Rabu, 21 Oktober 2009

PERNIKAHAN DAN TERTIB WALI
Oleh:Teungku H. Muchtar A. Wahab

ABSTRAK
Jika memperhatikan ajaran beberapa agama, maka konsep yang mengemuka adalah menjauhi kenikmatan syahwati demi kebahagiaan abadi. Misalnya dalam agama Kristen atau Budha, para pendeta dan biksu harus hidup dengan menjauhi wanita dan kenikmatan duniawi lainnya. Dalam Islam konsep ini tidak ditemukan, bahkan Rasulullah men-sunnah-kan nikah sambil menyatakan bahwa perang terbesar adalah melawan hawa nafsu. Barangkali hal ini akan menimbulkan pertanyaan, apakah nikah bukan memperturutkan hawa nafsu yang harusnya diperangi?. Dalam beberapa riwayat Nabi Muhammad SAW melarang umatnya untuk terus-terusan beribadah, bahkan Khalifah `Umar pernah mengusir seorang muslim dari mesjid. Peristiwa ini menunjukkan betapa Islam sangat realis dalam syariatnya, hawa nafsu dalam diri manusia tidak mungkin dibunuh, tapi harus diarahkan. Tulisan ini mengajak kita menelusuri nilai pentingnya lembaga perkawinan disyariatkan.

PENGANTAR


Segala puji bagi Allah SWT yang telah mensyariatkan nikah sebagai jalan meneruskan keturunan umat manusia. Selawat dan salam kepada Rasulullah SAW yang telah menyambung silaturrahmi manusia dengan pernikahan, juga kepada ahli waris dan semua sahabatnya yang telah berjuang bersama Rasul dalam menegakkan syariat Allah di atas bumi ini.
Saya tertarik membahas judul ini karena masih banyak umat manusia yang belum begitu mengerti faedah-faedah perkawinan dan masih banyak salah dalam menggunakan kedudukan/tertib wali, karena apabila salah dalam mendudukkan tertib wali, jelas nikahnya tidak sah. Maka terjadilah anak di luar nikah/anak haram dan anak-anak inilah yang kemudian hari menjadi pemimpin negeri. Apa nasib negeri yang dipimpin oleh anak-anak haram?. Tentunya pemimpin itu membuat kezaliman yang membawa kemudharatan kepada rakyat, karena itulah pemimpin harus dipilih dari orang-orang yang jelas keturunannya dan ilmu yang cukup serta pengalaman tinggi dan akhlak mulia.
Penyusunan risalah ini berlandaskan pada mazhab Imam asy-Syâfi`î yang nama aslinya adalah Muhammad ibn Idrîs, lahir pada tahun 150 H, wafat pada tahun 204 H. Kuburannya berada di Mesir, Alhamdulillah penulis sendiri telah menziarahi makamnya pada bulan Agustus 1978 M. Harapan penulis, hendaknya tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin, dan khususnya masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam.






A. PENDAHULUAN
Nikah adalah syariat yang sangat awal ditetapkan, yaitu di masa Nabi Adam As. dan ia terus disyariatkan sampai di dalam syurga nanti. Menurut ahli medis, pernikahan memiliki tiga tujuan, yaitu untuk meneruskan keturunan, mengeluarkan cairan yang jika tertimbun di dalam tubuh justru dapat menimbulkan kemudharatan dan terakhir untuk bersenang-senang. Dari ketiga tujuan ini, hanya tujuan yang ketiga yang tetap kekal hingga di dalam syurga nantinya.

a) Pengertian Nikah
Nikah dalam bahasa Arab mengandung beberapa makna, Ibn Manzhûr mengemukakan, bahwa secara etimologis kalimat nikâh bermakna hubungan intim (al-Wath’u) dan juga dipahami dengan makna perkawinan (at-Tazawwuj). Sementara itu menurut Qulyubi, kalimat nikâh ini secara etimologis berarti mencampurkan (adh-Dhamm). Sedangkan dalam terminologi fiqh, nikah berarti suatu akad (`aqd) yang mengandung pembolehan hubungan intim (al-wath’), akad itu menggunakan lafazh menikahkan (inkâh) atau mengawinkan (tazwîj).
Akad ini dilakukan oleh wali dari calon mempelai wanita dan diterima oleh calon suami. Misalnya dengan lafazh: “Aku nikahkan anakku bernama si pulanah kepadamu dengan mas kawinnya sekian”, lalu dijawab (qabûl/diterima) oleh calon suami dengan ucapan: “Saya terima nikahnya dengan mas kawin sekian”, inilah yang dinamai akad nikah. Dengan dilaksanakan dan sahnya akad nikah, maka pergaulan intim antara suami dan isteri menjadi halal. Artinya mereka sudah boleh hidup bersama dengan segala hak dan kewajiban masing-masing. Menurut Qulyûbî, dengan akad ini, seorang lelaki memiliki hak intifâ` bukan memiliki manfaat. Hak intifâ`di sini artinya hak menuntut kemanfaatan, bukan berarti memiliki manfaat secara mutlak sehingga si istri tidak boleh menolak sama sekali segala kemauan suami. Tetapi di dalamnya terkandung kerelaan dari kedua pihak, dan istri tidak beralasan untuk menolak selama suami memenuhi semua hak dan kewajibannya.
Menurut ulama syâfi`îyah, pada dasarnya kata nikâh digunakan untuk makna akad nikah itu sendiri. Namun kemudian juga digunakan untuk makna hubungan intim suami-istri (al-wath’), penggunaan kata nikah untuk makna ini dipandang sebagai majâz (makna konotatif). Berbeda dengan ulama Hanafîyah yang berpendapat sebaliknya, menurut mereka penggunaan kata nikâh untuk makna hubungan intim adalah hakikat (denotatif). Berdasarkan pendapat ini, ulama Hanafîyah menetapkan, jika seseorang berzina dengan seorang wanita, maka haram baginya menikahi ibu dan anak perempuan wanita yang dizinainya. Demikian juga wanita itu haram dinikahi oleh ayah dan anak dari lelaki yang menzinainya. Tentang perbedaan kebahasaan ini, penulis cenderung lebih setuju dengan pendapat ulama syâfi`îyah.

b) Hukum Nikah.
Ketetapan hukum tentang nikah ditetapkan dalam al-Qur’an, al-Hadits dan al-Ijmâ`, di dalam al-Qur’an Allah Swt. berfirman:

Artinya: Maka nikahilah wanita yang kamu senangi; dua, tiga atau empat… (Q.S. an-Nisa: 3)

Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan kita untuk menikah, namun perintah di sini tidak berarti wajib. Para ulama menyimpulkan bahwa kalimat perintah di atas bukan perintah yang jâzim. Sementara dalil dari hadits Rasulullah Saw. dapat kita lihat dalam sabda Rasulullah Saw. berikuti ini:

Artinya: Barangsiapa yang mencintai fitrahku, maka hendaklah ia menjalankan sunnahku, dan sebagian dari sunnahku adalah nikah.

Dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasulullah Saw., para ulama menetapkan hukum nikah. Hukum asal pernikahan adalah mubah (dibolehkan), namun sebagian ulama berpendapat bahwa hukum asalnya adalah sunat. Menurut mereka, ulama yang mengatakan bahwa hukum asalnya mubah, hanya menggunakan sebutan ini sebagai pengganti pengucapan ‘bahwa hukum dasarnya tidak wajib’. Terlepas dari perdebatan tentang ketetapan asal hukumnya, secara umum hukum nikah dapat diklasifikasikan dalam lima hukum. Berikut kami kutip pendapat `Abdur Rahmân al-Jâzirî yang mengklasifikasikan hukum nikah dalam lima kategori, yaitu, wajib, haram, makruh, sunat dan mubah.

1. Wajib.
Ketetapan hukum wajib nikah berlaku bagi seorang lelaki sehat yang sudah matang secara psikis-biologis dan memiliki tuntutan biologis yang kuat. Ia tidak mampu membendung kebutuhan seksualnya dengan berpuasa, sedangkan ia memiliki harta dan belanja yang memadai untuk membina sebuah rumah tangga. Dikhawatirkan kalau ia tidak segera menikah, ia akan terjerumus dalam perzinaan. Seseorang yang dalam kondisi seperti ini wajib menikah, untuk mencegah dirinya jatuh dalam perbuatan yang dilarang Allah.

2. Haram
Artinya berdosa kalau menikah, seperti orang yang organ intimnya lemah, atau orang yang tidak sempurna secara biologis. Ia tidak memiliki kemampuan memenuhi nafkah bathin pasangannya, tidak memiliki cukup biaya untuk membina rumah tangga dan tidak mampu mengurus rumah tangga. Lelaki semacam ini haram menikah karena dapat membawa kemudharatan kepada orang lain.

3. Makruh
Makruh di sini maksudnya adalah, bahwa seseorang lebih baik tidak menikah. Misalnya, seseorang yang mampu mengendalikan atau menahan kebutuhan biologisnya, menyadari dirinya tidak mampu bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Lelaki semacam ini makruh menikah.

4. Sunat
Menikah disunatkan bagi seorang lelaki normal secara biologis yang memiliki dorongan seksuil dan mempunyai belanja yang cukup serta mampu mengurus rumah tangga dengan sehat.

5. Dibolehkan
Dibolehkan di sini artinya bukan sunat dan bukan haram, yaitu bagi seorang lelaki yang dorongan seksuilnya kurang, namun memiliki belanja yang cukup untuk berumah tangga. Kebanyakan pemahaman orang awam, bahwa hukum pernikahan hanya sunat saja, padahal tidak demikian. Apabila cukup syarat sebagaimana tertera pada nomor 4 di atas baru nikah dusunatkan seperti maksud hadits Nabi:
النكاح سنتى من غرب عن سنتى فليس منى
Artinya: Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang benci dengan sunnahku maka ia bukan dari golongan ku.

c) Rukun Nikah
Di dalam kitab I`ânatuth Thâlibîn, Abû Bakr as-Sayyid menyebutkan bahwa rukun nikah terdiri dari: pertama, adanya calon suami, kedua, adanya calon isteri, ketiga, hadirnya wali dari pihak wanita, keempat hadirnya dua orang saksi, dan kelima, menggunakan lafazh ijab dan qabul.
Maksud dengan rukun di sini adalah hal yang tidak boleh tidak. Artinya jika salah satunya tidak ada, akad nikah tidak sah. Sebagian ulama menetapkan jumlah rukun nikah sebanyak empat rukun, jumlah ini dikarenakan mereka tidak memisahkan keberadaan calon suami dan calon isteri. Jadi calon suami dan isteri digabungkan dalam satu rukun, urutannya menjadi sebagai berikut; 1)Adanya calon suami-isteri; 2) Wali dari pihak wanita; 3) Dua orang saksi; 4) Lafazh ijab dan qabul.

B. FADHILAH NIKAH
a) Fadhilah nikah;
Sebagai ketetapan yang digariskan oleh syara`, nikah memiliki fadhilah-fadhilah atau hikmah mulia di balik pensyari`atannya. Hal ini harus diketahui oleh setiap muslim agar menemukan nilai-nilai ibadah di dalamnya. Islam tidak mensyari`atkan nikah sebagai solusi bagi pemuasan kebutuhan biologis manusia, tetapi ia memiliki hikmah-hikmah bagi harkat-martabat manusia. Di dalam kitab Siyarus Sâlikîn disebutkan, ada lima fadhilah nikah, yaitu untuk memperoleh keturunan, untuk menjaga diri dari godaan syahwat kepada yang haram, untuk membantu pekerjaan rumah tangga, untuk penyegaran jiwa, dan untuk berjuang dalam melawan hawa nafsu.

1. Untuk Memperoleh Keturunan.
Ini merupakan inti dari tujuan perkawinan, di mana perkawinan merupakan proses bagi kelangsungan hidup manusia. Di sisi lain memperoleh keturunan juga memiliki fadhilah-fadhilah tersendiri, antara lain sebagaimana sabda Rasulullah Saw. dalam sebuah hadits. Bahwa semua amalan manusia akan terputus ketika ia meninggal, kecuali tiga amalan, salah satunya adalah do`a anak yang shalih. Sebaliknya, perbuatan buruk dan dosa yang dikerjakan anak tidak akan dipikul orangtua, sebagaimana firman Allah:

Artinya: Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan. (Q.S. al-An`am: 164)

2. Untuk Menjaga Diri dari Godaan Syahwat kepada yang Haram.
Tujuan utama dari hidup manusia adalah untuk beribadah, sebagaimana firman Allah, bahwa Allah tidak menciptakan manusia dan jin kecuali untuk beribadah. Oleh karena itu manusia harus menciptakan suasana yang tenang dalam diri dan lingkungannya agar dapat beribadah. Inti dari ketenangan adalah pada ketenangan jiwa yang hanya akan terwujud jika ia mampu mengendalikan syahwat. Sementara itu, dorongan syahwat merupakan fitrah bagi manusia, justru dengan adanya syahwat itulah manusia menemukan kemanusiaannya. Allah berfirman:

Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (syurga). (Q.S. Ali Imran: 14)

Dari keterangan ayat di atas, jelaslah bahwa manusia normal tidak dapat melepaskan dirinya dari dorongan syahwat. Karena syahwat adalah ketentuan Allah terhadap alam ini agar ia terus berkesinambungan, hanya saja manusia dimuliakan dengan akalnya, sehingga mampu mengendalikan syahwat. Sebaliknya orang yang tidak mampu mengendalikan syahwatnya berarti tidak menggunakan akalnya. Oleh karena manusia tidak dapat melepaskan diri dari dorongan syahwat, maka ia harus disalurkan, untuk itu Islam mengatur penyaluran yang sangat adil sehingga tidak ada pihak yang tertindas dengan mensyariatkan nikah.
Dengan menikah, seseorang akan terhindar atau memiliki jalan keluar ketika godaan syahwat kepada yang haram memuncak. Ia dapat kembali kepada isterinya ketika tergoda oleh wanita yang tidak halal baginya, apa pun yang diimpikannya sebagai lelaki, tentu dapat diperolehnya pada isterinya. Godaan-godaan semacam ini, jika tidak disalurkan tentunya dapat menimbulkan keresahan dalam jiwa, dan akhirnya merusak konsentrasi dan kekhusyukan dalam beribadah. Di dalam kitab Siyarus Salikin diriwayatkan pendapat Imam al-Ghazâlî, bahwa jika seseorang tidak terpelihara syahwatnya dengan satu orang isteri, maka sunat baginya beristeri lebih dari satu sampai batas empat orang. Lebih lanjut dikatakan, jika tidak terpelihara syahwatnya, atau tidak tetap hatinya dengan semua isterinya itu, maka sunat digantikan dengan isterinya yang lain.
Demikianlah pernikahan disyari`atkan untuk mengatur penyaluran kebutuhan biologis manusia dengan tujuan menciptakan ketenangan dalam kehidupan umat. Jika syahwat itu sudah tersalur sesuai dengan petunjuk syari’at, tentunya manusia dapat beribadah kepada Allah Swt. dengan tenang dan penuh khsyu`, sesuai dengan hikmah Allah meciptakan manusia, yaitu untuk beribadah.

3. Untuk Tolong-menolong dalam Kehidupan Sehari-hari
Dengan berumah tangga, seseorang telah membagi sebagian beban tugas hidupnya kepada pasangannya. Seorang lelaki telah dibantu tugasnya menyiapkan makanan dan lain-lain untuk kehidupannya oleh seorang isteri. Demikian pula seorang wanita, kebutuhannya akan nafkah telah dibantu oleh sang suami. Dengan berbagi tugas, keduanya telah menghemat sekian banyak waktu, maka bertambah lah waktu yang dapat digunakan untuk beribadah. Lebih jauh lagi kita melihat, pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh perkawinan, yaitu ketenangan jiwa yang timbul oleh perasaan senang dan cinta terhadap pasangannya.

4. Untuk Penyegaran Jiwa
Sudah merupakan fitrah bagi manusia memiliki tabi`at; malas beribadah, kemalasan ini muncul karena dorongan nafsu yang ada pada diri manusia. Nafsu mendorong manusia kepada yang disukainya, yaitu syahwat dan benci ibadah, sedangkan manusia dibebankan amanah untuk beribadah kepada Allah Swt.. Dalam hal ini, Islam menetapkan ketentuan yang pertengahan, seorang muslim diperintahkan memenuhi kebutuhan nafsunya dalam batas-batas tertentu. `Ali ibn Abi Thalib. Ra. mengatakan:

Artinya: Senangkan hatimu sekali-sekali, karena kalau dipaksa ia akan buta..

`Ali menganjurkan untuk memberikan hak bagi nafsu dengan mengerjakan yang dibolehkan oleh syariat, seperti makan, mium dan jima`, karena hati apabila dipaksakan terus-terusan beribadah akan menjadi bosan. Nafsu manusia sesekali harus diberikan kesempatan untuk mengecap apa yang disukainya, setelah keinginannya dipenuhi tentu ia dapat kembali diajak untuk beribadah. Dalam satu hadits diriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya: Hendaklah seorang yang berakal membagi waktunya menjadi tiga bagian, satu untuk bermunajat kepada Tuhannya, satu untuk bermuhasabah (memperhitungkan amalan) dan terakhir untuk memenuhi kebutuhan makan, minum dan sebagainya. Yang terakhir ini dapat membantu terlaksananya aktifitas yang lain.

Demikianlah, pernikahan dapat memberikan kesegaran jiwa bagi manusia, sehingga tidak bosan untuk beribadah.

5. Untuk Berjuang dalam Melawan Hawa Nafsu,
Fadhilah nikah yang kelima adalah berjuang melawan hawa nafsu, yaitu berjuang memenuhi hak dan kewajiban bagi keluarga, dan bersabar atas sikap dan kelakuan yang tidak berkenan dari keluarganya. Selain itu, suami juga dituntut agar sabar dalam menanggung kesusahan yang timbul akibat kelemahan istrinya, serta berusaha mengarahkannya ke jalan agama. Peran seorang suami juga penuh tantangan dalam memenuhi kebutuhan nafkah keluarga dari sumber yang halal, oleh karena itu Islam menjanjikan pahala yang besar bagi suami yang terus mengupayakan kehalalan rizki keluarganya meskipun sulit. Terkait dengan hal ini Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya: Uang yang kamu nafkahkan di jalan Allah (jihad fi sabilillah), memerdekakan budak, kamu sedekahkan kepada orang miskin dan uang yang kamu nafkahkan untuk keluarga, yang terbesar pahalanya adalah uang yang kamu nafkahkan untuk keluargamu.

Mengeluarkan harta dalam memenuhi nafkah isteri dan anak-anak juga merupakan perjuangan melawan hawa nafsu. Karena secara umum manusia memiliki kecenderungan untuk mengumpulkan harta dan tidak mau mengeluarkan harta yang sudah terkumpul padanya. Apalagi jika ia memperoleh hartanya dengan jalan sulit. Dalam hal ini, Rasulullah Saw. menjelaskan satu hikmah yang merupakan rahasia Allah dalam kehidupan manusia.

Artinya: Sebagian dari dosa hamba adalah dosa yang tidak terhapuskan kecuali oleh kesulitan dalam mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Hadits ini memberikan penyadaran kepada manusia tentang hikmah di balik kesusahan hidupnya. Tentunya kesadaran ini harus di dasari oleh kesadaran bahwa tujuan hidup seorang muslim bukanlah untuk perolehan materi duniawi, tetapi untuk beribadah. Sedangkan materi hanyalah bekal dalam menuju kehidupan yang abadi. Inilah beberapa faedah perkawinan yang perlu diperhatikan oleh manusia yang ingin mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.

a. Wanita yang Baik untuk Dinikahi
Dalam akidah Ahlussunnah Wal Jamâ`ah, perjodohan adalah hal yang sudah di atur oleh Allah Swt.. jika ia mendapat pasangan yang berakhlak buruk, maka itu merupakan cobaan bagi seseorang dengan ganjaran pahala atas kesabaran menghadapinya. Namun begitu manusia tetap dituntut untuk berusaha mendapat pasangan hidup yang baik bagi kehidupannya. Dalam hal ini, Islam menetapkan beberapa kriteria wanita yang baik dinikahi, dalam kitab Siyarus Sâlikîn disebutkan delapan macam kriteria wanita yang baik untuk dinikahi.

1. Wanita yang Kuat Agamanya
Kriteria pertama adalah wanita yang shalihah, yaitu wanita yang takut kepada Allah Swt., tetap dalam ibadah, menjauhkan diri dari perbuatan haram. Rasulullah Saw. menyamaikan dalam sabdanya:

Artinya: Nikahilah wanita karena hartanya atau karena kecantikannya atau karena kebangsawanannya atau karena agama, pilihlah yang kuat agamanya karena wanita yang kuat agamanya dapat menjaga iman dan rumah tangga.

Menurut Qulyûbî, urutan yang disebutkan Rasulullah Saw. dalam hadits di atas adalah penguraian dari perspektif kecenderungan jiwa manusia. Jadi bukan meruntut urutan kriteria-kriteria itu sebagai hal yang lebih utama dari kriteria keberagamaan seorang wanita. Rasulullah Saw. sadar benar bahwa tabiat manusia biasanya cenderung memprioritaskan harta, kecantikan dan kebanggaan keturunan dalam menentukan pilihan. Melalui hadits ini, Rasulullah Saw. malah menekankan pentingnya sisi keberagaman diprioritaskan sebagai pertimbangan dalam memilih pasangan hidup.
Dalam hadits ini Rasulullah Saw. menitikberatkan kriteria agama sebagai pilihan utama. Hal ini sangat beralasan, karena wanita yang kuat agamanya akan mengajak kita untuk terus beribadah yang merupakan inti dari tujuan hidup seorang hamba. Selain itu, wanita yang kuat agamanya akan dapat diajak untuk terus berjihad menegakkan agama Allah.

2. Wanita yang Baik Perangai dan Akhlaknya
Kriteria yang kedua adalah wanita yang baik perangainya yang dapat mengajak suaminya pada kebaikan, memelihara lidahnya dari perkatan-perkataan kotor, dapat memberi semangat kepada suami tatkala bosan dalam bekerja. Intinya, tingkah lakunya dapat menyenangkan suami. Sebaliknya wanita yang buruk perangainya akan membawa kemudharatan yang lebih besar dari manfaat yang dapat ditimbulkannya. Sangat sedikit orang yang mampu bersabar atas sikap wanita yang buruk perangai dan lidahnya, kecuali orang-orang yang dianugerahi Allah Swt. kesalihan yang tinggi.

3. Wanita yang Elok Wajahnya
Kriteria yang ketiga dari wanita yang baik untuk dinikahi adalah wanita yang cantik dan menarik. Hikmah yang hendak dicapai dari kriteria ini adalah agar suami tidak tertarik kepada isteri orang lain karena faktor kecantikan. Jika isteri sendiri cantik, tentu tak ada alasan untuk menyukai isteri orang lain.
Meskipun kecantikan termasuk sebagai salah satu kriteria yang dipertimbangkan secara agamis, namun Islam mengingatkan bahwa tujuan utama pernikahan adalah melaksanakan sunnah nabi, memperoleh keturunan dan membangun rumah tangga Islami. Oleh karena itu, menikahi wanita yang kuat agamanya, baik perangainya, namun kurang kecantikannya lebih utama dari pada menikahi wanita yang cantik namun kurang kuat agamanya.

4. Wanita yang Meringankan Mas Kawinnya
Hal ini sesuai dengan sabda nabi saw.

Artinya: Sebaik-baik perempuan yang hendak dikawini, ialah perempuan yang cantik wajahnya dan yang murah mas kawinnya.

Senada dengan hadits di atas, `Umar ibn al-Khattab tidakk menyukai pernikahan yang mahal mas kawinnya, lalu beliau mengatakan: “Perkawinan Nabi dengan isteri-isteri beliau tidak pernah lebih mas kawinnya daripada 400 dirham, juga nabi tidak pernah mempersuamikan puterinya lebih dari 400 dirham”.

5. Wanita yang Banyak Anak
Kriteria ini menimbulkan pertanyaan bagi kita, tentang bagaimana dapat mengenali seorang wanita yang banyak anaknya, sedangkan dia masih gadis dan belum berumah tangga. Dapat kita jawab bahwa, untuk mengetahui kondisi ini adalah dengan memperhatikan kondisi ibu atau kakaknya yang sudah kawin. Kalau ibu atau kakaknya mempunyai anak banyak, maka dapat kita ketahui bahwa ia akan mempunyai anak banyak. Masuknya kriteria ini dalam pertimbangan memilih pasangan hidup karena sabda Nabi saw.:

Artinya: Hendaklah kamu menikahi wanita yang banyak anak dan mengasihi suaminya.

Hikmah yang hendak dicapai adalah banyaknya umat Nabi Muhammad. Di samping itu, orang yang mempunyai anak akan lebih menghargai orang tuanya, dia dapat memahami kedalaman kasih sayang seorang ibu pada anaknya. Sejak bayi digendong, dipapah, disusui dan sebagainya. Oleh karena itu Nabi Muhammad Saw. menganjurkan kita memilih wanita yang banyak anak untuk dinikahi.

6. Wanita yang Masih Gadis/Perawan
Nabi menganjurkan agar seorang lelaki memilih pasangannya yang masih gadis/perawan. Hal ini karena ada beberapa hikmah yang berkaitan dengan kelanggengan rumah tangga. Dalam satu hadits diriwayatkan, ketika Jabir hendak menikahi seorang janda, ia mengutarakannya kepada Nabi Muhammad Saw., lalu beliau bersabda:

Artinya: Mengapa kenapa kamu tidak memilih gadis/perawan, kamu akan lebih senang dengannya, demikian juga dia, akan lebih terbuka menerimamu.

Dalam hadits ini Nabi menganjurkan untuk kawin dengan wanita yang masih gadis. Tentu kita dapat memaklumi anjuran ini, karena wanita yang masih gadis belum banyak tahu tentang seks dan rumah tangga, tentu akan lebih mudah diarahkan. Berbeda halnya dengan janda, lebih-lebih janda dari suaminya yang bijaksana, kaya, cerdas dan sebagainya, tentu akan butuh waktu untuk dapat menerima suaminya yang baru.

7. Wanita dari Keturunan yang Baik
Nabi Muhammad Saw. menganjurkan kita memilih pasangan hidup dari keturunan yang baik, keturunan orang yang kuat agamanya, cendekiawan, dan orang-orang yang shalih. Hal ini berdasarkan sabda nabi saw.

Artinya: Pilihlah tempat untuk keturunanmu, karena akar akan ditinggalkan.

Dalam hadits ini Nabi menganjurkan kepada kita untuk memilih tempat tinggal bagi keturunan kita, karena keturunan kita akan tinggal sebagai pengganti kita. Kalau kita memilih tempat yang baik untuk menyemai bibit yang kita tanam, tentu ia akan tumbuh dengan baik dan berguna bagi masyarakat.

8. Wanita yang Bukan Famili Dekat.
Kriteria yang kedelapan dari wanita yang baik dinikahi adalah waita yang bukan keluarga dekat. Keluarga terdekat yang dibolekan oleh syara` untuk dinikahi adalah anak paman. Namun demikian, meskipun menikahi anak paman dibolehkan dalam agama, namun hukumnya dipandang makruh. Karena anak paman itu masih adik kita juga dan sah atau boleh kita menjadi wali nikah baginya. Ada dua alasan megapa kawin dengan famili dekat dipandang tidak baik, yaitu:
1) Kurangnya kemesraan dalam hubungan intim. Hal ini disebabkan kedekatan yang sudah seperti adik sendiri, akibatnya akan menghasilkan anak yang kurang cerdas, atau bahkan idiot.
2) Salah satu tujuan pernikahan adalah memperbanyak saudara, kalau kita kawin sesama famili justru tidak menambah luas persaudaraan.
Dari pembahasan di atas dapatlah kita memahami kriteria-kriteria wanita yang baik untuk dinikahi. Dari urutan di atas, wanita yang memiliki agama yang kuat lebih diprioritaskan dari pada wanita yang memiliki kriteria yang lain tapi kurang kuat agamanya. Demikian juga wanita dan walinya, hendaknya memilih calon suami atau calon menantunya sesuai dengan urutan kriteria di atas. Islam juga memberikan hak bagi wanita untuk memilih calon suaminya. Itulah cara yang dianjurkan agama.

b. Wanita yang Tidak Baik untuk Dinikahi
Setelah membahas kriteria wanita yang baik untuk dinikahi, kini kita membahas kriteria wanita yang tidak baik untuk dinikahi. Para ulama mengemukakan enam sifat wanita yang tidak baik dinikahi.

Artinya, Jangan kamu menikahi wanita yang memiliki enam sifat berikut;
1) Al-Anânah, yaitu wanita yang banyak berkeluh kesah, selalu mengadukan halnya kepada suami dan suka bersolek. Menikahi wanita seperti ini akan menyakitkan hati dan tidak ada kebaikan bersamanya.
2) Al-Manânah, yaitu wanita yang suka mengungkit kebaikan yang diperbuatnya dan menganggap suaminya tidak berbuat baik untuknya.
3) Al-Hanânah, yaitu wanita yang suka kepada suami orang lain, dan ingin punya anak dari suami lain.
4) Al-Hadâqah, yaitu wanita yang suka barang-barang baru yang dilihatnya dan memaksa suami membelinya.
5) Al-Barâqah, kalimat ini memiliki dua makna, pertama adalah wanita yang setiap hari sibuk memuluskan wajahnya dan bersolek. Kedua, yaitu wanita yang suka marah jika makanan kurang berkenan, dan sering mengatakan bahwa nafkah yang diberikan suami kurang/tidak mencukupi.
6) Al-Syadâqah, yaitu wanita yang terlalu banyak bicara.

Selain wanita yang memiliki sifat-sifat di atas, juga tidak baik menikahi wanita yang tidak jelas asal-usul keturunannya, apalagi wanita yang lahir di luar nikah yang sah. Dengan disunnahkan menikahi wanita dari garis keturunan yang baik, maka menikahi wanita yang tidak baik keturunannya dipandang makruh. Misalnya wanita yang ayahnya fâsiq (melakukan dosa besar atau berkekalan dalam dosa kecil), anak pungut yang tak jelas orang tuanya, wanita yang ayahnya dipungut orang dan tak diketahui orang tuanya.
Berkaitan dengan sifat-sifat wanita, `Ali ibn Abi Thalib mengemukakan tiga sifat jelek lelaki yang justru baik jika dimiliki oleh wanita.

Artinya: Ada beberapa perkara yang buruk bagi lelaki tapi justru perkara yang baik bagi wanita, yaitu kikir, membesarkan diri dan penakut.

Menurut Ali, jika seorang wanita punya sifat kikir, maka ia akan menjaga harta suaminya, dan ini menjadi positif. Yang kedua membesarkan diri, jika seorang wanita merasa dirinya hebat, maka ia akan enggan berbicara dengan orang lain secara lemah lembut dan tersembunyi. Dengan demikian ia akan terhindar dari dicemburui. Yang terakhir penakut, seorang wanita penakut akan enggan keluar rumah dan terjaga dari cemburu karena takut kepada suaminya.

c. Wanita yang Haram Dinikahi
Berikut ini kita membahas tentang kriteria wanita-wanita yang haram dinikahi. Ada tiga sebab, kenapa seorang wanita haram dinikahi, pertama karena garis keturunan, kedua karena satu susuan, dan yang ketiga karena perkawinan.
1. Karena garis keturunan
Wanita yang haram dinikahi oleh sebab keturunan atau kerabat dekat adalah tujuh orang, yaitu:
1) Ibu kandung, nenek dan seterusnya, baik dari pihak ayah atau pihak ibu.
2) Anak, cucu, cicit dan seterusnya, baik cucu dari anak lelaki atau cucu dari anak perempuan.
3) Saudara, baik saudara seibu-sebapak (saudara kandung), saudara sebapak, atau saudara seibu.
4) Anak saudara laki-laki, cucu saudara laki-laki dan seterusnya. Baik dari saudara seibu-sebapak, saudara sebapak, atau saudara seibu saja.
5) Anak saudara perempuan, cucu saudara perempuan dan seterusnya. Baik dari saudara seibu-sebapak, saudara sebapak, atau saudara seibu saja.
6) Saudara bapak, yaitu adik atau kakak dari bapak dan saudara nenek.
7) Saudara ibu, yaitu adik atau kakak dari ibu.

2. Karena satu susuan
Wanita yang haram dinikahi dengan sebab sesusuan (radha`ah) juga ada tujuh orang, yaitu:
1) Ibu susu, ibu dari wanita yang menyusui kita (nenek), dan seterusnya. Baik nenek dari pihak bapak atau dari pihak ibu wanita yang menyusui kita.
2) Anak susuan (anak yang disusui oleh isteri kita), cucu dan seterusnya. Baik cucu dari anak susuan laki-laki, atau cucu dari anak susuan perempuan.
3) Saudara ridha`, yaitu orang yang sama-sama menyusui pada seorang ibu.
4) Anak saudara laki-laki yang satu susuan, cucu dan seterusnya.
5) Anak saudara perempuan yang satu susuan, cucu dan seterusnya.
6) Saudara bapak susuan, nenek dan seterusnya
7) Saudara ibu susuan, nenek dan seterusnya.
Hal ini sesuai dengan sabda nabi saw.:

Artinya: Haram kawin dari yang sesusuan seperti haram kawin dengan yang seketurunan.

3. Disebabkan oleh perkawinan
Orang-orang yang haram dinikahi dengan sebab hubungan perkawinan ada empat orang, yaitu:
1) Ibu dari isteri, nenek dan seterusnya. Baik ibu nasab atau ibu susu.
2) Anak dari isteri yang telah digauli.
3) Isteri dari bapak isteri, nenek dan seterusnya. Baik nenek dari pihak ayah atau dari pihak ibu.
4) Isteri anak (menantu), isteri cucu dan seterusnya.

Selain sebab-sebab di atas masih ada lagi beberapa sebab lain yang dilarang oleh syara` menikah. Yaitu:
1) Haram menikahi hamba (budak) orang lain jika kita mampu menikah dengan wanita merdeka.
2) Haram menikah jika sedang dalam ihram ibadah haji, atau ihram untuk umrah.
3) Haram menikahi saudari isteri, artinya tidak boleh kita kumpul kakak dan adik dalam satu perkawinan. Keculi jika ditalak dulu yang pertama dinikahi.
4) Makcik isteri, artinya haram kumpul dengan adik bapak istri atau bapak kakak isteri.
5) Adik ibu isteri, artinya tidak boleh dikumpulkan dengan adik ibu isteri dan kakak ibu isteri. Hal ini banyak terjadi pada zaman jahiliyah, sebelum Nabi Muhammad menjadi rasul.
6) Perempuan yang telah ditalak tiga, kecuali setelah ada muhallil.
7) Isteri yang telah di-li`an, ia menjadi haram dinikahi kembali oleh mantan suaminya.
8) Wanita dari golongan kafir harbî, yaitu kafir yang menyerang kaum muslimin, atau dari golongan kafir zimmî, yaitu orang kafir yang telah bergabung dengan pemerintahan Islam.

Adapun kawin dengan kafir kitabi pada dasarnya boleh, akan tetapi pada zaman sekarang kafir kitabi itu tidak lagi mengamalkan kitab yang asli. Kitab mereka telah banyak ditambahkan atau dirobah dari aslinya. Oleh karena itu pada zaman sekarang tidak halal lagi kawin dengan kafir kitabi, baik dia Yahudi yaitu berkitab dengan kitab Taurat, maupun kafir Nasrani yang berkitab dengan kitab Injil. Kenapa diharamkan kawin dengan mereka? Jawabnya, pada biasanya anak-anak yang dilahirkan mereka akan diasuh dan dididik oleh isteri yang akhlaknya jauh dari akhlak Islam.

C. WALI DALAM PERNIKAHAN
a. Urutan Wali/Tertib Wali
Salah satu rukun nikah ialah wali dari pihak sang istri sesuai dengan hadits nabi Muhammad Saw. yang berbunyi:

Artinya: Tidak sah nikah kecuali adanya wali dan dua orang saksi yang adil.

Adapun urutan atau tertib wali nikah sebagaimana dikemukakan oleh Jalâluddîn Al-Mahallî dalam kitabnya Syarh Minhâjuth Thâlibîn adalah sebagai berikut;
1. Ayah dari sang istri.
2. Nenek/ayah dari ayah.
3. Saudara laki-laki seibu-sebapak.
4. Saudara laki-laki sebapak.
5. Anak saudara seibu-sebapak.
6. Anak saudara sebapak.
7. Paman seibu-sebapak.
8. Paman sebapak.
9. Anak paman seibu-sebapak.
10. Anak paman sebapak.
11. Mawlâa mu`thiq/orang laki-laki yangmemerdekakan sang isteri dan ahli warisnya (`ashabah-nya).
12. Hakim atau wakilnya.
13. Muhkam, yaitu seorang lelaki saleh yang diangkat calon isteri menjadi wali, apabila tidak ada wali lainnya.

Menurut mazhah Syafi`i, keberadaan wali dalam pernikahan sangat menentukan sah tidaknya pernikahan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan nikah hendaknya benar-benar diperhatikan tertib wali ini, kalau tidak nikahnya batal, artinya nikah fâsid, akibatnya anak yang lahir dihukumkan lahir di luar nikah.

b. Wali Mujbir/Wali Aqrab
Wali mujbir adalah ayah atau nenek laki-laki calon isteri, wali mujbir boleh menikahkan putrinya atau cucunya yang perawan walaupun tidak dengan persetujunya. Artinya wali mujbir memiliki hak menentukan calon suami bagi anak atau cucunya, namun hak ini baru boleh digunakan jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Kafâ’ah, artinya memilih calon suami yang setara dengan calon isteri. Kesetaraan yang diperhatikan di sini adalah dalam hal keberagamaan, keturunan, dan seterusnya.
2. calon suami yang dipilih jangan terlampau tua sang suami, sehingga calon suami tidak cocok itu dengan sang isteri, seperti anak dengan ayah.
3. Jangan ada permusuhan antara calon suami dengan calon isteri.
4. Calon suami jangan terlalu jelek tampangnya, sedangkan isteri cantik.
Kalau sekiranya calon iseri sudah janda, tidak boleh ayah/nenek menikahkannya kecuali dengan izin calon isteri (anaknya atau cucunya).

c. Wali bukan Mujbir/wali ab`ad (wali jauh).
Wali ab`ad bukan mujbir:
1. Saudara laki-laki seibu sebapak
2. Saudara laki-laki sebapak
3. Anak saudara laki-laki seibu sebapak
4. Anak saudara laki-laki sebapak
5. Paman seibu sebapak
6. Paman sebapak
7. Anak paman seibu sebapak
8. Anak paman sebapak
Semua itu orang laki-laki, karena wanita tidak boleh menjadi wali. Di dalam kitab I`antuth Thalibin, Sayyid Abu Bakr menyimpulkan, bahwa jika tidak ada wali mujbir, maka wali ab’ad boleh menjadi walinya. Hak menjadi wali pengganti berpindah sesuai urutan di atas, jangan ditukar rangkinya/tertibnya dengan syarat setuju/ridha sang isteri secara jelas.

d. Wali Hakim/Qadhi
Hakim/qadhi adalah seorang penjabat pemerintah yang diangkat/dilantik oleh presiden dalam bidang agama termasuk di dalamnya:
1. Nikah
2. Thalak
3. Rujuk
4. Fasakh
5. Faraidh
6. Nafkah
7. Sedekah
8. Zakat
9. Hibbah
10. Wakaf
11. dll.
Adapun dasar hukum kewenangan qadhi/hakim untuk dapat menjadi wali nikah adalah berdasarkan hadits nabi.

Artinya: Sultan/hakim adalah wali bagi orang-orang yang tidak ada wali baginya.

Dalam hadits ini Nabi memberi isyarat bahwa semua orang dapat kawin, kalau tidak ada wali yang dekat tentu dengan wali yang ab`ad, kalau tidak ada wali yang jauh, qadhi pun dapat menjadi wali bagi calon isteri. Qadhi/hakim menjadi wali dalam batas-batas yang tertentu sebagai berikut:
1. Enggannya wali akrab, yaitu setelah nyata keengganannya di hadapan hakim. Maka hakim boleh mengawinkan calon isteri, tetapi hakim mengawinkannya dengan calon suami yang sekufu/seimbang.
2. Tidak ada wali yang dekat dan wali yang jauh, dalam kondisi ini hakimlah yang menjadi wali.
3. Jauhnya wali, artinya wali si calon isteri merantau atau menghilang dan tidak diketahui alamatnya
4. Wali calon isteri sedang ihram haji atau ihram umrah di Mekkah.
5. Wali sang isteri itu ingin kawin dengan calon isteri, sebagai contoh anak paman wali bagi sang istrei, tetapi boleh kawin anak paman itu dengan calon isteri dan tidak ada wali lain, selain dia maka pada saat itu hakim dapat menjadi wali untuk menikahkan merke berdua.

e. Wali Muhkam
Muhkam ialah orang laki-laki yang alim dan saleh yang telah diangkat oleh calon isteri menjadi walinya. Karena tidak ada wali lain selain cara itu. Kalau pada zaman tabi`in ± 100 tahun setelah wafatnya Rasulullah Saw., yang bertindak sebagai wali muhkam adalah seorang mujtahid, yaitu ulama-ulama yang setara dengan Imâm Malik ibn Anas, Imâm syafi’I, dll. Tetapi pada akhir-akhir ini (zaman 1400 H) tidak ada lagi mujtahid sebanding itu, maka boleh muhkan sekurang-kurang alim yang saleh, dapat mengetahui seluk beluk ilmu agama yang mendalam.


D. PENUTUP
a) Kesimpulan
Dari apa yang telah kami paparkan, dapatlah kita menarik beberapa kesimpulan yang relevan dengan kondisi keseharian kita sekarang.
1. Agama Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk kawin dengan wanita yang sekufu dengannya, supaya dapat meneruskan generasi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt.
2. Dengan perkawinan, masing-masing suami isteri dapat meringankan tugas dengan cara membagi pekerjaan sesuai kodratnya.
3. Bahwa dengan perkawinan dapat membantu dan tolong menolong sesuai dengan anjuran syari’at.
4. Dengan perkawinan dapat menghasilkan anak saleh, dengan berkat pendidikan yang diberikan padanya, dengan demikian mendapat kebanggaan bagi Nabi Saw. bahwa umatnya terdiri dari orang-orang yang saleh dan berkualitas.
5. Dengan perkawinan akan terhindar dari perbuatan zina mata dan zina faraj, karena perzinaan itu dapat merusak agama dan keturunan.
6. Dengan perkawinan dapat memperluas persaudaraan.
7. Dengan perkawinan dapat bermusyawarah dan mufakat dalam banyak hal, sehingga hidup dalam rumah tangga penuh kasih sayang, dan akhirnya terwujudlah kehidupan keluarga yang bagaikan dalam syurga, seperti sabda Nabi, Baytî Jannatî.

b) Saran-saran
1. Disarankan kepada pemerintah supaya selalu memperhatikan rakyatnya, lebih-lebih kepada rumah tangga yang kurang mampu di segi ekonomi dan pendidikan, karena maju dan mundurnya sebuah Negara sangat tergantung pada mutu pendidikan rakyatnya.
2. Disarankan kepada ulama dan cendikiawan supaya selalu memberikan arahan dan petunjuk lebih-lebih kepada generasi muda. Semoga dapat berakhlak mulia, dengan demikian dapat terbinalah rumah tangga yang sehat bahagia dan sejahtera.
3. Diharapkan kepada masyarakat supaya selalu mengarahkan anak atau adiknya supaya mereka dapat membangun rumah tangga yang damai dan berkualitas, sehingga menjadi suri tauladan bagi orang lain.
4. Dimohon kepada pembaca risalah ini, jika terjadi penyimpangan atau bertentangan dengan nash-nash al-Qur’an dan Hadits serta menyalahi dari isi-isi kitab yang sudah ma`ruf, hendaklah risalah ini ditingggalkan saja, ambillah yang benar dari al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab yang mu`tabar, karena penulis bukan ulama.

Share/Bookmark

Artikel yang berkaitan



0 komentar:

Posting Komentar

komentar anda?