Oleh: Teungku. H. Hasanoel Bashry HG.
ABSRAK
Perbedaan adalah rahmat, itulah filosofi yang harus dihayati oleh umat Islam dalam menanggapi berbagai perbedaan pendapat dalam agama. Perbedaan adalah sunnatullâh di alam ini, sehingga menolak perbedaan justru merusak tatanan alam yang telah diciptakan Allah dalam keseimbangan.
Islam menolerir perbedaan selama tidak menyimpang dari sumber-sumber yang qath`î, bahkan lebih menggalakkan ukhuwah dan memerangi perpecahan.Al-Quran dan as-Sunnah mensyariatkan sebagian hukum secara qath`î, dan membiarkan sebagian lainnya terbuka dan interpretatif. Lalu memerintahkan umat Islam untuk berfikir, menganalisis berbagai persoalan dengan ruh keislaman. Jika umat Islam menyelami kandungan al-Quran dan as-Sunnah, maka seorang muslim akan mendapati dirinya dituntun oleh semangat syar`î. Oleh karena itu seorang muslim tidak perlu bingung menghadapi keberagaman pendapat dalam hal furû` syariat, selama semangat untuk menghayati ajaran Islam masih kuat di hati. Tulisan ini ingin menggugah semangat muslim untuk menghayati nilai-nilai tersirat yang ikut menjadi pertimbangan dalam ketetapan hukum fuqaha. Suatu hal yang juga dapat menjadi bahan pertimbangan untuk memilih pendapat yang lebih menentramkan jiwa dalam amaliyah. Kita tidak boleh lupa, bahwa semua itu adalah untuk mencapai keridhaan Allah.
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memerintahkan kaum muslimin untuk menjaga pandangan dan organ reproduksi demi kehormatan umat manusia. Selawat dan salam agar selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang senantiasa menyeru umatnya untuk menjaga kehormatan. Amma ba`d.
Lemahnya pemahaman keagamaan di kalangan masyarakat menyebabkan norma-norma agama terabaikan begitu saja. Akibatnya muncullah permasalahan moral, sosial, kriminal dan sebagainya. Satu hal yang paling menakutkan bagi penulis, ternjadinya “pergeseran nilai”. Agaknya benteng sosial masyarakat kita sangat rapuh, sehingga budaya luar begitu mudah berinfiltrasi dalam keseharian masyarakat kita. Bahkan tanpa sadar telah menggerogoti keyakinan umat Islam Aceh. Hari ini sudah ada orang Aceh yang dengan penuh percaya diri membentak petugas Wilayatul Hisbah yang menegur cara berpakaian vulgarnya. Dengan alasan hak asasi dan kebebasan pribadi, bahkan tidak merasa malu jika hubungan intim tanpa pengesahan agama diketahui publik. Apa yang dahulu dimalui dan dipandang tabu telah bergeser menjadi lumrah.
Melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak umat Islam Aceh untuk mendalami ruh dari ketetapan hukum Islam. Bukan ketentuan hukummya yang sering dianggap hanya berisi perintah dan larangan. Bukan larangannya yang harus kita permasalahkan, tapi hikmah pelarangan itu yang harus kita hayati.
A. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang.
Untuk mengawali tulisan ini, terlebih dahulu penulis ingin mengajak pembaca untuk menghayati kandungan ayat berikut ini.
Artinya: “Wahai isteri-isteri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu melembutkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Q.S. al-Ahzab [33]: 32)
Secara tekstual, larangan dalam ayat di atas ditujukan kepada isteri-isteri nabi, namun menurut Ibn Katsir, wanita-wanita kaum muslimin lainnya juga termasuk di dalamnya. Allah melarang wanita muslimah untuk melembutkan suara ketika berbicara dengan lelaki ajnabî (yang bukan suami atau mahramnya). Larangan ini disertai alasan karena hal ini dapat menimbulkan hasrat bagi lelaki yang memiliki penyakit di hatinya. Ibn Katsir mengartikan kata maradh dalam ayat di atas dengan daghal (kerusakan), sedangkan Jalaluddin as-Syuyuthi mengartikan kata maradh dalam ayat di atas dengan nifâq (kemunafikan).
Selanjutnya Allah memerintahkan kaum muslimah untuk mengucapkan perkataan yang baik. Ibn Zayd mengatakan, maksud ‘perkataan yang baik’ di sini adalah perkataan yang bagus, wajar dan dalam kebaikan. Ini berarti perintah agar seorang muslimah, jika berbicara kepada seorang lelaki ajnabî agar tidak men-tarkhîm (memerdukan dan melembutkan bicaranya).
Sebagian orang menganggap ayat ini hanya berisi pesan moral, sehingga tidak mengandung satu ketetapan hukum pun. Atau kalau ada hanyalah ketentuan khusus bagi isteri-isteri nabi. Namun kalau kita memperdalam perhatian kita, kita akan menemukan keindahan Islam, yang menetapkan satu tindakan preventif dalam ayat ini. Manusia diciptakan dengan nafsu sebagai fitrah kejadiannya, Allah sebagai pencipta manusia -yang paling tahu tentang ciptaannya- menjelaskan dalam surat Ali Imran ayat 14, bahwa manusia dihias dengan kecintaan syahwat kepada wanita, anak, harta dan seterusnya. Karena secara psikologis manusia tak dapat melepaskan diri dari nafsu, maka Allah mengigatkan dan melarang hal-hal yang dapat menjerumuskan manusia dalam perbuatan hina yang diakibatkan oleh kecenderungan memperturutkan hawa nafsu. Dalam ayat di atas Allah melarang manusia bersikap dan berbicara yang mengundang rangsangan dan godaan, karena hal itu adalah tangga awal yang mengantarkan manusia kepada klimaks kenistaan, yaitu zina.
Hal yang sama juga kita temukan dari sabda-sabda Rasulullah, misalnya dalam hadits berikut Rasulullah bersabda:
Artinya: “Wanita yang memakai parfum dan lewat di suatu majelis (sekelompok lelaki), maka sesungguhnya dia ‘begini’ (yakni berzina).” (H.R. at-Tirmidzi)
Dalam hadits ini Rasulullah melarang wanita yang memakai parfum lewat di depan lelaki, karena parfum dapat menimbulkan rangsangan. Ia dikatakan berzina, karena efek dari tindakannya dapat menimbulkan ilusi bagi pria yang mengendus aroma parfumnya dan tergerak untuk memandangnya. Dalam hadits yang lain Rasulullah memberikan ketetapan bagi pria dan wanita.
Artinya : “Janganlah bertelanjang seorang lelaki dengan lelaki lain dalam satu pakaian (selimut/sarung), dan jangan pula seorang wanita dengan wanita lain dalam pakaian yang satu.” (H.R. Muslim)
Dengan hadits ini, para ulama mengharamkan dua orang lelaki atau dua orang wanita berbaring seranjang di bawah satu selimut, atau dalam satu kain sarung, walaupun saling berjauhan. Misalnya yang seorang berbaring di salah satu ujung ranjang, seorang lagi berbaring di ujung yang lain. Tentunya kita dapat menalar apa yang ingin dicegah oleh Rasulullah dengan larangan ini. Mari kita lihat hadits lain yang juga dapat membantu kita menemukan hikmah yang indah dibalikya.
Artinya : “Perintahlah anakmu mengerjakan shalat pada saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak shalat pada saat mereka berusia sepuluh tahun dan pisahlah tempat tidur mereka.” (H.R. at-Turmudzi)
Tindakan preventif juga kita temukan dalam surat an-Nur ayat 31, ketika Allah melarang wanita memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang dikenakannya. Larangan ini adalah agar wanita tidak menarik perhatian lawan jenisnya dalam sikap dan cara berjalannya. Sungguh sangat ironis jika kita bandingkan dengan kondisi keseharian masyarakat kita hari ini. Di mana wanitanya malah berlomba-lomba menarik perhatian lelaki, berbagai model pakaian didisain untuk menampilkan feminisme wanita. aurat ditutup tapi lekuk sensual tubuhnya tampil dengan nyata, menggoda setiap mata yang memandangnya. Ditambah lagi dengan terpuruknya perekonomian masyarakat kita, maka segala upaya tidak akan berhasil untuk mengangkat martabat wanita kita. Karena mereka terus tertipu oleh hawa nafsunya sendiri.
Di pihak lain, maraknya kasus pelecehan seksual selama ini, menyudutkan kaum lelaki sebagai pihak yang bersalah. Berbagai ketetapan hukuman berat pun diterapkan, namun anehnya tidak pernah menyurutkan jumlah kasus tiap tahunnya. Hal ini jelas karena upaya yang selama ini dilakukan hanyalah usaha memangkas, sementara ia terus tumbuh, kenapa kita tidak memulai dari akarnya?
Satu hal yang penulis yakini dapat membantu, adalah upaya memperkenalkan mereka kepada diri sendiri, mengajarkan bagaimana cara menghormati dan menempatkan diri dalam kondisi terhormat. Dan ini hanya akan berhasil jika melalui jalur pendidikan agama. Inilah yang menjadi daya tarik bagi penulis, sehingga berupaya untuk menyusun tulisan yang berjudul “Aurat dalam Perspektif Fuqaha Syafi’iyah” ini. Dipilihnya pendapat Fuqaha Syafi’iyah sebagai dasar pijakan, karena mengingat luasnya Mazhab Syafi’i dianut, khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam.
Dalam pembahasan ini kita akan menemukan perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha dan mufassir. Namun dari pembahasan ini kita akan melihat pertimbangan mereka. Sehingga kita dapat menarik hikmah yang relevan dengan kondisi kekinian kita. Di mana sumber kemaksiatan adalah dari pandangan, dan inti kehancuran masyarakat kita adalah hilangnya rasa malu umat Islam.
b. Ungkapan al-Qur’an tentang aurat
Sebelum melakukan kajian Fiqh tentang aurat, akan lebih baik jika terlebih dahulu kita meninjau ketentuan al-Qur’an tentang aurat dalam pandangan mufassir. Kita beruntung karena memiliki cukup banyak literatur yang dapat menjelaskan penafsirannya bagi kita. Karya-karya para mufassir cukup melimpah untuk menjadi bahan kajian kita.
Al-Qur’an menggunakan terminologi saw’at (sesuatu yang buruk) untuk menyebutkan aurat, Allah mengisahkan bahwa Adam dan Hawa digoda oleh syaithan agar nampak saw’at -nya.
Artinya : Setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan pada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata, “Tuhan kamu melarang kamu mendekati pohon ini supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (di Syurga).” (Q.S. al-A`raf [7]: 20)
Dalam ayat berikutnya dijelaskan, bahwa ketika Adam memakan buah dari pohon terlarang itu, maka nampaklah saw’at–nya, sehingga Adam berusaha menutupinya dengan daun-daun syurga. Jalaluddin as-Syuyuthi menafsirkan kata saw’at dengan makna terlihatnya qubl dan dubr keduanya, dinamakan saw’at karena penampakannya menyebabkan nampaknya keburukan pemiliknya. Kemudian Allah mengingatkan anak-anak Adam agar tidak tertipu kembali oleh syaithan, sebagaimana orang tuanya dulu berhasil ditipu:
Artinya : “Wahai putra-putri Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaithan sebagaimana ia (telah menipu orang tuamu Adam dan Hawa) sehingga ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari syurga. Ia menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya aurat mereka berdua.” (Q.S. al-A`raf [7]: 27)
Dari ayat ini terlihat, betapa aurat merupakan masalah yang sangat krusial untuk dijaga, karena ia adalah pintu utama kelemahan manusia. Adam dan Hawa dikeluarkan dari syurga karena masalah aurat. Meskipun ayat di atas telah berbicara tentang aurat. Namun ketentuan hukum tentang aurat secara jelas kita temukan dalam surat an-Nur ayat 30 dan 31.
Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.
Asbâbun nuzûl ayat di atas menurut Ibn Mardawiyah yang meriwayatkannya dari `Ali R.A adalah bertepatan dengan kejadian seorang lelaki berjalan-jalan di kota Madinah. Sambil berjalan ia memandang seorang wanita dan wanita itu pun memandangnya, maka syaithan pun membisikkan kepada keduanya, bahwa mereka takkan saling memandang kalau tidak saling tertarik dan saling mengagumi. Sementara itu si lelaki sedang berjalan ke arah kamar kecil dengan tetap memandang wanita itu, tanpa sadar ia sudah tiba di depan kamar mandi dan terbentur hingga hidungnya terluka. Ia berkata: “Demi Allah, aku takkan mencuci darah ini sampai Rasulullah datang”. Lalu seseorang mengabarkan kedatangan Rasulullah dan ia pun segera menjumpainya dan menceritakan musibah yang menimpa dirinya. Rasulullah menanggapi; “Inilah balasan untuk dosamu”, dan ketika itu turunlah ayat 30 surat an-Nur di atas.
Dalam ayat ini Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk mengingatkan kaum lelaki yang beriman agar menundukkan pandangannya dari segala sesuatu yang tidak halal dilihat, dan memelihara organ intimnya (farj) dari yang diharamkan. Dan juga diingatkan bahwa penjagaan ini lebih suci bagi akhlak mereka dan menjauhkan mereka dari kenistaan. Dalam menafsirkan ayat ini Ibn Katsir mengutip beberapa hadits, salah satunya hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari berikut ini:
Artinya : “Barangsiapa yang menjamin untukku sesuatu di antara dua janggutnya dan sesuatu di antara dua kakinya, aku jamin untuknya syurga”. (H.R. al-Bukhari)
Selain itu, redaksi ayat ini tidak menggunakan perintah langsung, tetapi menujukan perintah kepada Rasulullah, dan membebankannya agar disampaikan kepada kaum lelaki yang beriman. Hal ini menunjukkan kandungan makna tersirat, bahwa perbuatan itu sangat buruk, dan si pelakunya berkewajiban untuk berpaling darinya serta meneruskan perintah itu kepada orang lain. Sedangkan jika digunakan perintah langsung (amr), maka kandungan makna di atas takkan terikut sertakan pada perintah memelihara faraj, karena perkara faraj lebih besar sehingga harus diberi penekanan lebih. Jadi maksud itu takkan tersampaikan jika menggunakan redaksi amr.
Ayat 31 surat an-Nur berisi perintah yang sama untuk wanita. Muhammad Ali al-Sâyis berpandangan, bahwa ada sesuatu yang khusus dalam pengulangan perintah ini, mengingat biasanya al-Qur’an menerapkan metode taghlîb. Kekhususan untuk wanita dalam ayat ini adalah larangan menampakkan perhiasan, kecuali yang biasa tampak, dan disertai dengan penjelasan tentang kepada siapa-siapa saja ia boleh terlihat. Kemudian perintah untuk melebarkan kerudungnya, terakhir larangan menghentakkan kaki, yaitu larangan melakukan segala sesuatu yang menarik perhatian manusia pada perhiasannya.
Berkaitan dengan larangan menampakkan perhiasan pada wanita, ada pendapat yang menafsirkan maksud kata perhiasan (az-Zînah) dalam ayat di atas sebagai perhiasan dalam arti material misalnya kalung. Namun -menurut Ibn Katsir- pendapat yang masyhur di kalangan kebanyakan ulama (jumhur) adalah pendapat yang berpendirian bahwa yang dimaksud dengan hiasan dalam ayat di atas adalah wajah dan telapak tangan. Pendapat ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abû Dawûd dalam Musnâd-nya, bahwa pada suatu hari Asmâ’ binti Abû Bakr masuk menemui Rasulullah dengan pakaian yang tipis, Rasulullah berpaling darinya dan berkata; “Wahai Asmâ’, sesungguhnya seorang wanita jika telah sampai masa haidh, tidak patut terlihat darinya kecuali ini dan ini”, seraya mengisyaratkan kepada wajah dan tangan beliau.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ali al-Sâyis, menurutnya pendapat pertama di atas didasarkan pada pemahaman makna literal dari kalimat az-Zînah, namun maksud mereka bukanlah pemahaman az-Zînah secara mutlak sehingga perhiasan yang dijual di toko pun tidak boleh dinampakkan. Tetapi ia tidak boleh dinampakkan jika telah dikenakan oleh orang yang berhias dengannya. Oleh karena itu, menampakkan tempat di mana perhiasan itu dipakai menjadi lebih kuat pelarangannya (min bâb al-awlâ). Sedangkan kelompok kedua -menurut Ali al-Sâyis- menempuh metode metaforis (majâzî) atau mentaqdirkan mudhâf.
B. KETENTUAN HUKUM TENTANG AURAT
a. Pengertian
Aurat secara etimologis berarti sesuatu yang dipandang sebagai kekurangan (al-Nuqshân) dan sesuatu yang dipandang hina (al-Mustaqbah) dan juga dipakai dengan makna kadar terntentu yang hina dinampakkan. Dalam kamus ash-Shihah, dikatakan bahwa kalimat aurat berarti keburukan pada diri manusia, atau sesuatu yang dimalui oleh manusia. Demikian pula dalam Lisân al-`Arab, Ibn Mandlur memaknai kata aurat dengan setiap sesuatu yang disembunyikan, ditutupi.
Sedangkan pengertian aurat dalam terminologi fiqh –menurut asy-Syarbînî- dipakai dalam dua lingkup makna, yang pertama dipakai untuk makna; sesuatu yang wajib ditutup dalam shalat, yang kedua kalimat aurat di-itlaq-kan untuk sesuatu yang haram dilihat. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh al-Syarwânî ketika mendefinisikan makna aurat dalam istilah fiqh.
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa aurat dalam istilah fiqh ditinjau dari dua dimensi, pertama berkaitan dengan ibadah shalat, sedangkan yang kedua berkaitan dengan kehidupan sosial. Dalam kaitannya dengan shalat, kita tidak melihat perbedaan yang signifikan di kalangan ulama, justru di dalam kaitan sosial kita menemukan perbedaan pandangan. Para ulama berbeda pandangan dalam menetapkan batas-batas yang menjadi aurat pada seseorang. Para fuqaha menetapkan bahwa tubuh seorang wanita di luar shalat adalah aurat semuanya.
b. Hukum Melihat Aurat menurut Fuqaha Syafi’iyah
Dalam ayat di atas kita melihat betapa indahnya bahasa al-Qur’an yang mengawali ketentuan mengenai aurat dengan perintah memelihara pandangan dan kemaluan, lalu diiringi dengan penjelasan bahwa penjagaan itu dapat membersihkan jiwa dan ditutup dengan peringatan bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang kita kerjakan. Secara implisit ayat ini membicarakan kondisi kejiwaan manusia yang merupakan fitrah penciptaannya sehingga ia perlu diingatkan untuk menjaga pandangan dan alat reproduksinya. Dari itu para fuqaha sepakat bahwa pandangan mata adalah tangga awal yang mengantarkan kepada perbuatan maksiat, dan klimaksnya adalah terjerumus dalam zina.
Mengingat urgennya masalah pemeliharaan pandangan, para fuqaha memberikan perhatian yang mendalam tentang ini. Mereka mengklasifikannya dalam kategori haram, makruh mubah dan sunnat. Dalam kajian ini kita akan meninjau ketentuan-ketentuan hukum dalam mazhab Syafi’i. Tentu saja ketentuan hukum ini dibicarakan dalam kondisi melihat dengan sengaja. Sebab secara logika saja, melihat secara tidak sengaja pada pandangan pertama tidak disertai oleh hasrat apa-apa, sehingga tidak boleh bagi seseorang yang tidak sengaja melihat seorang wanita kemudian timbul perasaan suka serta ingin melihat kembali. Dalam konteks ini, melihat tanpa disengaja tiada mengapa juga tidak akan disiksa hari kiamat kelak. Diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah Al-Jabali :
Artinya : Berkatalah Jarir : Saya tanyai Rasulullah SAW tentang melihat yang tiada disengaja, maka Rasulullah memerintahkan supaya mengalihkan pandangan saya.
Berikut mari kita melihat pembahasan para Fuqaha Syafi’iyah menyangkut masalah melihat aurat dengan sengaja, sesuai menurut klasifikasi hukum berikut ini.
1. Haram
Para Ulama Syafi’iyah menetapkan bahwa haram bagi seorang laki-laki -walaupun ia sudah tua renta- secara sengaja melihat sesuatu dari bagian tubuh seorang wanita ajnabiyah (yang bukan istrinya dan bukan mahramnya) yang menurut tabi’at laki-laki normal akan menimbulkan syahwat kepadanya, baik wanita merdeka maupun budak walaupun hanya melihat kepada wajah dan telapak tangannya, bahkan walau wanita tersebut sudah tua atau jelek sekalipun. Demikian pula sebaliknya bagi wanita, haram melihat aurat lelaki. Jalâluddîn al-Mahallî memandang pendapat inilah yang sahih, dari pada pendapat yang kedua yang mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan tidak haram dilihat. Ulama yang berpegang pada pendapat kedua, mendasarkan pendapatnya pada firman Allah yang melarang wanita menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak, sedangkan wajah dan telapak tangan adalah anggota tubuh yang biasa nampak.
Dalam ayat 30 dan 31 surat al-Nur Allah memerintahkan pria dan wanita mukmin untuk menjaga pandangan dan organ reproduksinya, hanya saja untuk wanita ditambah dengan larangan menampakkan perhiasannya dengan pengecualian anggota tubuh yang biasa nampak, yaitu wajah dan telapak tangan. asy-Syarbînî dalam kitabnya Mughnî al-Muhtâj mengingatkan, bahwa dengan melihat pembahasan yang ada, kita akan mendapatkan bahwa wajah dan telapak tangan pada dasarnya bukanlah aurat, hanya saja keduanya dihubungkan dengan aurat dalam hal pengharaman melihatnya. Ia mengutip pendapat al-Mawardi yang mengatakan bahwa aurat wanita selain terhadap suaminya diklasifikasikan dalam aurat kubrâ dan sughrâ. aurat Kubrâ adalah selain wajah dan kedua telapak tangannya, sedangkan aurat Sughrâ-nya adalah antara pusar dan lutut. Maka Awrat Kubrâ wajib ditutup dalam shalat, dari pandangan lelaki lain dan dari pandangan khuntsa. Sedangkan aurat Sughrâ wajib ditutup dari pandangan wanita lain walaupun wanita itu adalah kerabatnya sendiri, ditutup dari pandangan mahramnya dan anak yang usianya menjelang baligh.
Sementara itu, ketetapan ulama yang berpegang pada pendapat pertama di atas, didasarkan oleh pemahaman terhadap ayat 30 surat al-Nur, yang intinya adalah perintah terhadap lelaki mukmin agar memelihara pandangan. Jadi perbedaan ini muncul karena perbedaan pandangan fuqaha dalam melihat mana yang lebih dominan -sebagai pertimbangan dalam penetapan hukum- antara perintah memelihara pandangan dan pengecualian dalam larangan menampakkan perhiasan bagi wanita pada ayat berikutnya. Atau dalam melihat kaitan keduanya, di satu sisi lelaki di perintah untuk memelihara pandangan dan organ reproduksinya, disisi lain wanita dilarang menampakkan perhiasannya. Sebagian melihat adanya keterkaitan antara keduanya, namun sebagian yang lain melihat perintah menjaga pandangan sebagai perintah yang tersendiri bagi si lelaki, tidak ada kaitannya dengan larangan menampakkan perhiasan/ aurat bagi wanita. Artinya larangan menampakkan perhiasan pada wanita dianggap berdiri sendiri, bukan larangan yang berhubungan sebab akibat dengan perintah sebelumnya.
Sejauh ini kita melihat bahwa pendapat pertama lebih ketat dibandingkan pendapat kedua yang terkesan lebih longgar dalam menetapkan hukum melihat kepada lawan jenis. Untuk itu kami merasa perlu mengetengahkan pertimbangan dan penalaran yang dipakai oleh kelompok pertama, mengingat itu adalah pendapat yang dipilih oleh kebanyakan ulama di kalangan Syafi’iyah. Selain dari ayat 30 surat al-Nur yang –telah kita kutip sebelumnya- itu, para fuqaha syafi’iyah juga mendasarkan pendapatnya atas hadits berikuti ini:
Artinya: Pandangan adalah anak panah yang beracun dari panah iblis yang dilaknat, karena pandangan mengarahkan manusia kepada angan-angan, dan angan-angan menjerumuskan kepada zina.
Artinya: Mata melakukan zina, dan hati membenarkan itu atau sebaliknya.
Yang dimaksud dengan lelaki dalam ketetapan hukum di atas adalah lelaki yang telah baligh walau masih diragukan kelelakiannya. Maka kalimat lelaki di atas mencakup kategori berikut, pertama lelaki yang sempurna organ vital/intimnya (al-Fahl), yang kedua al-Khashshî, yaitu lelaki yang memiliki penis tetapi tidak memiliki testis. Ketiga al-Majbûb, yaitu lelaki yang tidak memiliki penis, tapi masih memiliki testis. Keempat al-Khuntsâ musykîl, yaitu orang yang memiliki dua organ kelamin (pria dan wanita). Ia diharamkan melihat aurat wanita karena masih memiliki kemungkinan memiliki sisi kelakian, sedangkan mamsûh (orang yang tidak memiliki penis dan testis) dipandang sama hukumnya dengan mahram. Adapun orang gila, maka pandangannya tidak disifati dengan haram atau tidak, pandangannya dianggap sama dengan binatang, tetapi para wanita wajib menjaga auratnya dari pandangan mereka.
Dengan ketentuan terhadap lelaki di atas, maka wanita tidak termasuk di dalamnya, wanita dibolehkan memandang kepada sesama jenisnya. Demikian pula dengan adanya kait baligh di atas, maka keluar darinya anak-anak yang belum cukup umur. Namun anak yang sudah di ambang baligh (murâhiq) dianggap sama dengan orang yang sudah baligh.
Dalam ketentuan hukum di atas juga terlihat betapa para ulama sangat ketat dalam menetapkan keharaman pandangan lelaki terhadap wanita, sampai-sampai kepada lelaki yang telah renta dan lemah sekalipun. Menurut as-Sayyid Abû Bakr –yang mengutip pendapat Imâm al-Harâmayn-, ada dua hal yang menjadi dasar pertimbangan, pertama kesepakatan kaum muslimin dalam membatasi keluarnya wanita dalam kondisi wajah terbuka. Kedua, kenyataan bahwa pandangan merupakan sumber timbulnya fitnah dan penggerak syahwat. Padahal Allah telah memerintahkan kaum muslimin untuk memelihara pandangannya, oleh karena itu yang layak untuk kebaikan syari’at adalah menutup segala kemungkinan yang mengarah padanya (Saddul Bâb) dan mencegah segala kondisi yang merupakan cabangnya, seperti berada di tempat sepi dengan wanita yang bukan istri atau mahram.
Namun pendapat di atas dikritik dasar pertimbangannya oleh al-Qadhi `Iyadh dalam kitabnya Fath al-Jawad. Menurutnya tidak cocok menetapkan hukum wajib menutup wajah bagi wanita karena melihat kesepakatan kaum muslimin dalam membatasi wanita keluar rumah dengan wajah terbuka. al-Qadhi `Iyadh mengetengahkan pendapat ulama yang mengatakan bahwa menutup wajah bagi wanita ketika beraktifitas di luar rumah tidak wajib, tetapi sunat. Dalam kondisi itu, justru si lelaki yang dituntut untuk menjaga pandangannya (wajib hukumnya). Hal ini karena pertimbangan bahwa perintah bagi si wanita untuk menjaga diri dari pandangan lelaki bukan ditetapkan atas dasar kewajiban, tapi atas pertimbangan kemaslahatan umum, yaitu menutup pintu fitnah. Namun demikian, jika ia mengetahui adanya lelaki lain yang memperhatikan dirinya, maka wajib ia menutup wajahnya. Hal ini didasarkan atas pendapat ulama yang mewajibkan mereka menjaga diri dari pandangan wanita kafir (zimmiyah), dan karena dengan membiarkannya tetap terbuka dapat menolong atas satu perbuatan haram.
Dari pembahasan di atas terlihat betapa para ulama sangat ketat dalam menggariskan ketentuan melihat kepada lawan jenis. Bahkan sebagian ulama menetapkan bahwa melihat kepada wanita yang memakai cadar (yang terlihat hanya dua mata dan bagian yang tembus melalui celah-celah cadar) juga diharamkan, lebih-lebih wanita yang berparas jelita.
Salah satu kait yang juga perlu kita perhatikan dalam ketentuan hukum di atas adalah dikaitkannya hukum haram melihat wanita dengan batas usia menimbulkan syahwat bagi lelaki yang melihatnya. Maksudnya pada usia di mana secara fisik tubuh wanita telah berkembang menampakkan ciri feminismenya dan diukur dengan tabi’at lelaki normal. Menurut as-Subki, melihat dengan syahwat adalah melihat dengan maksud menunaikan hasrat. Artinya, seseorang suka melihat wajah yang cantik dan merasa nikmat memandangnya. Selanjutnya as-Subki mengatakan, jika seseorang memandang untuk memperoleh kenikmatan dengan kecantikan itu, maka ia telah memandang dengan disertai syahwat, dan pandangan itu haram. As-Subki menambahkah, bukanlah syahwat yang dimaksud sampai munculnya rasa ingin memuaskan nafsu seksual, sebab ia bukanlah syarat untuk mengindentifikasi pandangan syahwat, tapi ini malah menunjukkan tingkat kefasikan yang lebih tinggi. Sebagian manusia takut terjerumus dalam perbuatan nista, sehingga mempadai diri pada sebatas memandang, mereka mengira dirinya terbebas dari dosa, padahal tidak sama sekali.
Dengan adanya batas umur, maka kanak-kanak wanita yang belum membangkitkan syahwat bagi yang melihatnya tidak termasuk, sehingga melihatnya tidak haram. Kecuali melihat pada alat kelaminnya, maka hukumnya haram, yang dibolehkan melihat kepada alat kelaminnya adalah ibunya pada masa menyusui dan mendidiknya.
Di atas kita telah membahas ketentuan hukum melihat aurat bagi laki-laki, demikian juga sebaliknya bagi wanita. Ulama Syafi’iyah menetapkan, bahwa ketentuan hukum di atas juga berlaku sama bagi wanita, hanya saja kita menemukan sedikit perbedan pendapat dalam hal ini.
Sayyid Abû Bakr mengemukakan, bahwa keharaman melihat aurat lawan jenis juga berlaku sama bagi wanita, baik dalam kondisi aman dari timbulnya fitnah dan disertai syahwat atau pun tidak. Hal ini karena pertimbangan perintah Allah bagi wanita –dalam surat al-Nur ayat 31- untuk menjaga pandangan. Dan juga karena perintah Rasulullah kepada Maymunah dan Ummi Salâmah ketika keduanya memperhatikan Ibn Ummi Maktûm dari belakang hijabnya, Ummi Salâmah berkata kepada Rasulullah: “Bukankah ia buta, tidak melihat?” Rasul menjawab: “Tidakkah engkau berdua melihatnya?”.
Pendapat yang berbeda diriwayatkan dari al-Hâwî dan ar-Râfi`î yang mendasarkan pendapatnya kepada kasus `Aisyah yang melihat sekelompok anak muda yang sedang bermain di masjid, padahal Nabi mengetahuinya. Pendapat ini ditolak dengan tiga alasan. Pertama, konteks hadits di atas tidak menunjukkan bahwa `Aisyah melihat kepada wajah dan badan para pemuda itu, tetapi melihat permainan mereka. Jadi tidak serta merta dengan melihat permainan lantas dapat dikatakan telah memperhatikan wajah dan badan mereka, seandainya jika memperhatikannya tanpa sengaja tentu `Aisyah akan memalingkan wajahnya ketika itu juga. Kedua, bisa saja kejadian itu terjadi sebelum turunnya ayat hijab. Sedangkan alasan ketiga mengatakan, juga dimungkinkan bahwa pada saat itu `Aisyah masih belum mencapai kematangan secara kewanitaan. Sebagian ulama menambahkan alasan pada yang ketiga, bahwa `Aisyah melihat kepada mereka hanya apa yang nampak dalam aktivitas keseharian saja, karena tidak ada keperluan kepada selainnya. Pendapat ini dikuatkan oleh sebagian ulama dengan alasan, bahwa sudah menjadi kebiasaan umum wanita melihat pria beraktifitas di tempat umum. Dan an-Nawawi mengecualikan hukum haramnya wanita melihat pria, jika mereka berencana untuk menikah dengannya.
Sejauh ini kita melihat para ulama Syafi’iyah memandang sensitif masalah melihat kepada lawan jenis, namun bagi mereka akan berbeda halnya jika melihatnya tidak secara langsung. Mereka menyimpulkan bahwa melihat aurat wanita melalui pantulan (bayangan), -misalnya melihat di dalam cermin atau bayangan di dalam air- bila tidak disertai dengan syahwat dan aman dari fitnah tidak haram.
Selain kepada wanita, para ulama juga menetapkan hukum haram melihat amrad, (yaitu seorang pemuda yang berparas rupawan yang belum tumbuh jenggotnya) dengan diiringi syahwat atau tidak. Sementara itu antara sesama lelaki haram melihat antara pusar dan lutut karena itu adalah aurat. Demikian pula hukumnya pada sesama wanita muslimah, boleh melihat yang selain wilayah antara pusar dan lutut. Kecuali antara wanita muslimah dengan zimmiyah, pada permasalahan ini ada perbedaan pendapat. Pendapat yang kuat menurut Imam Nawawi adalah haram.
Alasan pengharamannya menurut asy-Syarbînî adalah, bahwa dalam surat an-Nur Allah mengkhususkan wanita muslimah sebagai salah satu yang dikecualikan dari orang-orang yang wanita muslimah dilarang menampakkan perhiasannya pada mereka. Jika wanita non muslim juga dikecualikan, berarti kekhususan ini tidak ada maknanya. Dan juga ditashihkan dari Umar RA. bahwa beliau mencegah wanita ahli kitab untuk masuk ke pemandian umum bersamaan dengan wanita muslimah, karena ditakutkan nantinya para non muslimah itu akan mengintai dan membeberkan kekurangan dan kejelekan kaum muslimah. Meskipun begitu, Jalâluddîn al-Mahallî membolehkan zimmiyah melihat kepada kaum muslimah dalam batas-batas mihnah, yaitu wajah, kepala, leher, tangan hingga siku dan kaki sampai batas lutut. Namun ada juga ulama yang berpendapat bahwa yang boleh nampak hanyalah wajah dan telapak tangan. Semetara itu pendapat kedua yang mengatakan tidak haram, mereka menyamakan hukumnya dengan lelaki, di mana tidak dibedakan batasan aurat antara lelaki muslim dengan lelaki kafir dibanding sesama muslim.
2. Makruh
Sebelumnya kita sudah membahas hukum melihat aurat orang lain dan lawan jenis yang hukumnya dikategorikan haram. Berikut ini kita akan mengkaji hukum melihat aurat dalam kategori makruh. As-Sayyid Abû Bakr, menyimpulkan bahwa seseorang boleh melihat aurat-nya sendiri selain dalam shalat, tapi hukumnya makruh jika bukan untuk satu keperluan. Para ulama menetapkan ke-makruh-an melihat aurat sendiri tanpa satu keperluan karena kondisi ini dapat mengantarkan kepada keinginan syahwat yang mengantarkan kepada perbuatan dosa.
Adapun melihat aurat sendiri didalam shalat, misalnya melalui lubang kancing baju, atau karena kerah baju yang agak besar, maka shalatnya batal. Asy-Syarbîni mengatakan, jika pakaian yang kita kenakan untuk shalat masih menampakkan aurat dari atasnya, misalnya dari kerahnya ketika ruku` karena longgar, maka pakaian itu tidak layak untuk shalat dan membatalkan shalat. Yang dimaksudkan adalah kondisi pakaian itu memungkinkan kita melihat aurat, bukan berarti harus melihatnya, tanpa melihat pun shalat telah batal, karena pakaian itu memungkinkan kita melihat aurat.
Kemakruhan melihat aurat juga berlaku pada pasangan suami istri. Kaum muslimin telah sepakat tentang tidak adanya batas aurat antara suami istri, karena seluruh tubuh merupakan wilayah intim suami istri (mahl istimtâ`). Namun para ulama menetapkan makruh-nya melihat pada kemaluan keduanya baik pada dlahir atau batin faraj, yaitu pada qubl dan dubr. Qulyûbî mengemukakan; ada yang berpendapat bahwa hikmah tidak boleh melihat kepada faraj adalah karena dapat menyebabkan kebutaan bagi yang melihat, namun sebagian ulama berpendapat dapat menyebabkan buta hati, ada juga yang mengatakan kebutaan akan terjadi pada anaknya. Ketiadaan batas aurat antara suami isteri tetap berlaku, kecuali jika si suami melarang istrinya melihat dan larangan itu pun hanya dapat berlaku jika yang dilarang melihat adalah faraj/organ vital. Sedangkan dari pihak isteri, larangannya tidak berlaku, artinya suami boleh mengabaikan larangan istri melihat faraj-nya. Demikian pendapat yang dikemukakan Qulyûbî. Hal yang sama juga berlaku dalam pergaulan seorang majikan dengan budak wanitanya, yang menggauli budaknya sebagai isteri.
Asy-Syarbînî mengemukakan satu hadits dari `Aisyah yang dijadikan dasar pijakan penetapan hukum makruh melihat kepada faraj;
Artinya: `Aisyah RA. berkata: Aku tidak pernah melihat darinya, dan ia (Rasulullah) juga tidak pernah melihat dariku. (maksudnya organ intim)
Karena hadits di atas tidak tegas melarang, tapi hanya menjelaskan perbuatan Rasulullah yang tidak pernah melihat kepada organ intim istrinya, maka para ulama menetapkan hukumnya makruh. Sedangkan hadits tentang akibat buta yang ditimbulkan oleh melihat kepada faraj, masih diragukan kebenarannya.
Artinya : “Melihat kepada faraj dapat menyebabkan buta”.
Ibn Hibbân meriwayatkan hadits itu dalam kelompok hadits dha`if, Ibn al-Jawzî mengatakan bahwa hadits itu mawdhû`. Tetapi sebagian ahli hadits mengatakan tidak benar hadits itu mawdhû`, sedangkan Ibn ash-Shalâh berpendapat bahwa hadits itu hasan sanadnya. Oleh karena itu, ar-Râfi`î menetapkan bahwa hukum melihat kepada farj makruh.
3. Mubah
Secara umum melihat aurat orang lain hukumnya haram, namun dalam beberapa hal dan kondisi tertentu terdapat pengecualian dan pembolehan melihatnya. Hal ini terlihat dari metode al-Qur’an yang setelah memerintahkan menjaga pandangan dan organ reproduksi lalu melarang wanita menampakkan perhiasannya, dan kemudian mengecualikan beberapa kondisi dan orang-orang tertentu. Dalam pembahasan fiqh kita dapat mengklasifikasikan beberapa kondisi yang membolehkan melihat aurat. Pertama, ketika melakukan aktifitas sehari-hari. Kedua, ketika ada keperluan pengobatan, mu’amalah dan hadhanah. Ketiga, ketika berhadapan dengan orang yang sama jenis kelaminnya, berhadapan dengan mahram. Berikutnya kita akan membahasnya sesuai dengan klasifikasi ini.
1) Ketika melakukan aktifitas sehari-hari
Dalam pembahasan sebelumnya sedikit banyaknya kita sudah menyinggung tentang kondisi seseorang yang sedang dalam aktifitas kesehariannya. Seorang wanita yang sedang beraktifitas di luar rumah tentunya akan besar kemungkinannya berpapasan dengan lelaki ajnabi, wanita non muslim, dan anak-anak yang menjelang baligh (al-Murahiq). Berkaitan dengan lelaki ajnabi sudah jelas dalam pembahasan kita sebelumnya, menurut pendapat yang kuat jika dalam kondisi normal (bukan darurat dan keperluan mu’amalah) tidak boleh terlihat bagian tubuhnya. Sedangkan dalam pendapat kedua yang berpendirian bahwa wajah dan telapak tangan adalah bagian yang dikecualikan, maka si wanita boleh membuka wajahnya dalam arti sunat menutupnya tetapi si lelaki yang berpapasan dengannya dituntut untuk menundukkan pandangannya.
Demikian pula halnya wanita yang melihat kaum pria yang sedang melakukan aktifitasnya, hanya saja para ulama mentolerir kondisi ini karena sudah menjadi hal yang umum wanita melihat pria yang beraktifitas di tempat umum, selama tidak menimbulkan fitnah. Dalam kondisi ini yang boleh dilihat wanita dari pria hanyalah bagian dalam kondisi mihnah, yaitu wajah, kepala, leher, tangan hingga siku dan kaki sampai batas lutut. Menurut al-Mahallî, ada pendapat ashah yang membolehkan wanita melihat tubuh pria ajnabi pada selain batas pusar dan lutut, karena bagian ini bukanlah aurat. Dengan syarat tidak ditakutkan timbulnya fitnah. Namun al-Mahallî sendiri menguatkan pendapat yang mengatakan haram.
Dalam hal berhadapan dengan wanita non muslim, seorang muslimah yang sedang beraktifitas hanya boleh terlihat wajah, kepala, leher, tangan hingga siku dan kaki sampai batas lututnya. Sedangkan al-Murahiq (anak laki-laki yang menjelang baligh) dipandang sama dengan lelaki dewasa, sehingga wanita harus menjaga auratnya terhadap si murahiq, sama halnya jika berhadapan dengan laki-laki dewasa.
2) Ketika ada keperluan pengobatan, mu’amalah, syahadah dan ta’lim
Adakalanya manusia berhadapan dengan keadaan darurat, di mana kehidupan seseorang sedang dalam kondisi tidak normal. Pada saat ini hukum tidak dapat diterapkan sebagaimana dalam kondisi normal, kondisi darurat membolehkan keringanan-keringanan yang berkaitan dengan kondisi itu. Jika seseorang sedang sakit dan butuh penanganan medis, maka baginya berlaku rukhsah dalam ketentuan tentang aurat. Orang yang mengobati boleh melihat dan menyentuh –sesuai kebutuhan- bagian tubuh yang akan diobati walau organ intim sekalipun. Seorang dokter pria boleh mengobati pasien wanita, demikian juga sebaliknya. Hanya saja para ulama berbeda pendapat dalam hal keharusan hadirnya mahram. Hal ini akan kita bahas lebih detil dalam pembahasan tentang hukum menyentuh aurat.
Selain darurat, kondisi lain yang di dalamnya berlaku keringanan dalam hal aurat adalah ketika ber-mu’amalah -misalnya jual beli-, syahadah (persaksian) dan dalam pendidikan. Namun para ulama menekankan bahwa keringanan ini hanya untuk kadar kebutuhan saja, mereka mengatakan:
Artinya : “Setiap yang dibolehkan karena dharurah/kebutuhan, dikadarkan sesuai dengan kadar kebutuhan.
• Keringanan dalam ber-mua`amalah
Dalam ber-mu`amalah misalnya jual-beli, baik si wanita yang membeli atau lelaki yang membeli dari wanita, berlaku keringanan yaitu boleh melihat wajah si wanita.
Al-Mawardi dan para ulama yang sependapat dengannya menetapkan bahwa yang boleh terlihat dari si wanita dalam bermu’amalah hanyalah wajah saja. Dalam hal seseorang yang akan membeli seorang budak, si pembeli hanya boleh melihat bagian tubuh selain antara pusar dan lutut dari budak tersebut. Al-Mawardi menambahkan, seseorang tidak boleh melebihkan pandangannya setelah sekali melihatnya, kecuali jika perlu untuk memastikan sekali lagi, itu boleh untuk kali yang kedua. Dalam hal mu’amalah ini, logika yang digunakan oleh al-Mawardi adalah, jika seseorang telah mengenal si wanita itu dengan melihat sebagian wajahnya, maka ia tak perlu untuk lebih jelas lagi melihat seluruh wajahnya. Jadi inti kebolehan melihat wajah adalah untuk mengenalnya, guna memudahkan proses hukum jika ada kecurangan.
• Keringanan dalam persaksian
Imam al-Syafi’i mengatakan, saya tidak mengetahui adanya orang yang diakui umum keilmuannya yang pendapatnya berbeda dengan pendapat yang membolehkan kesaksian wanita pada sesuatu yang tidak boleh dilihat lelaki. Pembahasan asy-Syafi`i ini adalah mengenai diterimanya kesaksian wanita, di mana dalam kondisi tidak adanya saksi lelaki, kesaksian wanita dapat diterima. Tentang ini bukanlah bagian dari pembahasan kita dalam tulisan ini.
Mengingat urgennya masalah peradilan di mana segala macam intrik dapat ikut mewarnainya, para ulama menetapkan kelonggaran dalam batasan aurat untuk keperluan ini. Maka seorang saksi boleh melihat faraj si wanita dalam hal saksi zina atau kelahiran anak, sebaliknya jika ia melihat faraj untuk keperluan selain syahadah, maka ia dipandang fasiq dan ditolak kesaksiannya.
Dalam hal syahadah untuk, seandainya wanita tersangka enggan memperlihatkan wajahnya, maka wajahnya boleh dibuka oleh wanita yang lain supaya orang yang menjadi saksi dapat melihat untuk mengenalnya dengan pasti. Kebolehan melihat dalam syahadah disesuaikan dengan kasus yang terjadi, untuk zina si saksi dibolehkan melihat faraj, demikian pula untuk saksi wiladah (kelahiran). Sementara untuk saksi ridha’ (menyusui) yang konsekwensinya adalah ditetapkannya hubungan keluarga akibat sesusuan, saksi dibolehkan melihat payudara penyusu si anak. Sedangkan hakim hanya dibolehkan melihat kepada wajah.
Demikian juga sebaliknya wanita, dibolehkan melihat zakar si lelaki yang dituduhnya tidak memiliki organ intim. Asy-Syarbînî mengingatkan, bahwa semua ini dibolehkan jika tidak ditakutkan fitnah, jika ditakuti terjadinya fitnah tidak boleh.
• Dalam proses belajar mengajar
Satu hal yang juga perlu mendapat perhatian adalah mengenai ketentuan aurat dalam proses belajar mengajar. Dalam hal ini al-Subki mengatakan; “Saya telah membuka kitab-kitab mazhab tentang masalah ini, jumlahnya sekitar dua belas karangan, tetapi saya tidak mendapatkannya. Namun tampaknya mereka membolehkan pada sesuatu yang wajib mempelajari dan mengajarkannya, seperti membaca al-Fatihah. Atau mengajarkan suatu ketrampilan yang dibutuhkan oleh seorang wanita, dengan syarat pengajaran itu tidak bisa dilakukan jika memakai hijab/tirai. Selain dari dua hal ini, kandungan pembahasan mereka mengarah kepada pelarangan”
Imam an-Nawawi menetapkan kebolehan bertatap muka dalam mengajarkan amrad (anak yang belum tumbuh jenggotnya) dan memandang pada selain pusar dan lutut sesuai kebutuhan dalam pembelajaran. Adapun perempuan tidak boleh di pandang oleh lelaki ajnabi untuk alasan pembelajaran, karena masih ada mahram atau wanita lain yang dapat mengajarkannya. Namun Qulyûbî melihat adanya celah yang membolehkan pria mengajarkan wanita, yaitu ketika tidak ada mahram atau wanita yang dapat mengajarkannya. Qulyûbî mengatakan ada pendapat yang dapat dipegang tentang bolehnya pria mengajarkan wanita. Hanya saja pada kasus suami isteri yang sudah bercerai yang tidak dibolehkan, karena ikatan jiwa antara keduanya dapat menjerumuskan pada hal yang dilarang, berbeda dengan wanita ajnabiyah yang tidak punya hubungan apa-apa dengan pengajarnya. Qulyubi menambahkan, bahwa dalam mengajarkan amrad tidak disyaratkan hadirnya mahram, -berbeda dengan mengajarkan wanita ajnabi- dan disyaratkan sifat `adalâh pengajarnya pada semua kasus di atas.
Dalam hal suami isteri yang sudah bercerai, para ulama mengandaikan jika seorang pria menikahi seorang wanita dengan ketentuan mengajarkan al-Qur’an sebagai maharnya. Namun ia mentalak isterinya sebelum sempat mengajarkannya, maka -menurut pendapat yang kuat- ia tidak boleh lagi megajarkannya karena hal itu dianggap `uzr. Si suami tidak boleh mengajarkan isterinya yang telah ditalak, karena antara keduanya masih terikat kecenderungan jiwa satu sama lainnya, maka kondisi ini akan memunculkan hasrat antara keduanya, oleh karena itu harus dicegah.
3) Ketika berhadapan dengan mahram, berhadapan dengan orang yang sama jenis kelaminnya
Aurat sesama jenis kelamin antara lelaki dengan lelaki adalah antara pusar dan lutut. Demikian juga antara wanita dengan wanita. Maka melihat selain antara pusar dan lutut antara sesama jenis kelamin hukumnya boleh.
Mahram adalah orang yang dikecualikan oleh al-Qur’an dari daftar orang-orang yang wanita dilarang menampakkan perhiasannya kepada orang-orang tersebut. Mahram adalah mereka yang terikat hubungan kekerabatan, baik secara keturunan (nasb), sesusuan (ridha`), atau perkawinan (mushaharah).
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batas aurat antara mahram. Sebagian ulama menetapkan bahwa seorang lelaki normal diharamkan melihat kepada mahram-nya kecuali selain antara pusar dan lutut. Mereka beralasan, bahwa mahramiyah adalah suatu hal yang mewajibkan haramnya pernikahan. Oleh karena keduanya haram menikah, maka keadaan keduanya sama dengan dua orang lelaki atau dua orang perempuan, maka boleh melihat kepada selain batasan antara pusar dan lutut. Sementara itu kelompok ulama yang lain menetapkan bahwa yang boleh dilihat seorang lelaki dari mahramnya hanyalah apa yang biasanya tampak dalam beraktifitas (mihnah), yaitu wajah, kepala, leher, tangan hingga siku dan kaki sampai batas lutut. Kelompok ini beralasan, bahwa tidak ada keperluan untuk melihat pada selain mihnah, kecuali kondisi darurat. Maksud dengan mihnah di sini adalah ketika melayani (khidmah) kebutuhan keluarga sehari-hari.
Dari pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa seorang lelaki yang melihat kepada mahramnya pada batas mihnah, boleh secara qath`i. Sedangkan melihat kepada sesuatu di antara pusar dan lutut disepakati oleh ulama haram hukumnya secara qath`i. Yang diperselisihkan hanyalah melihat kepada sesuatu di antara dua batasan ini. Selain itu tidak kita temukan perbedaan pendapat lainnya, termasuk antara apakah mahram itu Islam atau bukan. Hanya saja al-Zarkasyi mengingatkan, jika ia adalah golongan kafir yang menghalalkan hubungan intim antara dua saudara –seperti Majusi- maka hukumnya haram, baik si lelaki melihat wanita, ataupun wanita yang melihat lelaki.
Semua hal-hal yang dibolehkan pada uraian diatas, hanya sebatas keperluan saja, sedangkan bila telah selesai kembali pada hukum yang lain menurut keadaannya masing-masing. Juga perlu diingat bahwa keringanan di atas hanya berlaku jika melihatnya tanpa diiringi oleh syahwat, jika diiringi syahwat maka hukumnya haram.
4. Sunat
Di atas kita sudah membahas hukum melihat aurat dalam kategori haram, makruh dan mubah. Sekarang kita masuk dalam pembahasan suatu kondisi di mana seseorang disunatkan melihat kepada lawan jenisnya. Para ulama menetapkan sunat hukumnya melihat kepada lawan jenis yang akan dipinang untuk dinikahi. Yang dibolehkan disini hanya melihat saja, tidak boleh menyentuh atau memegang walaupun si peminang dalam kondisi buta atau ada halangan lain yang menyebabkan dia tak dapat melihat. Hukum ini ditetapkan karena adanya perkataan Rasulullah kepada Mughirah ibn Syu`bah ketika ia hendak meminang seorang gadis.
Artinya : “Lihatlah dia, karena dengan melihat akan dapat lebih menimbulkan kasih sayang di antara kamu”. (H.R. al-Turmuzi)
Berdasarkan hadits ini para ulama memutuskan bahwa disunatkan melihatnya sebelum melamar, yaitu ketika seseorang telah memutuskan untuk menikahi seorang gadis tapi ia belum melamarnya. Karena sebelum ada keputusan untuk menikah dipandang tidak ada keperluan untuk melihatnya. Sedangkan melihatnya setelah meminang (khithbah) kadangkala dapat mengantarkan kepada pembatalan sehingga menyakiti si wanita. Atau menimbulkan keraguan di pihak wanita, takut justru setelah melihatnya pihak lelaki akan membatalkan lamaran yang sudah dilaksanakan. Yang dimaksud dengan khitbah dalam hadits di atas adalah ketetapan hati untuk melamar si wanita, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:
Artinya : “Apabila telah muncul keinginan di hati seseorang untuk melamar seorang wanita, maka tidak mengapa baginya untuk melihatnya”. (H.R. Abu Dawud)
Ia diizinkan melihatnya walaupun tanpa izin si wanita atau walinya, karena mengikuti izin dari asy-Syâri`. Dan hendaknya si wanita tidak usah berhias, karena akan menghilangkan maksud si lelaki. Asy-Syarbînî menambahkan, sebaiknya si lelaki melihatnya dengan seizin si wanita agar keluar dari khilaf pendapat Imam Malik. Imam Malik berpendapat, haram melihat tanpa seizin si wanita.
Jika setelah melihatnya ia tidak tertarik padanya maka ia harus berdiam diri, tidak boleh mengatakan penolakannya, karena itu dapat menyakiti hati wanita yang hendak dipinangnya. Boleh juga mengulang lagi melihatnya jika dibutuhkan sampai jelas keadaannya sehingga ia tidak akan menyesal setelah menikahinya. Karena biasanya tidak akan sampai maksud yang dituju hanya dengan sekali melihat.
Az-Zarkasyi mengatakan, para ulama tidak menetapkan berapa kali batas berulang-ulangnya melihat, namun menurutnya dapatlah ditetapkan batasnya hingga tiga kali karena ada hadits dari `Aisyah R.A. yang mengatakan:
Artinya : “Saya melihatmu dalam tiga malam”.
Meskipun ada hadits yang diriwayatkan dari `Aisyah, namun para ulama lebih cenderung memberi kebebasan sesuai kebutuhan. Baik melihatnya dengan diiringi syahwat atau tidak sebagaimana difatwakan oleh Imam al-Haramayn dan al-Rawyani, walau menurut al-Azra`i masih diperselisihkan. Bagi para ulama yang berpendapat boleh melihat walau disertai syahwat beralasan bahwa si wanita yang hendak dilamar secara umum adalah mahl tamattû`.
Adapun batas yang boleh dilihat oleh si lelaki yang akan meminang dari wanita merdeka yang hendak dipinangnya adalah wajah dan tangannya (dhahir dan bathin tangan). Karena ini adalah anggota tubuh yang biasa nampak dari perhiasan wanita yang diisyaratkan oleh surat al-Nur ayat 31. Adapun hikmah dalam pembatasan pada kedua anggota tubuh ini adalah, karena pada wajah terdapat tanda-tanda yang menunjukkan kecantikannya, sedangkan pada kedua tangan terdapat tanda-tanda yang menunjukkan postur tubuh. Inilah batas yang boleh dilihat pada wanita merdeka yang hendak dipinang, adapun pada budak, maka yang boleh dilihat adalah selain anggota tubuh antara pusar dan lutut, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Ruf`ah.
Adapun orang yang kesulitan untuk melihatnya, maka ia dapat mengutus seorang wanita yang akan mempertimbangkan dan menjelaskan kondisi si wanita untuknya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Hâkim, dikatakan:
Artinya : Rasulullah mengutus Umm Sulaym kepada seorang wanita dan berkata: “Lihatlah untukku kedua tumitnya, dan ciumlah untukku aroma tubuhnya”.
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa boleh bagi wanita yang di utus untuk menyampaikan kepada pengutusnya lebih banyak dari yang dilihatnya, maka si pengutus akan mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak dari apa yang didapatnya dengan melihat sendiri. Demikian juga dengan si wanita yang hendak menerima pinangan, disunatkan melihat terlebih dahulu kepada calon suaminya sebagaimana si calon suami disunatkan melihatnya.
c. Hukum Menyentuh Aurat
Menurut fatwa Imam al-Nawawi, bahwa setiap yang haram dilihat maka haram untuk disentuh, karena sentuhan lebih tinggi tingkatannya dalam hal menimbulkan kenikmatan syahwat (talazzuz). Oleh karena itu haram bagi seorang lelaki menyentuh paha lelaki lain secara langsung (tanpa beralas). Dan boleh menyentuhnya dengan berlapis kain sarung misalnya, jika tidak ditakutkan fitnah. Kadangkala dapat terjadi hal yang boleh dilihat tetapi haram untuk disentuh, seperti menyentuh wajah wanita ajnabiyah dalam kondisi boleh dilihat karena suatu keperluan. Contoh lain adalah seorang lelaki yang mengelus kaki mahramnya -tanpa lapisan-, padahal melihatnya boleh, tetapi menyentuhnya haram, demikian juga sebaliknya jika si wanita yang mengelus kaki mahramnya. Lain halnya jika untuk keperluan pengobatan.
Keperluan pengobatan adalah suatu kondisi yang tidak bisa dihindari, sehingga mengharamkan melihat aurat pada kondisi ini malah menimbulkan kesulitan. Oleh karena itu boleh seorang dokter pria mengobati wanita, begitu juga sebaliknya wanita boleh mengobati pria walau pun yang diobati adalah organ vital. Namun pengobatan itu harus dilakukan dengan hadirnya mahram, atau suami atau dengan hadirnya seorang wanita yang terpercaya (tsiqah) menurut pendapat yang membolehkan ber-khalwat-nya seorang pria dengan dua orang wanita.
Ibn Qâsim mencontohkan beberapa pengobatan, misalnya berbetik (fashd), bekam (hijâmah), mengobati borok (damâmîl), memakaikan plaster atau gips (lazqah) dan obat serbuk (dzarûr). Contoh lain yang termasuk ke dalamnya adalah pembolehan dokter melihat faraj ketika mengkhitan, dan bidan ketika membantu persalinan. Ibn Qâsim mensyaratkan kondisi dokter yang terpercaya (amin) dan aman dari fitnah, pasien tidak boleh berpaling kepada dokter yang lain jika dokter yang terpercaya. Dokter tidak boleh membuka aurat pasiennya selain yang diperlukan untuk pengobatan, kecuali jika ia dapat mengobati dengan memejamkan mata. Hal ini berlaku sama bagi dokter pria atau dokter wanita, hanya saja seorang dokter pria baru dibolehkan mengobati pasien wanita jika tidak ada dokter pria. Demikian juga dokter wanita baru boleh mengobati pasien lelaki jika tidak ada dokter pria yang dapat mengobatinya.
Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan, bahwa para Fuqaha Syafi`iyah menetapkan syarat agar pengobatan dilakukan oleh dokter yang berkelamin sama dengan pasien. Pengecualian hanya berlaku jika tidak ada dokter yang dimaksud, dalam kondisi ini para fuqaha mensyaratkan hadirnya suami atau mahram. Selain itu fuqaha juga mensyaratkan tidak boleh berobat pada dokter non-muslim jika ada dokter muslim. Namun dokter wanita non-muslim lebih diutamakan daripada dokter pria yang muslim untuk mengobati seorang muslimah, karena pandangan dan sentuhan wanita lebih ringan dibandingkan lelaki. Dalam hal yang menyangkut dengan tempat yang diobati, para fuqaha mensyaratkan agar disesuaikan dengan kelayakan. Misalnya untuk wilayah wajah, maka dibolehkan walau dengan kebutuhan ringan, bahkan sebagian ulama menetapkan standar dengan sakit yang berefek pada pembolehan tayamum. Demikian seterusnya sampai pada su’atayn (qubl dan dubr), tentunya pembolehan berlaku karena kebutuhan yang lebih mendesak.
d. Hukum Membuka Aurat.
Sejauh ini, pembahasan kita adalah dalam konteks melihat bagian tubuh (aurat) lawan jenis kita. Tidak lengkap rasanya jika kita tidak membalikkan logika di atas, tentunya akan tertanya bagi kita, bagaimana hukumnya bagi orang yang sengaja membuka auratnya?. Untuk itu penulis ingin mengajak pembaca melihat masalah aurat ini dari sudut pandang yang lain, yaitu dari sudut pelaku. Tidak adil rasanya bila yang mendapat tekanan hanya pihak yang melihat saja, tapi bagaimana dengan yang seenaknya saja membuka tanpa memperhatikan upaya orang lain dalam memelihara pandangannya demi syari`at. Untuk pembahasan ini kita harus memisahkan permasalahan aurat antara tuntutan ibadah, yaitu dalam shalat dan aurat dalam konteks sosial, yaitu dalam pergaulan sehari-hari.
Di dalam shalat, seseorang wajib menutup auratnya dengan benda padat yang dapat menghalangi pandangan mata normal untuk melihat warna kulitnya, walaupun dengan tanah sekalipun. Tidak sah shalat seseorang jika menutup aurat dengan menggunakan benda padat yang tidak dapat menghalangi pandangan seperti kaca, plastik transparan, kain yang sangat tipis, kain tebal yang jarang tenunannya, dan sebagainya. Demikian pula halnya benda-benda yang mampu mengubah warna kulit tetapi bukan benda padat, misalnya cat, daun pacar, gincu, dan lainnya. Untuk melengkapi persyaratan sah shalat, fuqaha membolehkan seseorang memakai pakaian yang memperlihatkan bentuk badan (ketat), tapi hukumnya “makruh” bagi wanita dan “khilaf aula” bagi laki-laki.
Tentunya ketentuan hukum ini akan berbeda jika di luar shalat. Pakaian tipis, jarang tenunannya atau ketat tentunya menimbulkan rangsangan bagi manusia normal. Oleh karena itu, meskipun sah untuk dipakai dalam shalat, namun tetap haram dipakai dalam interaksi sosial (berhadapan dengan lelaki ajnabi). Kecuali saat sendiri tanpa kehadiran orang lain, bahkan telanjang pun tidak mengapa, karena tidak terkait dengan kehidupan sosial.
Untuk kehidupan sosial, ukurannya adalah efek yang ditimbulkannya, yaitu memancing syahwat dan timbulnya fitnah. Model pakaian yang vulgar jelas menimbulkan rangsangan bagi lawan jenis, sedangkan berduaan dengan lawan jenis yang bukan suami atau mahram jelas dapat mengantakan kepada perbuatan zina. Kedua hal ini jelas merusak tatanan sosial Islami. Karena sudah menyangkut kehidupan sosial, maka penertibannya menjadi tanggung jawab kita semua, sesuai dengan kemampuan. Bagi penguasa pemerintahan harus menggunakan wewenangnya, sedangkan individu bertanggung jawab untuk menasehati, tentunya dengan cara yang santun. Atau paling rendah, dengan membenci kelakuan itu.
Bagi orang yang tidak memiliki sesuatu pun yang dapat menutup auratnya, para ulama membolehkannya shalat dengan pakaian seadanya. Kalau ia hanya punya pakaian yang cukup untuk menutup qubl dan dubr saja pun sudah cukup untuk pelaksanaan shalat. Bahkan berusaha untuk mendapatkan pakaian dengan cara mencuri hukumnya haram. Hal ini dapat saja terjadi, misalnya ketika seseorang hanya memiliki satu penutup aurat, dan kebetulan terkena najis, tentu saja dalam shalat tidak dibenarkan memakai pakaian yang bernajis, sedangkan ia tidak memiliki cukup waktu untuk menyucikannya, keburu keluar waktu shalat. Oleh karena itu sah shalatnya tanpa menutup aurat, akan tetapi bila diluar shalat ia wajib menutup auratnya walaupun dengan pakaian yang bernajis atau sutra sekalipun.
Di luar shalat, wanita wajib menutup auratnya dari pandangan lelaki ajnabi karena larangan menampakkan aurat dalam surat an-Nur ayat 31. Kecuali jika berhadapan dengan orang-orang yang telah disebutkan di dalam ayat tersebut, yaitu :
Suami, dibolehkan terhadap suami untuk melihat seluruh tubuh istrinya serta boleh menggauli istrinya dengan cara apapun yang dihalalkan dalam agama Islam.
Ayah, yang termasuk juga kakek, baik kakek melalui hubungan darah dengan bapak maupun yang berhubungan darah dengan ibu.
Ayah suami (mertua)
Anak-anaknya sendiri, anak suaminya, yang juga termasuk didalamnya cucu-cucunya.
Saudara laki-laki, baik saudara kandung atau saudara sebapak maupun saudara seibu.
Anak lelaki saudara laki-laki, atau anak lelaki saudara perempuan (keponakan)
Wanita muslimah atau budak yang dimilikinya
Pelayan lelaki yang tidak memiliki keinginan terhadap wanita
Anak-anak yang belum mengerti aurat wanita
Paman sedarah dengan bapak, paman sedarah dengan ibu dan seluruh mahram menyusui walaupun didalam ayat tidak disinggung tentang mereka, karena hukum yang demikian telah disepakati oleh ulama fuqaha’.
e. Batas-batas Aurat
Pada bagian ini kami merasa perlu mengikhtisarkan ketentuan tentang batas aurat, meskipun dalam pembahasan kita sudah tercakup.
1. Aurat Wanita
Secara umum aurat wanita merdeka dapat diklasifikasikan dalam empat kondisi, pertama ketika berhadapan dengan lelaki ajnabi (yang bukan suami atau mahram), kedua ketika sendiri (al-Khalwat) atau bersama mahramnya. Ketiga, ketika bersama perempuan zimmiyah, keempat, aurat dalam shalat.
Aurat wanita, baik bagi kanak-kanak (belum baligh) maupun sudah dewasa (baligh) di dalam shalat adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan (bahagian atas dan bawah telapak tangan). Batasan ini hanya berlaku didalam shalat saja, sedangkan diluar shalat aurat wanita akan berbeda menurut keadaan dengan siapa ia berhadapan, sesuai dengan klasifikasi yang dibuat as-Sayyid Abû Bakr dalam empat kategori.
Pertama, ketika berada di hadapan pria ajnabi (bukan mahram atau suami) ‘awratnya adalah seluruh badan, termasuk juga telapak tangan dan wajah walaupun tidak menimbulkan fitnah. Kedua, bila berada diantara mahramnya atau dalam suasana terasing dari orang lain, maka aurat wanita sama seperti aurat laki-laki, yaitu antara pusar dan lutut. ‘Awrat yang demikian juga merupakan aurat wanita dengan sesama wanita muslim lainnya. Ketiga, saat bersama dengan wanita non muslim yaitu semua yang tidak kelihatan ketika sedang bekerja, yang boleh nampak hanya dalam batas mihnah. Keempat, aurat dalam shalat, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
• Aurat Wanita Merdeka terhadap Budak Laki-lakinya.
Berdasarkan mazhab Asy-Syafi’iyah, seorang wanita yang memiliki budak pria, boleh terlihat kepadanya pada batasan selain antara pusar dan lutut, dimana budak dalam masalah ini dihukumkan sama dengan mahram wanita tersebut. Hal ini dapat difahami dari uraian yang menyatakan bahwa boleh bagi budak laki-laki untuk melihat aurat majikannya yang perempuan selain batasan diantara pusar dan lutut.
• Apakah Suara Wanita Termasuk Aurat?
Sering kita jumpai kontroversi dalam fatwa-fatwa para ulama fiqh tentang suara wanita dewasa ini. Sebelumnya hal ini juga telah lebih awal dikaji oleh para ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid dalam memposisikan suara wanita menurut Syari`at Islam. Ada yang mengatakan bahwa suara wanita adalah aurat dan ada juga yang berpendapat bukan.
Menurut Mazhab Syafi`i suara wanita bukan aurat. Oleh karena itu dibolehkan (mubah) mendengarkan suara wanita selama tidak ditakutkan timbulnya fitnah atau bertujuan untuk mendapat kenikmatan dengan suara tersebut. Apabila hal ini kemungkinan besar ada, maka haram mendengar suara wanita, walau suara wanita yang sedang membaca Al-Qur’an sekalipun.
Wanita yang ditegur atau dipanggil oleh seseorang tidak boleh menyahut dengan suara merdu, tetapi dianjurkan menyahut sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan.
2. Aurat Laki-Laki
Aurat laki-laki baik yang sudah baligh (berumur 15 tahun, atau 12 tahun tapi sudah pernah bermimpi yang mengeluarkan mani) maupun belum baligh (ash-shabî) di dalam shalat adalah pada batasan antara pusar dan lutut sekalipun keadaannya sunyi dari orang-orang dan suasana gelap. Maka haram terhadap seorang laki-laki membukanya. Demikan pula bila di hadapan mahram dan sesama laki-laki. Sedangkan aurat laki-laki yang wajib ditutup dari pandangan wanita ajnabiyah adalah seluruh tubuhnya, termasuk juga wajah dan telapak tangan.
Kondisi seperti ini sama juga apabila laki-laki tersebut adalah mahram si wanita, misalnya bapak, adik kandung yang laki-laki, abang kandung, paman yang memiliki hubungan darah dengan bapak dan paman yang mempunyai hubungan darah dengan ibu, maka auratnya tetap pada batasan antara pusar dan lutut. Begitu juga aurat laki-laki yang bukan mahram pada pendapat yang kuat. Meskipun demikian, seandainya laki-laki tersebut adalah suaminya, maka sekujur tubuhnya bukan aurat. Sah-sah saja terhadap sang istri untuk melihat apa saja yang terdapat pada tubuh suaminya.
3. Aurat Khunsa (orang yang memiliki dua kelamin)
Khunsa ialah manusia biasa yang diciptakan oleh Allah SWT dengan dua alat kelamin yang menurut pengkajian ulama-ulama fiqh dibagi menjadi dua jenis, antara lain disebut dengan :
• Khunsta Musykil, yaitu khunsta yang mempunyai dua kelamin dalam waktu yang sama.
• Khunsta Wadhih, adalah khunsta yang memiliki dua kelamin, namun tidak dalam waktu yang sama akan tetapi secara bergantian (sewaktu-waktu berkelamin pria dan diwaktu yang lain berubah menjadi kelamin wanita).
Mengenai khunsa wadhih akan mudah difahami bahwa ketika berkelamin pria akan sama hukumnya dengan pria pula, begitu juga sebaliknya. Sementara untuk khunsa musykil para ulama menghukum sama seperti wanita yang merdeka karena “ikhtiyath”, yaitu mengambil sebuah hukum yang lebih pasti dan yakin. Maka segala ketentuan tentang aurat khuntsa berlaku sama persis seperti pada wanita merdeka.
C. PENUTUP
Demikianlah sekilas pembahasan tentang Aurat dalam Perspektif Fuqaha Syâfi`îyah. Tentunya tulisan ini masih memiliki kekurangan di sana-sini, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan yang sifatnya membangun dari para pembaca sekalian.
Penulis berharap tulisan ini ada manfaatnya bagi umat Islam, khususnya masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam, minimal dapat mengingatkan kita kembali akan beberapa hal yang perlu direnungkan. Hikmah-hikmah di balik penetapan hukum yang digali oleh para ulama, perlu ditelaah kembali secara objektif, untuk kemudian dihayati dengan jiwa tulus.
Tulisan ini hanyalah secuil sumbangan dari penulis di tengah kebutuhan missi Islam yang tak terperi. Dengan ini penulis berharap, akan ada usaha-usaha lain dari rekan muslim yang lebih baik. Akhirul kalam penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu suksesnya penerbitan buku ini.
DAFTAR PUSTAKA
`Ali al-Sâyis, Tafsîr Ayât al-Ahkâm, Mesir: Mu’assisah al-Mukhtâr, 2001
Abû al-Wafa’ al-Huraynî, Qâmûs ash-Shihah, t.p., 1282 H
Abû Bakr, al-Sayyid, I’ânatuth Thâlibîn, Bayrût: Dârul Fikr, t.t.,
Al-Mahallî, Jalâluddîn, Syarh Minhâj al-Thâlibîn, Bayrût: Dârul Fikr, t.t.
Al-Malibarî, Fath al-Mu`in, Bayrût: Dârul Fikr, t.t.,
Ash-Shabûnî, Rawâi` al-Bayân: Tafsîr al-Ayât al-Ahkâm min al-Qur’an, Bayrût: Dâr Ihya’ at-Turâts al-`Arabî, 1997
Asy-Syafi`i, al-Um,Bayrût: Dârul Kutub al-`Ilmiyah, 1993 M/1413 H
Asy-Syarbînî, al-Khatîb, Mughnî al-Muhtâj, Mesir: al-Tawfîqîyah, t.t.,
Asy-Syarwânî, Hawâsyî, Bayrût: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-`Arabî, t.t.,
Asy-Syarqâwî, Asy-Syarqâwî `alat Tahrîr, Bayrût: Dârul Fikri, t.t.,
Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’an al-`Adlîm, Mesir: at-Tawfîqîyah, t.t.,
Ibn Mandlûr, Lisân al-`Arab, Bayrût: Dârul Fikr, 1990
Ibn Qâsim, Hâsyiyah al-Bâjûrî, Bayrût: Dârul Fikr, t.t.
Jalaluddin as-Syuyuthi, Tafsîr al-Jalâlayn, Bayrût: Dâr ul-Fikri, t.t.,
0 komentar:
Posting Komentar
komentar anda?