîr dan Imam al-Fakhrurrâzî tentang hadits ini. Keduanya meriwayatkan hadits ini ketika menjelaskan Asbâbun Nuzûl ayat 33 surah al-Maidah, yaitu ayat yang membahas tentang Qâthi`uth Thâriq.
Ibn Katsîr mengangkat hadits ini dari riwayat al-Bukhârî dan Muslim, dikatakan bahwa sekelompok orang dari suku `Ukal menghadap Rasulullah, kemudian mereka ber-bay`at kepada Islam. Ketika berada di Madinah kesehatan mereka terganggu dan diserang sakit, maka mereka mengadukan kondisi itu kepada Rasulullah. Ketika mendengar ini, Rasulullah berkata: “Tidakkah lebih baik kalian keluar bersama penggembala kami dan unta?, kalian dapat meminum kencing dan susunya”, mereka menjawab: “Baiklah”. Maka mereka keluar meninggalkan Madinah, mereka minum dari unta itu sehingga kesehatan mereka pulih kembali. Ketika mereka telah sembuh, mereka membunuh penggembala Rasulullah dan menghalau untanya. Ketika berita ini sampai kepada Rasulullah, beliau memerintahkan pasukan untuk mencari mereka. Setelah mereka berhasil diringkus, Rasulullah datang, beliau memerintahkan agar tangan dan kaki mereka dipotong, mata dicungkil, kemudian dibiarkan di tengah terik matahari hingga mati. Satu hal yang perlu kita tambahkan di sini, bahwa dalam riwayat al-Bukhari ada tambahan perkataan Abû Qalâbah; “Maka sesungguhnya mereka itu telah mencuri, membunuh dan kafir setelah beriman. Dan lagi, mereka memerangi Allah dan Rasul-Nya”.
Imam al-Fakhrurrâzî juga mengetengahkan versi yang lebih kurang sama dengan yang diungkapkan oleh Ibn Katsîr. Hanya saja ia menyebutkan kelompok itu berasal dari suku `Uraynah. Setelah menuturkan riwayat itu, kemudian Imam al-Fakhrurrâzî menyatakan bahwa setelah peristiwa itu, turunlah ayat 33 Surat Al-Ma’idah untuk me-naskh-kan hukuman yang telah diputuskan oleh Rasulullah. oleh karena itu perbuatan Rasulullah itu menjadi batal dengan ayat ini.
Dari kutipan di atas, penulis menyimpulkan bahwa hukuman terhadap kelompok dari suku `Uraynah atau `Ukal itu bukan karena pengkhianatan, tapi akibat dari tindak pidana pembunuhan, pencurian, dan satu lagi yang lebih berat; murtad. Dan kemudian sanksi hukuman yang diterapkan Rasulullah itu diganti dengan ketetapan yang lain, yaitu yang ditetapkan Allah dalam ayat 33 surat al-Ma’idah tentang Qâthi`uth Thâriq. Jika kita berpegang kepada kelompok yang menafsirkan ayat ini dalam konteks residivis muslim, maka hukumannya menjadi lebih ringan menurut ukuran logika kita. Kalau sebelumnya tangan dan kaki dipotong, matanya dicungkil dan dibiarkan hingga mati, kini hukumannya lebih proporsional, ancamannya sesuai dengan tingkat kesalahan, tanpa dicungkil matanya. Jika si Qâthi`uth Thâriq mengambil harta dalam jumlah yang sampai nisab, maka dipotong tangan kanan dan kaki kirinya, kalau ia mengulangi lagi, maka dipotong lagi tangan kiri dan kaki kanannya. Sementara dalam kasus tidak mengambil harta, tapi ia membunuh, maka ia diancam bunuh pula (qishâsh). Tapi jika ia membunuh dan mengambil harta, maka ia dibunuh dan di sula, yaitu dipancangkan di tempat umum selama tiga hari setelah dimandikan, dikafankan dan dishalatkan.
Terkait dengan pembahasan ini, ada satu hal yang harus kita renungkan kembali. Terserah kita memandang bahwa Rasulullah dalam kasus di atas, menetapkan hukuman atas dasar ilham atau ijtihad sendiri, turunnya ayat setelah peristiwa itu, apakah menunjukkan teguran Allah bagi Rasul-nya. Namun satu hal yang perlu kita ulang kaji, bukankah turunnya ayat ini dapat berarti –bagi kita- jangan main-main pada hadd dan qishâsh?. Lalu bagaimana kita hendak menetapkan hukuman potong tangan dan apalagi hukuman mati bagi koruptor jika tidak ada nash qath`i yang menggariskannya?. Mungkin ada satu peluang untuk itu, yaitu sisi mashlahah. Katakanlah kita sepakat menggunakan mashlahah sebagai dasar dalam pertimbangan hukum. Lalu apakah kemashlahatan cukup kuat untuk dijadikan dasar hukum menetapkan sanksi seberat potong tangan dan hukuman mati?.
Saya kira tantangan kita yang terberat adalah, membaca ketentuan asy-Syâri` dalam menghargai mashlahat, belum tentu sesuatu yang di pandang mashlahat oleh akal manusia juga mashlahat menurut ketentuan asy-Syâri`. Misalnya kasus ulama Andalus yang memutuskan seorang pembesar kerajaan harus menjalani puasa dua bulan berturut-turut, bukan memerdekakan budak. Padahal asy-Syâri` telah menetapkan kifarat memerdekakan budak bagi orang yang melakukan hubungan intim di bulan Ramadhan, kecuali jika seseorang tidak memiliki budak baru beralih kepada puasa dua bulan berturut-turut. Ulama itu beralasan agar si pembesar menjadi jera, sebab ia punya banyak budak, jadi kifarat itu sangat mudah baginya. Imam al-Ghazâlî menyatakan, bahwa ini adalah pertimbangan mashlahat yang menyalahi nash. Jika ini ditolerir, maka akan berefek pada diubahnya semua hadd syar`i dan nashnya dengan sebab berubahnya kondisi. Kemudian menurut al-Ghazâlî, jika diketahui bahwa hal ini adalah bagian dari perbuatan para ulama, maka dapat menghilangkan kepercayaan terhadap fatwa ulama.
Penulis merasa, kita tak perlu tergesa-gesa menuju pada kesimpulan. Apalagi jika keputusan yang dikeluarkan hanya untuk maksud memberikan tekanan mental, ini akan menunjukkan ketidakseriusan kita dan menghilangkan kepercayaan masyarakat. Perlu kita ingat, apapun hukuman yang patut atasnya haruslah bebas dari pengaruh emosi/nafsu manusia. Kita masih harus lebih banyak meneliti dan mengkaji.
B. PEMBAHASAN
a. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Korupsi
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata korupsi berarti perbuatan yang buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang suap dan sebagainya. Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin, yaitu corruptio atau corruptus yang berarti menyuap. Dan selanjutnya dikatakan bahwa corruptio itu berasal dari kata asal corrumpere yang berarti merusak. Dari bahasa Latin ini kemudian turun ke banyak bahasa Eropa lainnya seperti Inggris, Perancis dan Belanda. Menurut Jur. Andi Hamzah, kata korupsi dalam bahasa Indonesia adalah turunan dari Bahasa Belanda yaitu corruptie (korruptie) yang berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Di Indonesia istilah korupsi pada awalnya bersifat umum, namun kemudian menjadi istilah hukum sejak dirumuskannya Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957 tentang korupsi. Berdasarkan konsideran peraturan tersebut, korupsi memiliki dua unsur: pertama, perbuatan yang berakibat pada kerugian perekonomian Negara. Kedua, perbuatan yang berbentuk penyalahgunaan wewenang untuk memperoleh keuntungan tertentu.
Menurut Philip (1997) –sebagaimana dikutip Munawar Fuad Noeh- ada tiga pengertian luas yang sering dipakai dalam berbagai pembahasan tentang korupsi. Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kantor publik (public office-centered corruption), yang didefinisikan sebagai tingkah laku dan tindakan seseorang pejabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau keuntungan bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya, seperti keluarga, karib kerabat, dan teman. Pengertian itu, seperti terlihat, juga mencakup kolusi dan nepotisme, pemberian patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit.
Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public interest-centered). Dalam kerangka ini, korupsi dapat dikatakan telah terjadi jika seseorang pemegang kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik yang melakukan tindakan-tindakan tertentu dari orang-orang yang akan memberikan imbalan (apakah uang atau yang lain), sehingga dengan demikian merusak kedudukannya dan kepentingan publik.
Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) berdasarkan analisis tentang korupsi yang mengunakan teori pilihan publik dan sosial dan pendekatan ekonomi di dalam kerangka analisis politik. Dalam kerangka ini, maka korupsi adalah lembaga ekstra legal yang digunakan individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mendapatkan pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Karena itu eksistensi korupsi jelas mengindikasikan, hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain.
Gambaran praksis yang lebih formal dari tindak pidana korupsi dapat kita temukan dalam Undang-undang pemberantasan korupsi nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001, pada hakikatnya merupakan gabungan rumusan dari berbagai Undang-Undang Yaitu: Ketentuan pasal I Undang-Undang nomor 3 tahun 1971 yang diadopsi kedalam pasal 2, pasal 3, dan pasal 13 Undang-undang tindak pidana pemberantasan korupsi. Perbuatan pidana yang diambil dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), adalah ketentuan yang dimuat dalam:
a. Pasal 5 berkenaan dengan larangan: “memberikan atau Menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri...”
b. Pasal 6 tentang larangan “Memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan...”
c. Pasal 7 tentang larangan bagi: “Pemborong atau ahli bangunan untuk melakukan perbuatan curang dalam penyerahannya yang dapat membahayakan orang atau barang…”
d. Pasal 8 tentang larangan bagi pegawai Negeri untuk: “Menggelapkan Uang atau surat berharga”
e. Pasal 9 tentang larangan bagi pegawai negeri atau orang selain pegawai, yang diberi tugas menjalankan jabatan umum, dengan sengaja memalsukan buku-buku atau daftar –daftar khusus untuk pemeriksaan Administrasi dsb.
Pasal-pasal lain yang penting adalah pasal 12 B, Pasal 12 C, dan pasal 13 undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang larangan melakukan atau menerima Grafikasi (Hadiah).
Grafikasi adalah pemberian atau hadiah yang diberikan kepada PNS atau penyelenggara Negara yang berhubungan dengan jabatan padahal tidak ada ketentuan pembayaran yang harus dilakukan oleh seorang pelanggan. Bentuk perbuatan tersebut berupa: pemberian dalam arti luas baik dalam bentuk pemberian uang atau barang, berbagai fasilitas seperti penginapan, wisata, pengobatan cuma-cuma, rabat (discount) yang tidak wajar, komisi (kick back) dan sebagainya.
Dari berbagai pembahasan tentang korupsi, kita menemukan banyak sekali bentuk dan macam praktek korupsi, sehingga menyulitkan dalam mengidentifikasi dan mencarikan korelasinya dengan ketentuan Hukum Islam (Fiqh Jinayat). Namun dari berbagai pola dan bentuk korupsi tersebut dapat kita buat klasifikasi yang akan mengelompokkannya sesuai ciri umumnya. Munawar Fuad Noeh, menyimpulkan bahwa sedikitnya terdapat tujuh macam korupsi: Pertama, korupsi transaksional, yaitu korupsi yang melibatkan dua pihak. Keduanya sama-sama mendapat keuntungan dan karenanya sama-sama mengupayakan secara aktif terjadinya korupsi.
Kedua, korupsi yang bersifat memeras, yaitu apabila pihak pertama harus melakukan penyuapan terhadap pihak kedua guna menghindari hambatan usaha dari pihak kedua itu.
Ketiga, korupsi yang bersifat ontogenik, yaitu hanya melibatkan orang yang bersangkutan. Misalnya, seseorang anggota parlemen mendukung golnya sebuah rancangan undang-undang, semata karena undang-udang tersebut akan membawa keuntungan baginya.
Keempat, korupsi defensive, yaitu ketika seseorang menawarkan uang suap untuk membela dirinya.
Kelima, korupsi yang berarti investasi. Misalnya memberikan pelayanan barang atau jasa dengan sebaik-baiknya agar nantinya mendapat ‘uang terima kasih’ atas pelayanan yang baik itu.
Keenam, korupsi yang bersifat nepotisme. Yaitu penunjukan ‘orang-orang saya’ untuk jabatan-jabatan umum kemasyarakatan, atau bahwa ‘keluarga’ sendiri mendapatkan perlakuan khusus dalam banyak hal.
Ketujuh, korupsi supportif, yaitu korupsi yang tidak secara langsung melibatkan uang, jasa atau pemberian apapun. Misalnya, membiarkan berjalannya sebuah tindakan korupsi dan bersikap masa bodoh terhadap lingkungan dan situasi yang korup.
Untuk lebih mengarahkan pembahasan kita, ada baiknya kita rumuskan terlebih dahulu karakteristik dan praktik dari korupsi. Di bawah ini penulis sertakan satu tabel yang merupakan penyederhanaan dari berbagai pengertian dan pembahasan yang telah penulis kutip sebelumnya. Perlu penulis ingatkan, bahwa tabulasi ini hanya terbatas dari beberapa referensi yang penulis gunakan saja, jadi tidak menutup kemungkinan adanya penafsiran lain yang berbeda. Dengan tabulasi ini penulis hanya ingin mengajak pembaca untuk menyatukan persepsi tentang batasan korupsi yang sedang kita bicarakan. Sehingga pembaca tidak akan menempatkan analisa penulis di sini untuk jenis korupsi yang sebenarnya di luar pembicaraan kita.
KORUPSI
Dilakukan oleh pejabat publik untuk kepentingan pribadi/kelompok
Pengertian Unsur Pelanggaran Perbuatan
• Public office-centered corruption. Penyimpangan oleh petugas publik untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
• Public interest-centered. Melakukan tindakan tertentu dari orang yang memberi imbalan.
• Market-centered. Individu atau kelompok tertentu menggunakan lembaga tertentu untuk mendapat pengaruh terhadap kebijakan. • Merugikan Perekonomian Negara.
• Menyalahgunakan Wewenang • Menerima hadiah
• Memanipulasi data, memalsukan buku, daftar dll.
• Bersikap masa bodo, membiarkan tindakan korupsi berjalan di lingkungannya.
• Kolusi
• Nepotisme
• Memberi patronase
• Menerima suap
• Menyogok untuk membela diri
• Menggelapkan uang, surat dll.
• Memberikan pelayanan yang baik untuk mendapat imbalan.
• Memeras
• Menunjuk keluarga/ orang sendiri untuk jabatan tertentu.
b. Korupsi dalam Konsepsi Hukum Islam
Dalam literatur Islam tidak terdapat istilah yang sepadan dengan korupsi, namun korupsi dapat dikategorikan sebagai tindak kriminal (ma`shiyat) dalam konteks risywah (suap), saraqah (pencurian), al-ghasysy (penipuan), dan khiyânah (pengkhianatan). Dalam analisis fenomenologis, menurut S.H. Alatas, korupsi mengandung dua unsur penting yaitu penipuan dan pencurian. Apabila bentuknya pemerasan itu berarti pencurian melalui pemaksaan terhadap korban. Apabila berbentuk penyuapan terhadap pejabat itu berarti membantu terjadinya pencurian. Jika terjadi dalam penentuan kontrak, korupsi ini berarti pencurian keputusan sekaligus pencurian uang hasil keputusan itu.
Namun dalam konsepsi hukum Islam sangat sulit untuk mengkategorikan tindak pidana korupsi sebagai delik sirqah (pencurian). Hal ini disebabkan oleh beragamnya praktek korupsi itu sendiri yang umumnya tidak masuk dalam definisi sirqah. Namun jika dalam satu kasus tindak pidana korupsi telah sesuai dengan ketentuan sirqah, maka tidak diragukan lagi ia terkena ketentuan hadd sirqah dan pelakunya dikenakan hukum potong tangan. Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah, dengan lugas mengkategorikan bahwa jika seseorang mengambil harta yang bukan miliknya secara sembunyi-sembunyi dari tempatnya (hirz mitsl) maka itu dikategorikan sebagai pencurian, jika ia mengambilnya secara paksa dan terang-terangan, maka dinamakan merampok (muhârabah), jika ia mengambil tanpa hak dan lari, dinamakan mencopet (ikhtilâs), dan jika ia mengambil sesuatu yang dipercayakan padanya, dinamakan khiyânah.
Agar memudahkan pembahasan kita dalam tulisan ini, penulis akan mensistematikakan pembahasan dengan mengklasifikasikan korupsi dalam kategori risywah (suap), saraqah (pencurian), al-gasysy (penipuan), dan khiyânah (pengkhianatan).
1. Risywah (suap)
Dengan merujuk kepada pembagian macam korupsi yang diklasifikasikan oleh Munawar Fuad Noeh, maka yang termasuk dalam kategori risywah adalah korupsi yang bersifat memeras (urutan kedua), korupsi devensif (urutan keempat), dan korupsi yang berarti investasi (urutan kelima). Untuk memulai penjelasan hal ini, marilah kita melihat definisi risywah yang dirumuskan oleh para fuqaha.
Di dalam kitab I’ânatuth Thâlibîn, as-Sayyid Abû Bakr mendefinisikan risywah sebagai berikut.
Risywah adalah memberikan sesuatu agar hukum diputuskan secara tidak benar/tidak adil, atau untuk mencegah putusan yang benar/adil.
Definisi yang lebih kurang sama diberikan oleh al-Jurjani dalam kitabnya at-Ta`rîfât. Lazimnya risywah terjadi dalam kasus peradilan, sehingga para fuqaha sering membahasnya dalam konteks peradilan. Namun dalam salah satu hadits yang dikutip oleh as-Sayyid Abû Bakr dalam I’ânatuth Thâlibîn ternyata ia juga diharamkan dalam konteks penguasa Negara. Ia mengatakan:
Sesungguhnya hadits tentang pengharaman memberi hadiah kepada penguasa sahih, sebagiannya adalah sabda Rasulullah Saw.; Memberi hadiah kepada penguasa –dalam satu riwayat disebutkan “umara”- adalah perbuatan khianat. Selanjutnya ia menambahkan bahwa yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah pemberian dari seseorang kepada imam (pemimpin) dan diterimanya, maka ini adalah perbuatan khianat terhadap kaum muslimin. Karena seorang pemimpin tidak diperlakukan khusus dibandingkan kaum muslimin umumnya. Kekhususan untuk boleh menerima hadiah hanya berlaku bagi Rasulullah, karena beliau bersifat ma`shûm (terpelihara).
Imam al-Nawawi dalam kitab Mugnî, menetapkan keharaman risywah, fatwa yang sama juga diutarakan oleh Ibn Ziyâd. Dalam kitab Bughyat al-Mustarsyidîn, Ibn Ziyâd menfatwakan bahwa risywah hukumnya haram secara mutlak, baik ia bertujuan untuk menghasilkan keputusan hukum dengan tidak benar atau menghukum dengan benar. Pada kasus ini si penyuap mengetahui jika tidak diberikan risywah hakim akan menghukum dengan tidak benar. Tetapi urutan dosa pada masalah yang kedua (memberi risywah untuk mendapat putusan hukum yang benar) lebih ringan daripada dosa pada kasus pertama. Ibn Ziyâd mengutip salah satu sabda Rasulullah;
Artinya: Rasulullah melaknat orang yang menyuap, memberi suap dan perantara antara keduanya (H.R. at-Tirmidzi)
Selanjutnya Ibn Ziyâd menegaskan, bahwa hukum haram terhadap si penyuap hanya apabila risywah itu membawa pada pengambilan hak orang lain atau membawa kepada pembatalan hak orang lain yang ada dalam tanggung jawabnya. Adapun jika si penyuap menyogok untuk mendapatkan haknya yang terhalang –dengan kata lain, ia tidak akan mendapatkan haknya tanpa menyogok- maka yang berdosa hanya si penerima suap.
Adapun perantara, maka ketentuan hukum baginya adalah sesuai dengan pihak mana yang diwakilinya. Jika ia mewakili si penyuap maka hukum yang dikenakan adalah hukum penyuap, atau sebaliknya jika ia mewakili si penerima suap.
Dari fatwa di atas kita melihat ketegasan sikap ulama terhadap praktek suap menyuap. Bahkan dalam konteks peradilan, para ulama melakukan tindakan preventif dengan mengharamkan penerimaan hadiah oleh seorang qadhi padahal itu belum secara otomatis dapat disebut risywah. Ulama Fiqh berpendapat bahwa seorang qadhi tidak boleh menerima hadiah dari siapa saja, baik dalam bentuk uang atau lainnya bila si pemberi tidak biasanya memberi hadiah (sebelum ia menjabat). Atau orang itu pernah memberinya hadiah, tetapi setelah ia memangku jabatannya, orang tersebut melebihkan jumlah dan jenisnya. Dalam kitab I’ânatuth Thâlibîn, as-Sayyid Abû Bakr menulis:
Haram bagi qadhi (imam) menerima hadiah dari orang yang tidak pernah memberinya hadiah sebelum ia menjadi qadhi, atau pernah tapi ia menambahkan jumlah atau jenisnya, hal ini bila terjadi dalam wilayah kepemimpinannya, adapun dari orang yang diluar lingkungan kepemimpinannya maka dibolehkan, dan haram juga menerima hadiah dari orang yang mempunyai keterlibatan kasus, atau orang yang menjadi lawan politik baginya, dikarenakan hal ini nanti bisa mengakibatkan imam akan cenderung kepadanya dan mendukung segala kehendaknya dan dapat melemahkan dirinya dalam memutuskan keputusan yang benar dan adil.
Dari ketetapan di atas terlihat penalaran yang digunakan as-Sayyid Abû Bakr, di mana kecenderungan emosional manusia dapat mempengaruhi keputusan yang akan diambilnya. Bagi mereka yang memegang kewenangan di sektor publik, kondisi ini dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain dan harus dicegah sejak dini. Sama halnya dengan larangan memutuskan perkara dalam kondisi emosi sedang labil. Atas pertimbangan itu pula as-Sayyid Abû Bakr mengemukakan ketetapan hukum tentang dua hal berikut:
Seorang hakim tidak dibenarkan memutuskan hukum bagi dirinya, orang tuanya, anak-anaknya dan bagi mitra kerjanya. Tetapi mereka di putuskan oleh imam atau hakim yang lain, atau penggantinya, hal ini untuk menghindari tuhmah (kesenjangan). Kata-kata “wa la li ba`dh”maksudnya adalah, hakim tidak dibenarkan memutuskan suatu kebijakan atau hukum bagi sebagian orang tua (ibu bapak) dan anak-anaknya, karna hal ini dapat menimbulkan kesenjangan di pihak lain, mereka akan menilai dalam proses pengambilan keputusan terdapat unsur nepotisme. Demikian juga kepada kerabat atau mitranya, dalam hal ini orang akan menganggap adanya unsur kolusi.
Di dalam kitab Fiqh ulama mengatakan bagi seorang imam (pemimpin) haram menerima suap dari siapapun, karena hal ini bisa melemahkan kredibilitas seorang pemimpin yang idealnya berperan sebagai pihak yang netral terhadap seluruh rakyatnya. Dengan menerima hadiah, ia akan bersikap lunak dalam setiap kebijakannya. Apalagi pelaku memberikan suap jelas-jelas untuk suatu maksud yang dapat menghilangkan atau mengurangi hak orang lain.
2. Saraqah (pencurian)
Dengan merujuk hasil analisis fenomenologis S.H. Alatas, maka korupsi mengandung dua unsur penting yaitu penipuan dan pencurian. Dalam analisis ini, Alatas mencoba menarik sifat-sifat umum dari praktek korupsi, sehingga ia menyimpulkan bahwa apabila bentuknya pemerasan itu berarti pencurian melalui pemaksaan terhadap korban. Apabila berbentuk penyuapan terhadap pejabat itu berarti membantu terjadinya pencurian. Jika terjadi dalam penentuan kontrak, korupsi ini berarti pencurian keputusan sekaligus pencurian uang hasil keputusan itu.
Secara sekilas pandang, logika kita akan tergiring untuk menerima penalaran seperti yang dikemukakan S.H. Alatas. Tapi jika kita melakukan kajian fiqh atas praktek korupsi dan menerapkan metode ushûlî dalam pendekatan hukum atasnya, maka kita takkan berani untuk langsung berkesimpulan seperti di atas. Karena dalam setiap penemuan hukum, Islam menggariskan aturan ketat sebagai standar dalam menetapkan hukum. Sebab, Hukum Islam adalah hukum yang identik dengan ‘Ketentuan Allah’, sehingga setiap keputusan hukum dipandang sebagai ketetapan dari Allah, oleh sebab itu seorang Praktisi Hukum Islam tidak boleh sembarangan mendeduksi hukum jika tidak menemukan relevansi yang meyakinkan dari nash. Dengan kata lain, seseorang tidak boleh secara sembarangan berbicara atas nama Allah. Apalagi jika menyangkut dengan hadd, penulis yakin, orang-orang pasti akan menghindar dan cuci tangan jika setelah memotong tangan orang lain, ternyata terbukti telah menjalankan keputusan hukum yang salah.
Kalau kita memperhatikan hukum Islam, maka kita akan menemukan bagaimana ketetapan hukum yang berkaitan dengan hadd ditetapkan secara terperinci dalam al-Qur’an. Misalnya hadd zina, hadd bagi orang yang menuduh orang lain berzina, hadd minum khamr dan sebagainya, semuanya tidak memberikan ruang bagi hakim untuk menginterpretasi sanksi hukumnya. Berbeda dengan ketentuan hukum lainnya dalam hal mu`amalah, al-Qur’an hanya memberikan tuntunan dan hakim lebih berperan dalam menetapkan ketentuannya dengan memperhatikan mashlahat syar`i. Hal ini jelas karena Islam sangat menghargai dan menjaga bahkan melindungi hak hidup seseorang. Hukuman hadd pun diterapkan untuk menjamin kelangsungan hidup manusia, namun dalam penerapannya juga tidak boleh memiliki celah yang dapat mengangkangi hak orang lain.
Secara etimologis, mencuri adalah perbuatan seseorang yang mendatangi tempat penyimpanan suatu benda, lalu ia mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Sedangkan secara terminologis, mencuri adalah mengambil harta yang bukan haknya secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya dengan syarat-syarat tertentu. Sanksi hukum atasnya adalah potong tangan (Hadd Sirqah). Dasar hukum hadd sirqah merupakan ketetapan yang tidak dapat ditawar-tawar, karena secara qath`î sudah ditetapkan dalam al-Qur’an:
Artinya: Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, hendaklah dipotong tangan keduanya, sebagai balasan bagi pekerjaan keduanya dan sebagai siksaan dari perkejaan keduanya dan sebagai siksaan dari Allah, Allah Maha Perkasa lagi Maha bijaksana. (Q.S. al-Maidah: 38)
Mencuri termasuk dalam dosa besar sehingga disyari`atkan potong tangan, Rasulullah Saw. bersabda:
Artinya: Seseorang tidak akan berzina, jika saat berzina ia dalam kondisi beriman. Dan seseorang tidak akan mencuri, jika pada saat mencuri ia dalam keadaan beriman.
Para ulama menetapkan kewajiban bagi penguasa untuk memotong tangan pencuri setelah adanya pengaduan dari pemilik harta dan terbukti kasusnya. Yang dipotong adalah pergelangan tangan kanan si pencuri -baik lelaki atau perempuan- yang mencuri dengan kadar seperempat dinar. Jumlah ini dijadikan standar terhadap benda lain yang dicurinya, artinya setiap pencurian yang telah sampai kadar seperempat dinar dikenakan hukum potong tangan. Syarat lainnya adalah, benda yang dicuri berada pada tempat penyimpanan yang semestinya. Jika kita memperhatikan pendapat para ulama, mereka sepakat dengan hukuman potong tangan, hanya saja mereka berbeda dalam menetapkan kadar jumlah nisab yang menjadi ukuran untuk potong tangan.
Dari ayat di atas, dan hadits-hadits yang dapat digunakan sebagai hujjah, ketetapan hukum potong tangan hanya diterapkan untuk tindak pidana pencurian saja. Oleh karena itu, tentunya tidak boleh hanya dengan mengandalkan logika lantas hukum tersebut diterapkan pada tindak pidana lain yang dianggap oleh -sebagian orang- serupa atau lebih parah dari pada korupsi. Apalagi ada hadits lain yang jelas-jelas menetapkan hukuman yang berbeda. Para ulama membedakan ketentuan hukum bagi tindak kriminal selain mencuri, berdasarkan sabda Rasulullah:
Artinya: Pencopet, perampok dan pengkhianat tidak boleh dipotong tangannya.
Pencopet dan perampok mengambil harta secara terang-terangan, hanya saja pencopet memilih melarikan diri setelah mengambil harta orang lain, sedangkan perampok mengandalkan kekuatan untuk memaksa pemilik menyerahkan hartanya. Berbeda dengan pencuri yang melakukan aktifitasnya dengan sembunyi-sembunyi. Menurut Jalâluddîn Al-Mahallî, karena dilakukan secara sembunyi-sembunyi maka pada pencurian disyari’atkan potong tangan agar orang-orang takut melakukannya. Dari penalaran ini, maka perspektif hukuman potong tangan tidaklah semata-mata ditujukan untuk menghukum pelaku pencurian, tapi lebih berdimensi pencegahan. Di mana orang akan merasa takut untuk mencuri harta orang lain, karena terancam putusnya tangan jika mencuri.
As-Sayyid Abû Bakr mengatakan, bahwa pencuri mengambil harta secara sembunyi-sembunyi, sehingga tidak mungkin mencegahnya dengan kekuatan secara langsung. Sementara pencopet dan perampok mengambil harta secara nyata dan terang-terangan, sehingga memungkinkan untuk dicegah atau ditindak langsung ketika sedang beraksi. Sedangkan pada kasus pengkhianat, harta memang telah diserahkan kepadanya oleh pemilik harta itu sendiri. Sehingga dapat dituntut kembali melalui hakim dengan menghadirkan saksi jika ia mengkhianati (mengambil) harta yang diamanahkan padanya.
Dari pembahasan ini, kita menemukan bahwa hikmah –kalau tidak dapat disebut sebagai `illat- dari penetapan hukum potong tangan untuk pencuri adalah karena perbuatan si pencuri tidak dapat dicegah langsung. Sebab dilakukan secara sembunyi-sembunyi, yaitu saat pemilik barang tidak berada ditempatnya, atau barang itu tidak bersama pemiliknya. Berbeda dengan kasus copet, rampok dan khianat yang memungkinkan untuk dicegah, dilawan, ditindak langsung dan ditelusuri kembali. Untuk kasus yang mungkin dilalukan perlawanan, para ulama menambahkan satu bab khusus, yaitu daf`us sa’il (melawan untuk penyelamatan). Memperhatikan hikmah hukum ini, penulis merasakan adanya perbedaan mendasar antara pencurian dengan tindak pidana korupsi, sehingga tidak mungkin menyamakan hukuman bagi koruptor dengan pencuri. Koruptor tetap dapat ditelusuri dan dimintai pertanggung jawabannya serta mengembalikan harta itu, sedangkan pencuri sulit dilacak. Oleh karena itu penulis lebih cenderung mengkategorikan korupsi sebagai tindak pengkhianatan.
Selain itu, jika merujuk kepada ketentuan syarat dan rukun yang ditetapkan ulama untuk dapat diterapkannya hukuman potong tangan, maka hukuman itu baru dapat diterapkan jika tidak ada percampuran (syubhat) milik. Artinya, jika ia mempunyai bagian dalam harta yang dicurinya, maka tidak dapat diterapkan hukuman potong tangan, walau ia tetap berdosa dan wajib mengembalikan harta itu. Nah, kalau pada suatu kasus korupsi, si koruptor dianggap memiliki bagian (hak) dalam harta yang didistribusikannya, maka ia juga tidak boleh dikenakan hukuman potong tangan.
Dari sudut pandang yang lain, harta yang diambil oleh seorang koruptor adalah harta yang belum jelas siapa pemiliknya. Ia ditugaskan untuk mendistribusikan harta tersebut, namun belum jelas siapa individu yang menerima harta itu, jadi belum jelas siapa individu yang dirugikan. Pada dasarnya hikmah pensyari’atan hadd sirqah adalah untuk pemeliharaan harta, yaitu harta yang dimiliki oleh individu tertentu. Yang dimaksud dengan memiliki adalah harta milik seseorang dan sudah diterimanya serta disimpan pada tempat yang layak (hirz mitsl). Jadi hikmah yang ingin dicapai pada pemeliharaan harta (hifzhul mal) adalah mencegah idzâ’ (menyakiti) terhadap si pemilik harta. Sedangkan pada korupsi, idzâ’-nya belum pasti atau tidak langsung dibanding pencurian harta milik seseorang.
Kembali kepada logika yang dikemukakan S.H. Alatas. Jika kita melihat bahwa korupsi menimbulkan efek mudharat yang lebih besar dari pencurian, sehingga layak dihukum lebih berat dari pada pencuri. Maka logika ini akan tertolak dengan kenyataan adanya satu tindak pidana lain yang hampir sama dengan mencuri, tapi tidak masuk dalam definisi as-Sirqah yaitu penyamun (Qâthi`uth Thâriq). Perbuatan penyamun lebih buruk daripada pencuri, selain mengambil harta, penyamun juga melakukan pembunuhan, oleh karenanya ketentuan hukum bagi penyamun lebih berat, sebagaimana dalam ayat berikut.
Artinya: Sesungguhnya balasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan melakukan kerusakan di bumi adalah dibunuh atau disula, atau dipotong tangan dan kakinya secara bersilangan,atau…... (Q.S. al-Maidah: 33)
Imam al-Fakhrurrâzî menyimpulkan, bahwa menurut kebanyakan fuqaha ayat ini turun untuk menjelaskan tentang Qâthi`uth Thâriq (penyamun) di kalangan kaum muslimin. Dari essensi ayat ini, penulis berasumsi bahwa bagi setiap hukuman hadd, ketetapan hukumnya tetap harus digariskan oleh nash. Pada ayat 33 surat al-Ma’idah ditetapkan hukuman bagi penyamun, yang ketetapan itu lebih berat dari pada hukuman terhadap pencuri, karena tindakan penyamun lebih parah dari pada tindakan pencuri. Demikian pula idealnya dengan korupsi, seandainya korupsi dipandang lebih berat dari pada mencuri, tentunya akan ada ayat atau hadits yang menetapkan hukuman hadd atasnya, sebagaimana pada Qâthi`uth Thâriq. Karena logikanya, tidak mungkin pada suatu pelanggaran yang efek kerusakannya lebih besar dari mencuri atau bahkan lebih besar dari Qâthi`uth Thâriq tidak ditetapkan hukuman yang sesuai atasnya. Padahal Rasulullah sudah melihat indikasi ini, tidak mungkin beliau tidak mengetahui bahwa nanti sepeninggalnya akan merebak kasus korupsi, sedangkan beliau bersabda:
Artinya: Rasulullah Saw. bersabda: “Memberi hadiah kepada penguasa adalah tindakan pengkhianatan”
Pada bagian pendahuluan, kita sudah mengklasifikasikan model-model korupsi yang sering dilakukan. Dari klasifikasi tersebut, penulis tidak menemukan syarat-syarat yang cukup untuk mengkategorikannya sebagai tindak pidana pencurian. Dari penelusuran penulis, korupsi hanya dapat dikategorikan sebagai tindak pengkhianatan, karena pelakunya adalah orang yang dipercayakan untuk mengelola harta kas negara. Oleh karena seorang koruptor mengambil harta yang dipercayakan padanya untuk dikelola, maka tidak dapat dihukum potong tangan. Dalam konteks ini, `illat hukum untuk menerapkan hukum potong tangan tidak ada.
Dari pembahasan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa dalam perspektif fuqaha Syafi`iyah, tindak pidana korupsi tidak dapat dikategorikan sebagai pencurian. Karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam sirqah. Korupsi hanya dapat dikategorikan sebagai tindakan pengkhianatan.
3. Khiyânah (pengkhianatan).
Khiyânah secara etimologis bermakna perubahan hal seseorang menjadi jahat (syarr). Dalam sebuah hadits, Rasulullah menyampaikan: “Kesaksian si Khâ’in dan Khâ’inah (laki-laki dan perempuan yang berbuat khianat) ditolak”. Seseorang yang dipercayakan sesuatu padanya tentu karena dapat dipercaya, jika kemudian dia mengkhianati kepercayaan itu, berarti dia berubah menjadi jahat. Sedangkan secara terminologis bermakna, perbuatan seseorang yang mengambil sesuatu yang dipercayakan (dititipkan) padanya. Di lihat dari penggunaannya, kalimat ini dapat bermakna pengkhianatan seseorang terhadap rahasia negara atau materi tertentu yang dipercayakan padanya.
• Pengkhianatan terhadap Rahasia Negara
Perlu kita ingat, bahwa Islam sangat menjaga darah kaum muslimin, Imam Asy-Syâfi’î pernah ditanyakan tentang seorang muslim yang membeberkan rahasia kaum muslimin kepada kaum musyrikin melalui sepucuk surat. Asy-Syâfi’î menjawab; “Tidak halal darah seorang muslim yang telah diharamkan darahnya dengan ke-Islaman, kecuali jika ia membunuh atau berzina setelah menikah. Atau ia jelas-jelas menjadi kufur setelah beriman, lalu tetap dalam kekufuran”.
Asy-Syâfi’î mendasarkan pendapatnya pada hadits yang diriwayatkan oleh Sufyân ibn `Uyaynah dari `Amr ibn Dînâr, dari al-Hasan ibn Muhammad, dari `Ubaydullâh ibn Abî Râfi’. Ia mengatakan bahwa ia mendengar ‘Ali berkata: “Rasulullah Saw. mengutus saya, Miqdâd dan az-Zubayr, beliau bersabda; ‘Pergilah ke kebun Khakh, di sana ada seorang wanita dalam sekedup, bersamanya ada selembar surat’. Maka kami segera pergi dengan kuda kami, begitu kami menemukan wanita itu, kami meminta ia menyerahkan surat itu, tapi ia menjawab: ‘Tidak ada surat bersamaku’. Maka kami mengatakan: ‘Engkau keluarkan suratnya, atau engkau campakkan kainmu!’, maka ia mengeluarkan surat dari sela sanggul rambutnya. Kami membawa surat itu kepada Rasulullah, ketika surat itu dibuka tertulis di dalamnya, ‘Dari Hâthib ibn Abî Malta`ah kepada orang-orang dari musyrikin di Makkah’, surat itu memberitakan beberapa perintah Rasulullah Saw.. Rasulullah berkata: ‘Apa ini wahai Hâthib?’, Hâthib menjawab: ‘Jangan terburu-buru menuduhku wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah orang yang identik dengan Qurays, tetapi aku bukanlah bagian dari jiwa mereka. Dan orang-orang yang bersamamu dari golongan muhajirin memiliki kerabat, yang melindungi kerabat mereka yang lain, sedangkan saya tidak memiliki kerabat di Mekkah. Saya senang, karena luput dari kondisi di mana saya harus mencari perlindungan dari mereka untuk kerabat saya di Mekkah. Demi Allah, saya tidak melakukan ini karena keraguan pada agama saya, dan bukan karena ridha dengan kufur setelah Islam’. Setelah mendengar pembelaan Hâthib, Rasulullah Saw. berkata: ‘Sungguh ia benar’, lalu `Umar berkata: ’Wahai Rasulullah, perintahkan saya untuk memenggal leher si munafik ini!’, Rasul menjawab: ‘Sesungguhnya ia ikut dalam perang Badr, tidakkah engkau diberitahu, mudah-mudahan Allah memperhatikan Ahl Badr sehingga Allah berfirman: ‘Kerjakanlah apa yang kamu suka, sungguh sudah kuampunkan untukmu’. Kemudian turunlah ayat:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman setia… (Q.S. al-Mumtahanah: 1)
Menurut Ibn Katsîr, ayat ini sesuai dengan ayat 28 surat Ali Imran, yang artinya: “Janganlah orang-orang mu`min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu`min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya...”. Dengan adanya pengecualian dalam ayat ini, maka Rasulullah menerima alasan pembelaan diri Hâthib, sebab ia memiliki harta dan anak-anak di Makkah, sedangkan ia tidak memiliki kerabat lain yang akan melindunginya.
Imam asy-Syâfi’î menyimpulkan, bahwa Rasulullah dalam kasus ini menghukum dengan zhahiriyah. Asy-Syâfi’î membandingkan kasus ini dengan kasus munafik, pada dasarnya Nabi mengetahui kebohongan munafik, tapi kenyataannya beliau menetapkan hukum dengan fakta lahiriyah. Seandainya pada kasus Hathib beliau tetapkan hukuman atas dasar pengetahuan beliau akan kebenaran Hathib, tentu beliau akan menetapkan hukuman mati terhadap seorang munafik karena beliau tahu benar kedustaan seorang munafik. Tetapi Rasulullah menghukum semua kasus dengan fakta lahiriyah.
Dari sekelumit pembahasan ini terlihat bagi kita bagaimana pemeliharaan darah sangat diutamakan dalam Islam. Banyak hadits-hadits yang diriwayatkan seputar permasalahan ini, secara umum hanya tiga kondisi yaitu zina muhsan, pembunuh, dan murtad yang halal darahnya. Adapun pengkhianat tidak di-hadd, kecuali jika nyata bahwa ia telah menjadi kufur.
• Pengkhianatan terhadap Harta (al-Ghulûl)
Sekarang kita sampai pada pembahasan yang menurut penulis –secara kasuistik- lebih dekat dengan tindak pidana korupsi. Imam Asy-Syafi`i pernah ditanyai tentang kasus seseorang yang mengambil harta pampasan perang (ghanîmah) sebelum dibagikan. Asy-Syâfi`i menjawab, bahwa orang tersebut tidak dipotong tangannya, tetapi harga barang itu (al-Qimah) menjadi hutang baginya jika barangnya telah dihabiskan atau rusak sebelum dikembalikan. Jika orang yang mengambil itu jâhil (tidak tahu keharamannya), maka harus diberitahukan dan tidak boleh disiksa, kecuali –baru disiksa- jika ia mengulangi kembali perbuatannya.
Dasar hukum yang digunakan asy-Syâfi’î adalah suatu riwayat ketika `Umar ibn al-Khaththab mencurigai salah seorang sahabat. Ketika itu salah seorang dari kelompok musyrikin yang sedang diperangi (dikepung) bernama Hurmuzan turun menemui `Umar. Dalam dialognya dengan `Umar, kata-kata Hurmuzan meyebabkan kemarahan `Umar sehingga hendak dibunuh, lalu sahabat yang mendampingi Hurmuzan turun membela Hurmuzan agar tidak dibunuh. Pada saat itu `Umar curiga kalau sahabat tersebut telah menerima suap dari Hurmuzan, `Umar mengancam akan menghukum siksa (al-`Uqûbah) sahabat tersebut kalau ia tidak sanggup menghadirkan saksi. Kemudian ia mencari orang yang akan bersaksi bahwa tidak menerima sesuatu pun dari Hurmuzan, akhirnya ia mendapatkan Zubayr ibn al-Awâm yang bersedia menjadi saksinya.
Dari `illat hukum di atas, maka penalaran yang digunakan adalah sulitnya dilakukan penelusuran kembali. Karena pencurian dilakukan secara sembunyi-sembunyi, maka sangat sulit untuk ditelusuri, oleh karena itu perlu ditetapkan hukum yang dapat mencegah orang untuk melakukannya. Berbeda dengan copet, rampok dan khianat, pelakunya dapat dikenali dan mudah ditelusuri kembali, di samping itu juga dilakukan secara terang-terangan sehingga cenderung lebih mudah ditumpas saat mereka melakukan aksinya.
4. Al-Gasysy (penipuan)
Penipuan adalah tindak pidana yang tidak ada ketentuan hadd-nya, oleh karena itu penentuan sanksi hukumannya kembali kepada ta`zîr. Untuk masalah ini, kami tidak memberikan ulasan lagi, karena sudah jelas permasalahannya, hanya saja membutuhkan ijtihâd hakim dalam memutuskan hukum terhadap pelakunya.
Dalam tindak pidana korupsi, penipuan merupakan bagian yang tidak terpisah darinya, manipulasi data, buku, daftar dan sebagainya termasuk tindak penipuan.
c. KONSEKUENSI HUKUM TERHADAP PELAKU KORUPSI
Untuk menegakkan nilai-nilai keadilan sebagai bentuk atau manifestasi dari proses peradilan, maka sudah selayaknya sanksi tertentu diterapkan dengan tegas. Tidak ada perbedaan antara satu oknum dengan oknum yang lain, tidak berpihak pada golongan tertentu dan hanya menguntungkan oknum pejabat, jika demikian maka hukum akan kehilangan legitimasinya. Untuk itu hukum harus dikembalikan ke posisi awalnya sebagai penjaga masyarakat dari setiap bentuk kejahatan termasuk di dalamnya tindak pidana korupsi.
Dalam pembahasan di atas, kita melihat konsekwensi sanksi ta’zir sebagai sesuatu yang dominan, setelah syarat dan rukun sirqah tidak dapat diidentifikasi dalam tindak pidana korupsi. Sebelumnya marilah kita meninjau sekilas pengertian at-Ta’zîr secara etimologis dan terminologis. Dalam kamus al-Shihah, dikatakan bahwa kalimat tl-Ta’zîr sepadan maknanya dengan al-Ta`zhîm, dan al-Tawqîr ia juga bermakna at-Ta’dîb. Ia juga dinamakan al-Dharb, yaitu memukul yang bukan hadd. Ibn Hajar mengkritik penggunaan kalimat at-Ta`zîr untuk makna pukulan selain hadd, karena menurutnya penggunaannya untuk makna ini adalah penggunaan syar`î, bukan dari sisi kebahasaan, karena penggunaan ini tidak dikenal kecuali dari sisi penggunaan syara`. Maka –menurut Ibn Hajar- penggunaan kalimat ini dalam kamus al-Shihah dengan makna pukulan selain hadd, secara implisit menunjukkan kepada perpindahan hakikat syar`iyah kepada hakikat lughawiyah, artinya pada mulanya ia digunakan dalam konteks syara’, tapi lambat laun menjadi istilah kebahasaan.
Dengan berpijak pada pandangan Ibn Hajar, maka makna at-Ta’zîr dalam terminologi fiqh, adalah sanksi hukum selain hadd dan kifârah. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Jalâluddîn al-Mahallî, yaitu memberikan pelajaran bagi pelaku maksiat/dosa yang padanya tidak ditetapkan sanksi hadd dan kifârat oleh syara`. Baik yang menyangkut dengan hak Allah atau hak Anak Adam. Hanya saja tindak pelanggaran yang menyangkut dengan hak Anak Adam –menurut Jalâluddîn al-Mahallî - merupakan delik pengaduan, yang diterapkan proses hukumnya setelah adanya tuntutan. Dan hakim wajib menerima pengaduan tersebut, tidak boleh menolak kasusnya, kecuali jika ditemukan tujuan maksiat dibaliknya.
Para ulama menetapkan hukum ta`zir bagi setiap perbuatan maksiat yang tidak ada ketentuan hadd dan kifarah. Baik yang menyangkut dengan hak Allah atau hak Anak Adam seperti melakukan pelanggaran seksual terhadap ajnabiyah pada selain alat kelamin. Demikian juga hukuman ta`zir berlaku bagi seorang pengkhianat yang membocorkan rahasia Negara kepada musuh. Menurut asy-Syâfi’î, tindakan si pengkhianat tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang melanggar perjanjian sehingga dapat menghalalkan darah dan harta mereka. Jika yang melakukan itu adalah para rahib, maka mereka dihukum siksa dan dipindahkan dari shaum`a mereka. Termasuk dalam hukuman siksa juga, mengeluarkan mereka dari bumi Islam. Lalu mereka disuruh pilih antara; memberi jizyah dan boleh menetap di negeri Islam atau dibiarkan mereka kembali. Kalau mereka kembali, maka mereka ditempatkan dalam penjara. Dan mereka dihukum dengan siksa serta dipenjarakan. Ketentuan hukum ta`zir ditetapkan oleh hakim jenis dan kadarnya menurut ijtihâd hakim, sesuai dengan tingkatan manusia dan pelanggaran yang dilakukan.
Mengenai hukuman bagi pelaku al-Ghulûl (berkhianat dengan mengambil harta ghanîmah sebelum dibagikan), Imam asy-Syâfi’î pernah ditanyai, apakah ia disuruh turun dari tunggangannya dan berjalan kaki, dibakar pelananya atau dibakar harta bendanya. asy-Syâfi’î menjawab: “Tidak di hukum (`Iqâb) seseorang pada hartanya, tetapi pada badannya. Sesungguhnya Allah menjadikan al-Hudûd pada badan, demikian pula al-`Uqûbât, adapun atas harta maka tidak ada `uqûbah atasnya.
Jenis-jenis hukum ta`zîr yang dapat diterapkan bagi pelaku korupsi adalah; penjara, pukulan yang tidak menyebabkan luka, menampar, dipermalukan (dengan kata-kata atau dengan mencukur rambutnya), diasingkan, dan hukuman cambuk di bawah empat puluh kali. Khusus untuk hukuman penjara, Qulyûbî berpendapat bahwa boleh menerapkan hukuman penjara terhadap pelaku maksiat yang banyak memudharatkan orang lain dengan penjara sampai mati (seumur hidup).
C. PENUTUP
Demikian tulisan ini kami buat, kami bermaksud memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat Aceh, dan para pemegang jabatan publik khususnya. Kajian kami ini adalah untuk memberi penekanan, bahwa kita tidak boleh sembarangan berasumsi dalam menetapkan hukum atas nama Agama. Meskipun kadangkala kurang mengena dengan rasa keadilan, jika kita menghayati justru pada ketetapan syara` ditemukan keadilan yang sebenarnya, hanya saja tidak dapat ditemukan tanpa penghayatan.
Jika setiap muslim menghayati ajaran agamanya, mereka akan terpesona oleh keindahan aturannya. Namun kenyataan yang kita hadapi sekarang adalah jauhnya masyarakat dari agama, dan pemimpin juga merupakan bagian dari masyarakat. Lalu bagaimana kita mengharapkan negara ini menjadi lebih baik dan bebas dari segala macam penyimpangan oleh pemimpinnya. Oleh karena itu, menurut kami hal yang paling utama diperbaiki adalah pemahaman agama seluruh lapisan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam. Inti dari kebaikan adalah baiknya kesadaran beragama masyarakat.
Kami berharap tulisan ini dapat menjadi sumbangan kami untuk missi membangun kesadaran beragama kita semuanya. Dapat mengantarkan kita untuk lebih mengimplementasikan al-imtitsâl awâmirillâh. Tentunya tulisan ini masih sangat banyak kekurangannya, dan kami tidak menutup diri dari kritik dan saran yang lebih membangun. Kepada semua pihak yang berkenan membaca tulisan ini, hendaknya menyampaikan kritikannya kepada kami.
Tidak lupa juga terima kasih kami kepada segenap pihak yang terlibat dalam penerbitan tulisan ini, hanya Allah yang dapat membalas amal baik kita semuanya
Billâhit Tawfîq wal Hidâyah, wassalamu`alaykum wa rahmatullâhi wa bârakatuh.
Samalanga, 30 September 2006
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
Abû Bakr, as-Sayyid, I`ânatuth Thâlibîn, Bayrût: Dârul Fikr, t.t.
Abû al-Wafâ' al-Huraynî, Qâmûs al-Shihâh, t.p., 1282 H
Alatas, S.H, Korupsi; Sifat, Sebab dan Fungsi, Jakarta: LP3ES, 1987
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005
Al-Fakhrurrâzi, At-Tafsîr al-Kabîr, Teheran: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, t.t.
Fockema Andreae, Kamus Hukum, Bandung: Bina Cipta, 1983
Al-Ghazâlî, al-Mustashfâ min 'Ilmi al-Ushûl, Bayrût: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah, 2000
Ibn Hajar, Tuhfatul Muhtâj, Bayrût: Dâr Ihyâ' at-Turats al-`Arabî, t.t.
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'an al-`Adzîm, Mesir: at-Tawfîqîyah, t.t.
Ibn Ziyâd (Abd al-Rahmân ibn Ziyâd), Ghayâtut Talkhis (al-Murad min Fatawa Ibn Ziyad), Bayrut: Dâr al-Fikr, 1995
Al-Jurjani, `Ali ibn Muhammad, al-Ta`rîfât, Bayrût: Dâr al-Fikr, t.t.
Koeswadji, Korupsi di Indonesia; dari Delik Jabatan ke Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994
Al-Mahallî, Jalâluddîn, Syarh Minhâjuth Thâlibîn, Bayrût: Dârul Fikr, t.t.
Munawar Fuad Noeh, Kiai di Republik Maling, Jakarta: Republika, 2005
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, cet. VII
Qulyûbî, Hâsyiyatâni, Bayrût: Dârul Fikr, t.t.
Asy-Syafi`i, al-Um , Bayrût: Dârul Fikr, t.t.
Zaynuddîn al-Malîbârî, Fathul Mu`în, Bayrût: Dârul Fikr, t.t.
0 komentar:
Posting Komentar
komentar anda?