Muasal Aliansi Wahabi-Sa`udi
Imperium Usmaniyah & Jazirah Arabia
Oleh: Syamsurizal Panggabean
Secara nominal, sebagian besar wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kerajaan Sa`udi Arabia (KSA) adalah bagian dari Imperium Usmaniah atau Khilafah Usmaniah (KU). KU menjadi penguasa di wilayah tersebut setelah Dinasti Mamluk melemah pada awal abad XVI. Raja Mamluk terakhir menyerahkan kunci Mekkah kepada Sultan Salim I dari KU pada 1517. Ini menandai kekuasaan Sultan Usmaniyah di wilayah Hijaz. Kemudian, pada 1534 KU menguasai Baghdad dan lembah Eufrat sampai daerah Timur Jazirah Arabia. Pemberontakan Banu Khalid pada 1670 berhasil mengusir KU dan baru dua abad kemudian KU kembali mengguasai wilayah Timur Arabia.
Akan tetapi, wilayah pedalaman Jazirah Arabia, yang dikenal dengan Najd, tidak pernah dikuasai KU. Najd tetap dikuasai Amir-amir setempat. Begitu pula, konfederasi suku-suku yang ada di Najd tetap memiliki otonomi dan kemerdekaan dari penguasa-penguasa luar, apakah itu KU, penguasa Hijaz (Syarif), maupun Banu Khalid di wilayah Timur Jazirah Arabia. Najd sendiri tidak begitu menarik bagi penguasa-penguasa dari luar ini. Selain karena daerahnya hanya menghasilkan sedikit surplus korma dan ternak, perdagangan juga tidak makmur.
Dir`iyyah dan `Uyaynah, Najd
Salah satu pemukiman di Najd adalah Dir`iyyah. Ini pemukiman kecil – paling-paling 70 keluarga yang terdiri dari petani, pedagang, pekerja, tokoh agama, dan budak. Sejak tahun 1727, Dir`iyyah diperintah oleh Muhammad ibn Sa`ud (wafat 1765) dari klan Al-Sa`ud. Klan ini menguasai oase, ladang pertanian, dan sumur-sumur di Dir`iyyah. Selain itu, klan al-Sa`ud juga berhasil mempertahankan pemukiman dari serangan amir-amir oase atau konfederasi suku-suku lain. Karenanya, penduduk membayar upeti kepada klan al-Sa`ud.
Kendati demikian, klan al-Sa`ud bukanlah klan yang kuat dan kaya. Malahan, menurut Madawi al-Rasheed, penulis A History of Sa`udi Arabia, klan Sa`ud tidak memiliki asal-usul kesukuan yang jelas. Salah satu teori mengatakan klan al-Sa`ud hanyalah pendiri pemukiman Dir`iyyah yang tidak memiliki ikatan yang kuat dengan konfederasi suku-suku setempat. Selain itu, surplus kekayaan mereka – dari memungut pajak dan upeti maupun dari perdagangan – tidak seberapa besar. Akibatnya, kemampuan mereka untuk menguasai jalur kafilah perdagangan maupun pemukiman-pemukiman lain terbatas.
Nasib mereka berubah setelah mereka bergabung dengan Wahabiyah. Pendiri gerakan ini, Muhammad ibn Abd al-Wahhab berasal dari Banu Tamim, salah satu suku di Najd, yang menetap di `Uyaynah. Ia berasal dari keluarga ulama, tetapi tidak kaya. Salah satu riwayat menyebutkan ia mempunyai tiga istri, sebidang kebun korma, dan sepuluh atau dua puluh lembu. Ia pernah pergi ke Madinah, Basrah dan Hasa (di Timur Jazirah Arabia, tempat Banu Khalid). Sepulang dari sekolah, ia kembali ke `Uyaynah.
Amir `Uyaynah, Usman ibn Mu`ammar, pada mulanya memberi ruang gerak bagi al- Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan ajaran barunya. Akan tetapi, tidak lama kemudian, Muhammad ibn Abd al-Wahhab menimbulkan keributan. Ia menghukum orang yang tidak mau shalat jamaah, ikut merajam seorang perempuan yang selingkuh, dan banyak ulama menentang aliran baru tersebut dan kuatir ajarannya meluas. Amir `Uyaynah tidak senang, begitu pula Banu Khalid yang berkuasa di Hasa, dan banyak amir lain di Najd. Mereka meminta Amir `Uyaynah supaya membunuh Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Akan tetapi, karena takut terjadi kerusuhan, Amir hanya meminta Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan keluarganya supaya pergi. Muhammad ibn Abd al-Wahhab pergi ke Dir`iyyah, kurang lebih 60 km dari `Uyaynah.
Aliansi al-Wahhab-al-Sa`ud
Muhammad ibn Sa`ud menerima Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan memberinya perlindungan dari musuh-musuhnya.
Muhammad ibn Sa`ud menyambut Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan mengatakan, ‘Oasis ini adalah milikmu, jangan takut pada musuh-musuhmu. Demi Allah, walaupun seluruh Najd berkumpul untuk mengusirmu, kami tidak akan setuju.’ Muhammad ibn Abd al-Wahhab membalas, ’Kamu adalah penguasa di pemukiman ini dan orang yang bijaksana. Saya minta engkau bersumpah bahwa engkau akan melaksanakan jihad terhadap orang-orang kafir. Sebagai gantinya, engkau akan menjadi imam, pemimpin masyarakat Muslim, dan aku akan menjadi pemimpin di bidang agama.’ (Al-Rasheed, 2002: 17).
Pada tahun 1744, kemitraan al-Wahhab dengan Muhammad ibn Sa`ud dimulai lewat upacara sumpah yang menetapkan Ibn Sa`ud sebagai amir (pemimpin sekular) dan al-Wahhab menjadi imam – dan kemudian berubah menjadi Syeikh al-Imam. Putra tertua Muhammad ibn Sa`ud, Abd al-Aziz ibn Sa`ud dinikahkan dengan putri al-Wahhab. Muhammad ibn Abd al-Wahhab mulai menyebarkan ajarannya di masyarakat Dir`iyyah dan yang malas mengikuti pengajiannya disuruh membayar denda atau mencukur jenggot. Dinasti Sa`ud-Wahhabi pun terbentuk, demikian pula dinasti yang nanti menjadi penguasa Sa`udi Arabia (Allen, 2006: 52).
Al-Rasheed menyebutkan beberapa faktor di balik keberhasilan Muhammad ibn Abd al-Wahhab mendapatkan kepercayaan dari klan Al-Sa`ud. Ajaran baru tersebut dapat menjadi sumber legitimasi bagi penguasa Dir`iyyah. Selain itu, Muhammad ibn Abd al-Wahhab menjanjikan mereka kekayaan lewat zakat yang diperoleh seiring dengan perluasan pengaruh Wahabiyah. Akhirnya, persaingan amir `Uyaynah dan Dir`iyyah juga memainkan peran. Pemukiman Dir`iyyah yang kecil dan tidak berpengaruh ingin menyaingi `Uyaynah yang ketika itu lebih penting di bidang ekonomi dan politik.
Gerakan Wahabiyah dan dinasti Sa`ud sejak kemunculannya berusaha menundukkan suku-suku di jazirah Arab di bawah bendara Wahabi/Sa`udi. Menyamun, menyerang, dan menjarah suku tetangga adalah praktik yang luas dilakukan suku-suku Badui di Jazirah Arab sepanjang sejarahnya. Pada tahun 1746 Imam al-Wahhab mengeluarkan proklamasi jihad terhadap siapa saja yang menentang al-Da`wa lil-Tauhid. Gazwah mulai dilangsungkan ke daerah suku-suku yang sekarang dinyatakan kafir – biasanya dengan menyerang yang lebih lemah terlebih dahulu dan mengadakan kesepakatan nonagresi dengan suku yang kuat (Allen, 2006: 54-55).
Kelompok-kelompok suku di Najd yang bergabung dengan sekte Wahabi tidak hanya berjihad menyebarkan paham Wahabiyah. Melalui jihad, mereka juga memperoleh pendapatan dan pampasan perang dari penaklukan, penjarahan, dan pembunuhan yang mereka lakukan. Sebanyak seperlima dari perolehan tersebut diberikan kepada amir dan sisanya dibagi oleh suku-suku yang ikut berjihad. Kaum ulama mendapatkan zakat sebagaimana biasa. Jadi, semua mendapat bagian (Allen, 2006: 55).
Pada tahun 1765, Muhammad ibn Sa`ud dibunuh ketika sembahyang. Ia digantikan putranya, Abd al-Aziz ibn Sa`ud. Abd al-Aziz melanjutkan, dan dalam banyak hal, meningkatkan peperangan dan penyergapan yang dimulai ayahnya, dengan bantuan mertuanya, Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Mertua dan menantu ini memperkenalkan senjata api kepada para pengikut mereka, dan mengajari mereka bagaimana menggunakannya sebagai pengganti tombak dan pedang. Ia juga membentuk pasukan elit dengan persenjataan yang lebih memadai. Merekalah yang menjadi tulang punggung ghazwah yang dilancarkan ke berbagai kawasan di Jazirah Arab.
Tentu saja, ghazwah bukan hanya urusan militer. Muhammad ibn Abd al-Wahhab membekali setiap mujahidnya dengan firman atau printah tertulis yang ditujukan kepada penjaga pintu surga, yang memintanya supaya langsung memperkanankan pemegang firman supaya langsung masuk surga sebagai syahid. Kultus syahadah yang banyak dikenal di kalangan Syiah diadopsi juga oleh kalangan Wahabi dan menjadi salah satu daya gerak di balik ghazwah. “Dan dengan demikian mujahid Amir Abd al-Aziz ibn Sa`ud berada dalam situasi menang-menang: jika mereka menang di dalam perang, mereka mendapatkan keuntungan harta benda; jika mereka binasa, mereka langsung masuk surga” (Allen, 2006, 59).
Setiap suku yang belum masuk Wahabi diberi dua tawaran jelas: masuk Wahabi atau diperangi sebagai orang-orang musyrik dan kafir. Yang setuju harus mengucapkan bay`ah ketundukan dan menunjukkan loyalitas dengan bersedia ikut berjihad dan membayar zakat. Yang menentang akan diperangi dan dijarah. Tidak banyak yang bisa bertahan menghadapi kekuatan dan kebrutalan Amir Abd al-Aziz.. Pada 1773, tidak ada lagi lawan berarti di Najd dan kota Riyadh sudah menyerah. Hingga ia wafat pada 1806, Abd al-Aziz ibn Sa`ud menebar teror ke banyak wilayah Jazirah Arab sampai ke Oman dan Yaman di Selatan dan sampai ke Baghdad dan Damaskus di Utara.
Serangan ke Karbala, Mekkah, dan Madinah
Pada tahun 1802, putra tertua Abd al-Aziz yang bernama Sa`ud ibn Sa`ud menyerang Karbala – tempat paling suci umat Syiah. Mereka menjarah makam Imam Husein cucu Nabi dan putra Ali bin Abi Talib, membantai siapa saja yang merintangi jalan mereka. Mereka banyak mendapatkan pampasan perang – seperlimanya menjadi bagian Sa`ud, sisanya bagi pasukan dengan ketentuan pasukan berkuda mendapat dua kali bagian pasukan yang berjalan kaki. Kurang lebih lima ribu penduduk Karbala dibunuh, sehingga kabarnya sampai ke wilayah-wilayah lain di Turki, Persia, dan daerah Arab lainnya. Pemerintah Kekhalifahan Turki, Khalifah Mahmud II, kemudian dikecam karena gagal menjaga Makam Imam Husein (Allen, 2006: 63).
Pada tahun 1803-1804, pasukan Wahabi juga menyerbu Mekkah dan Medinah. Mereka membunuh syekh dan orang awam yang tidak bersedia masuk Wahabi. Perhiasan dan perabotan yang mahal dan indah – yang disumbangkan oleh banyak raja dan pangeran dari seluruh dunia Islam untuk memperindah banyak makam wali di seputar Mekkah dan Madinah, makam Nabi, dan Masjidil Haram – dicuri dan dibagi-bagi. Pada 1804, Mekkah jatuh ke tangah Wahabi. Dunia Islam guncang, lebih-lebih karena mendengar kabar bahwa makam nabi telah dinodai dan dijarah, rute jamaah haji ditutup, dan segala bentuk peribadatan yang tidak sejalan dengan praktik Wahabi dilarang (Allen, 2006: 64).
Abd al-Aziz, yang setelah kematian Muhammad ibn Abd al-Wahhab memegang dua gelar amir dan imam sekaligus, wafat pada 1806. Ia dibunuh ketika sedang sembahyang di masjid Dir`iyyah. Pembunuhnya adalah pengikut Syiah dari Karbala yang memburunya dalam rangka membalas dendam terhadap perbuatan pasukan Wahabi di Karbala. Ia digantikan oleh putranya, Sa`ud ibn Sa`ud yang berkuasa sampai 1814, yang digantikan putranya bernama Abdullah ibn Sa`ud.
Reaksi Konstantinopel
Dominasi Wahabi di tanah suci juga menjadi tantangan langsung terhadap otoritas Khalifah di Turki. Beberapa kali serangan dilancarkan oleh Khalifah dari Baghdad tetapi gagal. Muhammad Ali Pasya, wazir atau wakil Khalifah di Mesir, diserahi tanggungjawab mengambil alih Hijaz dan tanah suci dan mengembalikannya kepada Khalifah sebagai khadimul haramayn. Setelah gagal di tahun 1811, pada 1812 pasukan kekhalifahan Usmani dari Mesir tersebut berhasil menduduki Madinah. Pada tahun 1815, kembali pasukan dari Mesir menyerbu Riyadh, Mekkah, dan Jeddah. Kali ini pasukan Wahhabi kucar-kacir.
Ibrahim Pasya, putra sang penguasa Mesir, datang dengan kekuatan sekitar 8000 pasukan kavaleri dan infantri dari Mesir, Albania, dan Turki. Ibrahim menawarkan enam keping perak untuk setiap kepala pengikut Wahabi yang berhasil dibunuh. Di akhir pertempuran, lapangan di depan markasnya berdiri piramida kepala pengikut Wahhabi. Pada 1818, pertahanan terakhir Wahabi yang dipimpin Abdullah ibn Sa`ud di Dir`iyyah diserbu dan setelah beberapa bulan dikepung, mereka menyerah.
Ibrahim Pasya mengumpulkan semua ulama Wahabi yang bisa didapat, kira-kira lima ratusan ulama, dan menggiring mereka ke masjid besar. Di sana, selama tiga hari, ia memimpin debat keagamaan dalam rangka meyakinkan ulama Wahabi bahwa ajaran mereka sesat. Di akhir hari keempat, kesabarannya habis dan ia memerintahkan pengawalnya supaya membunuh mereka sehingga masjid Dir`iyyah, dalam kata-kata pengelana William Palgrave, ‘menjadi kuburan berdarah teologi Wahabi.’
Abdullah ibn Sa`ud sendiri beserta beberapa anggota keluarganya ditawan dan dibawa ke Kairo dan kemudian ke Konstantinopel. Di ibukota Khilafah Usmani itu dia dipermalukan, diarak keliling kota di tengah cemoohan penonton selama tiga hari. Kemudian kepalanya dipenggal dan tubuhnya dipertontonkan kepada kerumunan yang marah. Sisa-sisa keluarga Sa`udi-Wahabi menjadi tawanan di Kairo.
Kehancuran Wahabi disambut gembira di banyak negeri Muslim. Seorang ulama mazhab Hanafi bernama Muhammad Amin ibn Abidin yang hidup di awal abad XIX mengatakan, “Ia mengaku pengikut mazhab Hanbali, tapi dalam pemikirannya hanya dia saja yang Muslim dan semua orang lain adalah musyrik. Ia mengatakan bahwa membunuh Ahlussunnah adalah halal, sampai akhirnya Allah menghancurkannya pada tahun 1233 Hijriah (1818) melalaui pasukan Muslim.” (Allen, 2006: 68).
Demikianlah, fase pertama aliansi Wahabi-Saudi, yang juga dikenal dengan Negara Saudi I, berhenti secara brutal, sekejam serbuan dan penaklukan yang mereka lakukan sejak aliansi terbentuk.***
Sumber: paramadina.wordpress
Imperium Usmaniyah & Jazirah Arabia
Oleh: Syamsurizal Panggabean
Secara nominal, sebagian besar wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kerajaan Sa`udi Arabia (KSA) adalah bagian dari Imperium Usmaniah atau Khilafah Usmaniah (KU). KU menjadi penguasa di wilayah tersebut setelah Dinasti Mamluk melemah pada awal abad XVI. Raja Mamluk terakhir menyerahkan kunci Mekkah kepada Sultan Salim I dari KU pada 1517. Ini menandai kekuasaan Sultan Usmaniyah di wilayah Hijaz. Kemudian, pada 1534 KU menguasai Baghdad dan lembah Eufrat sampai daerah Timur Jazirah Arabia. Pemberontakan Banu Khalid pada 1670 berhasil mengusir KU dan baru dua abad kemudian KU kembali mengguasai wilayah Timur Arabia.
Akan tetapi, wilayah pedalaman Jazirah Arabia, yang dikenal dengan Najd, tidak pernah dikuasai KU. Najd tetap dikuasai Amir-amir setempat. Begitu pula, konfederasi suku-suku yang ada di Najd tetap memiliki otonomi dan kemerdekaan dari penguasa-penguasa luar, apakah itu KU, penguasa Hijaz (Syarif), maupun Banu Khalid di wilayah Timur Jazirah Arabia. Najd sendiri tidak begitu menarik bagi penguasa-penguasa dari luar ini. Selain karena daerahnya hanya menghasilkan sedikit surplus korma dan ternak, perdagangan juga tidak makmur.
Dir`iyyah dan `Uyaynah, Najd
Salah satu pemukiman di Najd adalah Dir`iyyah. Ini pemukiman kecil – paling-paling 70 keluarga yang terdiri dari petani, pedagang, pekerja, tokoh agama, dan budak. Sejak tahun 1727, Dir`iyyah diperintah oleh Muhammad ibn Sa`ud (wafat 1765) dari klan Al-Sa`ud. Klan ini menguasai oase, ladang pertanian, dan sumur-sumur di Dir`iyyah. Selain itu, klan al-Sa`ud juga berhasil mempertahankan pemukiman dari serangan amir-amir oase atau konfederasi suku-suku lain. Karenanya, penduduk membayar upeti kepada klan al-Sa`ud.
Kendati demikian, klan al-Sa`ud bukanlah klan yang kuat dan kaya. Malahan, menurut Madawi al-Rasheed, penulis A History of Sa`udi Arabia, klan Sa`ud tidak memiliki asal-usul kesukuan yang jelas. Salah satu teori mengatakan klan al-Sa`ud hanyalah pendiri pemukiman Dir`iyyah yang tidak memiliki ikatan yang kuat dengan konfederasi suku-suku setempat. Selain itu, surplus kekayaan mereka – dari memungut pajak dan upeti maupun dari perdagangan – tidak seberapa besar. Akibatnya, kemampuan mereka untuk menguasai jalur kafilah perdagangan maupun pemukiman-pemukiman lain terbatas.
Nasib mereka berubah setelah mereka bergabung dengan Wahabiyah. Pendiri gerakan ini, Muhammad ibn Abd al-Wahhab berasal dari Banu Tamim, salah satu suku di Najd, yang menetap di `Uyaynah. Ia berasal dari keluarga ulama, tetapi tidak kaya. Salah satu riwayat menyebutkan ia mempunyai tiga istri, sebidang kebun korma, dan sepuluh atau dua puluh lembu. Ia pernah pergi ke Madinah, Basrah dan Hasa (di Timur Jazirah Arabia, tempat Banu Khalid). Sepulang dari sekolah, ia kembali ke `Uyaynah.
Amir `Uyaynah, Usman ibn Mu`ammar, pada mulanya memberi ruang gerak bagi al- Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan ajaran barunya. Akan tetapi, tidak lama kemudian, Muhammad ibn Abd al-Wahhab menimbulkan keributan. Ia menghukum orang yang tidak mau shalat jamaah, ikut merajam seorang perempuan yang selingkuh, dan banyak ulama menentang aliran baru tersebut dan kuatir ajarannya meluas. Amir `Uyaynah tidak senang, begitu pula Banu Khalid yang berkuasa di Hasa, dan banyak amir lain di Najd. Mereka meminta Amir `Uyaynah supaya membunuh Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Akan tetapi, karena takut terjadi kerusuhan, Amir hanya meminta Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan keluarganya supaya pergi. Muhammad ibn Abd al-Wahhab pergi ke Dir`iyyah, kurang lebih 60 km dari `Uyaynah.
Aliansi al-Wahhab-al-Sa`ud
Muhammad ibn Sa`ud menerima Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan memberinya perlindungan dari musuh-musuhnya.
Muhammad ibn Sa`ud menyambut Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan mengatakan, ‘Oasis ini adalah milikmu, jangan takut pada musuh-musuhmu. Demi Allah, walaupun seluruh Najd berkumpul untuk mengusirmu, kami tidak akan setuju.’ Muhammad ibn Abd al-Wahhab membalas, ’Kamu adalah penguasa di pemukiman ini dan orang yang bijaksana. Saya minta engkau bersumpah bahwa engkau akan melaksanakan jihad terhadap orang-orang kafir. Sebagai gantinya, engkau akan menjadi imam, pemimpin masyarakat Muslim, dan aku akan menjadi pemimpin di bidang agama.’ (Al-Rasheed, 2002: 17).
Pada tahun 1744, kemitraan al-Wahhab dengan Muhammad ibn Sa`ud dimulai lewat upacara sumpah yang menetapkan Ibn Sa`ud sebagai amir (pemimpin sekular) dan al-Wahhab menjadi imam – dan kemudian berubah menjadi Syeikh al-Imam. Putra tertua Muhammad ibn Sa`ud, Abd al-Aziz ibn Sa`ud dinikahkan dengan putri al-Wahhab. Muhammad ibn Abd al-Wahhab mulai menyebarkan ajarannya di masyarakat Dir`iyyah dan yang malas mengikuti pengajiannya disuruh membayar denda atau mencukur jenggot. Dinasti Sa`ud-Wahhabi pun terbentuk, demikian pula dinasti yang nanti menjadi penguasa Sa`udi Arabia (Allen, 2006: 52).
Al-Rasheed menyebutkan beberapa faktor di balik keberhasilan Muhammad ibn Abd al-Wahhab mendapatkan kepercayaan dari klan Al-Sa`ud. Ajaran baru tersebut dapat menjadi sumber legitimasi bagi penguasa Dir`iyyah. Selain itu, Muhammad ibn Abd al-Wahhab menjanjikan mereka kekayaan lewat zakat yang diperoleh seiring dengan perluasan pengaruh Wahabiyah. Akhirnya, persaingan amir `Uyaynah dan Dir`iyyah juga memainkan peran. Pemukiman Dir`iyyah yang kecil dan tidak berpengaruh ingin menyaingi `Uyaynah yang ketika itu lebih penting di bidang ekonomi dan politik.
Gerakan Wahabiyah dan dinasti Sa`ud sejak kemunculannya berusaha menundukkan suku-suku di jazirah Arab di bawah bendara Wahabi/Sa`udi. Menyamun, menyerang, dan menjarah suku tetangga adalah praktik yang luas dilakukan suku-suku Badui di Jazirah Arab sepanjang sejarahnya. Pada tahun 1746 Imam al-Wahhab mengeluarkan proklamasi jihad terhadap siapa saja yang menentang al-Da`wa lil-Tauhid. Gazwah mulai dilangsungkan ke daerah suku-suku yang sekarang dinyatakan kafir – biasanya dengan menyerang yang lebih lemah terlebih dahulu dan mengadakan kesepakatan nonagresi dengan suku yang kuat (Allen, 2006: 54-55).
Kelompok-kelompok suku di Najd yang bergabung dengan sekte Wahabi tidak hanya berjihad menyebarkan paham Wahabiyah. Melalui jihad, mereka juga memperoleh pendapatan dan pampasan perang dari penaklukan, penjarahan, dan pembunuhan yang mereka lakukan. Sebanyak seperlima dari perolehan tersebut diberikan kepada amir dan sisanya dibagi oleh suku-suku yang ikut berjihad. Kaum ulama mendapatkan zakat sebagaimana biasa. Jadi, semua mendapat bagian (Allen, 2006: 55).
Pada tahun 1765, Muhammad ibn Sa`ud dibunuh ketika sembahyang. Ia digantikan putranya, Abd al-Aziz ibn Sa`ud. Abd al-Aziz melanjutkan, dan dalam banyak hal, meningkatkan peperangan dan penyergapan yang dimulai ayahnya, dengan bantuan mertuanya, Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Mertua dan menantu ini memperkenalkan senjata api kepada para pengikut mereka, dan mengajari mereka bagaimana menggunakannya sebagai pengganti tombak dan pedang. Ia juga membentuk pasukan elit dengan persenjataan yang lebih memadai. Merekalah yang menjadi tulang punggung ghazwah yang dilancarkan ke berbagai kawasan di Jazirah Arab.
Tentu saja, ghazwah bukan hanya urusan militer. Muhammad ibn Abd al-Wahhab membekali setiap mujahidnya dengan firman atau printah tertulis yang ditujukan kepada penjaga pintu surga, yang memintanya supaya langsung memperkanankan pemegang firman supaya langsung masuk surga sebagai syahid. Kultus syahadah yang banyak dikenal di kalangan Syiah diadopsi juga oleh kalangan Wahabi dan menjadi salah satu daya gerak di balik ghazwah. “Dan dengan demikian mujahid Amir Abd al-Aziz ibn Sa`ud berada dalam situasi menang-menang: jika mereka menang di dalam perang, mereka mendapatkan keuntungan harta benda; jika mereka binasa, mereka langsung masuk surga” (Allen, 2006, 59).
Setiap suku yang belum masuk Wahabi diberi dua tawaran jelas: masuk Wahabi atau diperangi sebagai orang-orang musyrik dan kafir. Yang setuju harus mengucapkan bay`ah ketundukan dan menunjukkan loyalitas dengan bersedia ikut berjihad dan membayar zakat. Yang menentang akan diperangi dan dijarah. Tidak banyak yang bisa bertahan menghadapi kekuatan dan kebrutalan Amir Abd al-Aziz.. Pada 1773, tidak ada lagi lawan berarti di Najd dan kota Riyadh sudah menyerah. Hingga ia wafat pada 1806, Abd al-Aziz ibn Sa`ud menebar teror ke banyak wilayah Jazirah Arab sampai ke Oman dan Yaman di Selatan dan sampai ke Baghdad dan Damaskus di Utara.
Serangan ke Karbala, Mekkah, dan Madinah
Pada tahun 1802, putra tertua Abd al-Aziz yang bernama Sa`ud ibn Sa`ud menyerang Karbala – tempat paling suci umat Syiah. Mereka menjarah makam Imam Husein cucu Nabi dan putra Ali bin Abi Talib, membantai siapa saja yang merintangi jalan mereka. Mereka banyak mendapatkan pampasan perang – seperlimanya menjadi bagian Sa`ud, sisanya bagi pasukan dengan ketentuan pasukan berkuda mendapat dua kali bagian pasukan yang berjalan kaki. Kurang lebih lima ribu penduduk Karbala dibunuh, sehingga kabarnya sampai ke wilayah-wilayah lain di Turki, Persia, dan daerah Arab lainnya. Pemerintah Kekhalifahan Turki, Khalifah Mahmud II, kemudian dikecam karena gagal menjaga Makam Imam Husein (Allen, 2006: 63).
Pada tahun 1803-1804, pasukan Wahabi juga menyerbu Mekkah dan Medinah. Mereka membunuh syekh dan orang awam yang tidak bersedia masuk Wahabi. Perhiasan dan perabotan yang mahal dan indah – yang disumbangkan oleh banyak raja dan pangeran dari seluruh dunia Islam untuk memperindah banyak makam wali di seputar Mekkah dan Madinah, makam Nabi, dan Masjidil Haram – dicuri dan dibagi-bagi. Pada 1804, Mekkah jatuh ke tangah Wahabi. Dunia Islam guncang, lebih-lebih karena mendengar kabar bahwa makam nabi telah dinodai dan dijarah, rute jamaah haji ditutup, dan segala bentuk peribadatan yang tidak sejalan dengan praktik Wahabi dilarang (Allen, 2006: 64).
Abd al-Aziz, yang setelah kematian Muhammad ibn Abd al-Wahhab memegang dua gelar amir dan imam sekaligus, wafat pada 1806. Ia dibunuh ketika sedang sembahyang di masjid Dir`iyyah. Pembunuhnya adalah pengikut Syiah dari Karbala yang memburunya dalam rangka membalas dendam terhadap perbuatan pasukan Wahabi di Karbala. Ia digantikan oleh putranya, Sa`ud ibn Sa`ud yang berkuasa sampai 1814, yang digantikan putranya bernama Abdullah ibn Sa`ud.
Reaksi Konstantinopel
Dominasi Wahabi di tanah suci juga menjadi tantangan langsung terhadap otoritas Khalifah di Turki. Beberapa kali serangan dilancarkan oleh Khalifah dari Baghdad tetapi gagal. Muhammad Ali Pasya, wazir atau wakil Khalifah di Mesir, diserahi tanggungjawab mengambil alih Hijaz dan tanah suci dan mengembalikannya kepada Khalifah sebagai khadimul haramayn. Setelah gagal di tahun 1811, pada 1812 pasukan kekhalifahan Usmani dari Mesir tersebut berhasil menduduki Madinah. Pada tahun 1815, kembali pasukan dari Mesir menyerbu Riyadh, Mekkah, dan Jeddah. Kali ini pasukan Wahhabi kucar-kacir.
Ibrahim Pasya, putra sang penguasa Mesir, datang dengan kekuatan sekitar 8000 pasukan kavaleri dan infantri dari Mesir, Albania, dan Turki. Ibrahim menawarkan enam keping perak untuk setiap kepala pengikut Wahabi yang berhasil dibunuh. Di akhir pertempuran, lapangan di depan markasnya berdiri piramida kepala pengikut Wahhabi. Pada 1818, pertahanan terakhir Wahabi yang dipimpin Abdullah ibn Sa`ud di Dir`iyyah diserbu dan setelah beberapa bulan dikepung, mereka menyerah.
Ibrahim Pasya mengumpulkan semua ulama Wahabi yang bisa didapat, kira-kira lima ratusan ulama, dan menggiring mereka ke masjid besar. Di sana, selama tiga hari, ia memimpin debat keagamaan dalam rangka meyakinkan ulama Wahabi bahwa ajaran mereka sesat. Di akhir hari keempat, kesabarannya habis dan ia memerintahkan pengawalnya supaya membunuh mereka sehingga masjid Dir`iyyah, dalam kata-kata pengelana William Palgrave, ‘menjadi kuburan berdarah teologi Wahabi.’
Abdullah ibn Sa`ud sendiri beserta beberapa anggota keluarganya ditawan dan dibawa ke Kairo dan kemudian ke Konstantinopel. Di ibukota Khilafah Usmani itu dia dipermalukan, diarak keliling kota di tengah cemoohan penonton selama tiga hari. Kemudian kepalanya dipenggal dan tubuhnya dipertontonkan kepada kerumunan yang marah. Sisa-sisa keluarga Sa`udi-Wahabi menjadi tawanan di Kairo.
Kehancuran Wahabi disambut gembira di banyak negeri Muslim. Seorang ulama mazhab Hanafi bernama Muhammad Amin ibn Abidin yang hidup di awal abad XIX mengatakan, “Ia mengaku pengikut mazhab Hanbali, tapi dalam pemikirannya hanya dia saja yang Muslim dan semua orang lain adalah musyrik. Ia mengatakan bahwa membunuh Ahlussunnah adalah halal, sampai akhirnya Allah menghancurkannya pada tahun 1233 Hijriah (1818) melalaui pasukan Muslim.” (Allen, 2006: 68).
Demikianlah, fase pertama aliansi Wahabi-Saudi, yang juga dikenal dengan Negara Saudi I, berhenti secara brutal, sekejam serbuan dan penaklukan yang mereka lakukan sejak aliansi terbentuk.***
Sumber: paramadina.wordpress
0 komentar:
Posting Komentar
komentar anda?