Rabu, 21 Oktober 2009

Perbandingan Teologi Ahlussunnah, Syî`ah dan Mu`tazilah KaranganTeungku H. Nuruzzahri Yahya (Waled Nu pimpinan pesantren Ummul Aiman, Samalanga

Perbandingan Teologi
Ahlussunnah, Syî`ah dan Mu`tazilah

Oleh: Teungku H. Nuruzzahri Yahya

ABSTRAK
Pesatnya perkembangan media informasi ternyata ikut memberikan ancaman terhadap ketahanan akidah generasi muda Islam. Dalam dekade terakhir, terasa benar kegamangan generasi muda Aceh, bahkan di kalangan masyarakat terpelajar. Berbagai aliran pemikiran berseliweran di sekeliling kita, selalu siap dan sangat mudah untuk di akses. Dari berbagai aliran pemikiran yang muncul dalam Islam, penulis menitik beratkan perhatian pada dua kutup yang cukup ekstrim, di mana manusia -biasanya- mudah tergelincir. Kutup yang pertama adalah kecenderungan manusia untuk terlalu mengedepankan rasio, kutup yang lain adalah kecenderungan fanatisme. Dengan memahami kedua kutup ini, maka akan terlihat posisi pertengahan yang ideal untuk dipedomani. Tulisan sederhana ini ingin menyegarkan kembali kesadaran kita, untuk kembali melihat posisi faham Ahlussunnah Wal Jamaah yang berada di pertengahan antara Syî`ah dan Mu`tazilah.


PENGANTAR

Ikhtilâf yang terjadi di kalangan umat Islam telah ada sejak masa sahabat dan hal ini memang sesuai dengan hadits Rasulullah SAW. Sebagai ummat Islam khususnya masyarakat Aceh yang dikenal sebagai Nanggroe Seuramoe Mekkah, mesti mempertahankan nilai-nilai akidah serta tidak hanyut terbawa dalam hal-hal duniawi. Kita melihat sekarang bahwa banyak putra-putri Aceh yang tidak memahami betapa pentingnya akidah untuk sahnya iman mereka, lebih-lebih pasca tsunami yang membuat Aceh terbuka lebar untuk masuknya ajaran-ajaran impor dari luar.
Oleh sebab itu, penulis merasa perlu untuk memperkenalkan kembali beberapa pemahaman dalam Islam yang berkaitan dengan akidah walau pun tidak penulis sebutkan keseluruhannya, tetapi hanya beberapa mazhab yang masyhur dan sangat berpengaruh saat ini yang penulis berikan judul dengan: "Perbandingan Teologi Ahlussunnah, Syi`ah dan Mu`tazilah".
Dari buku yang kecil ini, penulis sangat mengharapkan penyempurnaan dari pihak-pihak lain yang bersifat membangun, sehingga penulis mengharapkan semoga buku kecil ini akan bermanfaat untuk dunia Islam dan masyarakat Aceh khususnya. Amin.
Penulis




A. PENDAHULUAN
Umat Islam pada masa Rasulullah SAW selalu tunduk dan taat kepada ketentuan Rasulullah SAW. Mereka selalu mengikuti hukum-hukum dan pengajaran-pengajaran Rasulullah tentang syariat yang agung ini. Rasulullah SAW memberikan penyampaian hukum kepada umatnya tentang segala persoalan dengan langsung menerima wahyu dari Allah SWT dan kadang-kadang beliau ber-ijtihâd sebagaimana firman Allah:

Artinya: Dan tidaklah Rasulullah mengatakan sesuatu daripada keinginannya, tidaklah dianya melainkan wahyu Allah.

Adapun sebab timbulnya khilâf di kalangan umat Islam pasca wafatnya Rasulullah SAW, bermula sejak pengangkatan khalifah `Utsmân ibn `Affân sebagaimana keterangan Ibn Musayyab yang dalam kitab 'Ahdul Khulafâ'ir Râsyidîn halaman 155:

Terbunuh `Utsmân ibn `Affân dalam keadaan teraniaya, dan orang yang membunuhnya itu orang zhalim, dan orang yang menghinanya itu dimaafkan. Aku berkata (Az-Zuhrî): Betapa demikian hai Ibn Musayyab? Ibn Musayyab berkata: Manakala `Utsmân ibn `Affân diangkat menjadi khalifah, telah dibenci kepemimpinannya oleh segolongan sahabat, karena `Utsmân mencintai kerabatnya. `Utsmân memimpin manusia selama 12 tahun dan kebanyakan orang yang dilantik oleh `Utsmân untuk menjadi pegawai kekhalifahan adalah dari suku Bani Umayyah yang tidak ada sahabat dengan Nabi, dan seterusnya.

Berkata lagi oleh Az-Zuhrî: `Utsmân memimpin sebagai khalifah 12 tahun, 6 tahun pertama kerjanya tidak mendapat tantangan satu pun dari manusia, dan seterusnya. Dan ia mempekerjakan keluarga dan ahli rumahnya pada 6 tahun akhir dari khilafahnya.

Pernah juga kaum muslimin pada masa Rasulullah SAW masih hidup terbagi dalam 2 golongan, yaitu:
1. Golongan Muhâjirîn (pendatang dari Mekkah)
2. Kelompok Anshâr (kaum pribumi Madinah)
Kemunculan golongan-golongan di atas bukan disebabkan oleh perbedaan pendapat, tetapi untuk mempersaudarakan antara pendatang dan pribumi dalam satu payung agama dan berakhir kelompok itu dengan terangkatnya Khalifah Abû Bakr sebagai khalifah pertama. Terpilihnya Abû Bakr sebagi khalifah setelah terjadi perdebatan yang serius antara kaum Anshâr yang dipimpin oleh Sa`d ibn `Ubadah dari suku Khazrâj dan kaum Muhâjirîn yang dipimpin oleh Abû Bakr, RA. Masing-masing kelompok menunjukkan ketua kelompoknya untuk diangkat menjadi khalifah, yaitu Sa`d ibn `Ubadah dari kaum Anshâr dan Abû Bakr dari kaum Muhâjirîn. Akhirnya terpilihlah Abû Bakr secara aklamasi, dalam perselisihan itu tidak terjadi firqah atau aliran dalam agama.
Ikhtilâf di kalangan kaum muslimin saat itu terus berlanjut sehingga terbunuhnya `Utsmân ibn `Affân RA dan `Alî ibn Abî Thâlib Karamallâhu Wajhah. Hal ini memang sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, bahwasanya Islam pada akhir zaman nanti akan terbagi kepada 73, golongan yang mana semuanya adalah bâthil kecuali golongan Ahlusunnah Wal Jamaah. Semua golongan ini akan mengaku dirinya sebangai Ahlusunnah Wal Jamaah maka dari itu kita sebagai umat Islam harus benar-benar memahami akidah Ahlusunnah Wal Jamaah, sehingga kita tidak salah dalam menafsirkannya. Di sinilah perlunya ilmu yang mendalam terutama dalam hal akidah yang akan menentukan sah tidaknya iman seorang muslim.
Bila diperhatikan dari sejarah, latar belakang lahirnya faham-faham dalam Islam adalah banyak dipengaruhi oleh gejolak politik di antara golongan Islam itu sendiri, yaitu karena masing-masing ingin menjadi pemimpin atau selalu dikenal dengan Hubbul jâh wa hubbur ri'asah.
Penulis merasa perlu untuk mengkaji kembali sejarah lahirnya Mazhab Ahlusunnah Wal Jamaah sekaligus membandingkan dengan beberapa mazhab lain yang sangat masyhur di kalangan umat Islam, dengan harapan bahwa tulisan yang singkat ini akan berguna bagi masyarakat Islam sehingga nantinya benar-benar tergolong dalam jamaah yang di maksudkan oleh Rasulullah SAW. Amin.



B. PEMBAHASAN
a). Mazhab Ahlussunnah Wal Jamaah
1. Sejarah kelahirannya
Golongan Ahlusunnah Wal Jamaah timbul sebagai reaksi atau tindakan balas terhadap firqah-firqah yang telah lama ada sebelumnya, yang menyeleweng dari akidah Islam yang sebenarnya. Golongan-golongan itu ialah Syî`ah dan Khawârij yang timbul pada tahun pertama hijrah, Mu`tazilah yang timbul pada tahun kedua hijriyah. Kemudian timbul pula Qadariyah, Jabbâriyah, Mujassimah dan lain-lain pada tahun-tahun berikutnya.
Sebelum lahirnya istilah Ahlusunnah Wal Jamaah sebagai nama satu mazhab, generasi awal (dimulai dari sahabat, tâbi', tâbi'-tâbi'în) disebut dengan salâf, dan generasi yang datang kemudiannya disebut dengan khalâf. Di antara mereka ada yang bersifat reformatif (mujaddidîn) dan ada yang bersifat konservatif (muhâfizhîn), dan ini mayoritas masyarakat Islam pada waktu itu. Faham-faham Ahlusunnah Wal Jamaah terlebih dulu berkembang yang dianut oleh tokoh-tokoh ahli sunnah dan sahabat, tâbi`in, tâbi`-tâbi`in sampai kepada imam-imam mazhab, seperti Imâm Hanâfî (wafat : 150 H), Imâm Mâlik (wafat : 179 H), Imâm Syâfi'î (wafat : 204 H) dan Imâm Hanbalî (wafat : 241 H). Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri telah mengisyaratkan dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Ibn Mâjah dan At-Tirmidzî, akan Lahir golongan Ahlusunnah Wal Jamaah, yang isinya sebagai berikut:

Artinya: Dari Abî Hurayrah RA, ia pernah berkata, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: "Telah berfirqah-firqah orang Yahudi atas 71 firqah dan orang Nashara seperti itu pula, dan akan berfirqah umatku atas 73 firqah". (H.R. At-Tirmidzî)

Nabi Bersabda:

Artinya: Bahwasanya Bani Israil telah berfirqah-firqah sebanyak 72 millah (firqah) dan akan berfirqah ummatku sebanyak 73 firqah, semuanya masuk neraka kecuali satu. Sahabat-sahabat yang mendengar ucapan ini bertanya: "Siapakah yang satu itu Ya Rasulullah? Nabi menjawab: "Yang satu itu ialah orang yang berpegang (ber-i`tiqâd) sebagaimana peganganku (i`tiqâd-ku) dan pegangan sahabat-sahabatku. (H.R. at-Tirmizî).

Tersebut dalam kitab ath-Thabrânî, bahwa Nabi SAW bersabda:

Artinya: "Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad di tangan-Nya, akan berfirqah umatku sebanyak 73 firqah, yang satu masuk syurga dan yang lainnya masuk neraka". Bertanya para Shahabat: "Siapakah firqah (yang tidak masuk neraka) Ya Rasulullah?". Nabi menjawab: "Ahlussunnah Wal Jamaah”. (H.R. ath-Thabrani).

Golongan Ahlusunnah Wal Jamaah lahir pada akhir tahun ketiga hijriyah, yang diketuai oleh dua orang ulama besar dalam ilmu Ushûluddîn yaitu Syaykh Abû Hasan Al-Asy`arî dan Syaykh Al-Mâturîdî.
Parkataan Ahlusunnah Wal Jamaah disebut juga dengan Ahlussunnah saja, atau kadang-kadang disebut Sunnî dan kadang-kadang disebut juga Asya`irah, yaitu dinisbahkan kepada Abû Hasan Al-Asy`arî. Sebagaimana disebutkan dalam Kitab Ittihâf Sâdatul Muttaqîn, karangan Imâm Muhammad ibn Muhammad al-Husnî az-Zâbid, yaitu kitab syarh dari kitab Ihyâ' `Ulûmuddîn karya Imâm al-Ghazâlî.

Artinya: Apabila disebut kaum Ahlussunnah Wal Jamaah, maka maksudnya ialah orang-orang yang mengikuti rumusan (faham) Asy'ârî dan faham Abû Mûsâ al-Mâturîdî”

Nama lengkap beliau adalah Abû Hasan `Ali ibn Ismâ`îl Abî Basyâr, Ishâq ibn Sâlim ibn Ismâ`îl ibn `Abdillâh ibn Mûsâ ibn Bilâl ibn Burdah ibn Abî Mûsâ Al-Asy`arî. Abû Mûsâ Al-Asy`arî adalah seorang sahabat nabi yang terkenal dalam sejarah Islam.
Abû Hasan dilahirkan di Bashrah, Irak pada tahun 250 H, dan meninggal pada tahun 324 H di Bashrah juga. Pada mulanya ia adalah murid Syaykh Abû `Alî Muhammad ibn `Abdul Wahhâb Al-Jubba’î (meninggal pada tahun 303 H ), seorang ulama kaum Mu`tazilah, Kemudian ia telah bertaubat dan keluar dari golongan itu.
Abû Hasan Al-Asy`arî pernah selama kurang lebih 40 tahun menganut faham Mu`tazilah, akhirnya ia meninggalkan faham tersebut, karena beberapa hal, antara lain sebagai berikut :
Ketidakpuasan Al-Asy`arî terhadap pola fikiran dan metodologi yang terlalu mengandalkan kemampuan nalar (akal), tanpa dukungan kecerahan wahyu atau nash. Puncak ketidak-puasannya terjadi saat melakukan dialog intensif dengan gurunya (Al-Jubbâ’î) tentang "Bagaimana kedudukan tiga orang berikut, yaitu mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat.
Menurut Imâm As-Sabqî. Dialog tersebut berlangsung sebagai berikut:
Al-Asy`ârî: Bagaimanakah kedudukan tiga orang berikut; Mukmin, kafir, dan anak kecil di akhirat nanti?
Al-Jubbâ’î: Yang mukmin mendapat tempat mulia di surga, yang kafir disiksa di neraka, dan anak kecil terlepas dari bahaya neraka.
Al-Asy`arî: Kalau anak kecil tadi ingin mendapatkan tempat yang lebih baik di surga, maka mungkinkah itu?
Al-Jubbâ’î: Tidak mungkin, sebab yang dapat tempat baik di syurga hanyalah orang yang taat kepada Tuhan, sedangkan anak kecil tadi belum pernah melakukan ketaatan.
Al-Asy`arî: Kalau anak kecil mengatakan kepada Tuhan : itu bukan salahku, jika sekiranya Engkau berikan atau terus hidup, maka aku akan mengerjakan amal-amal baik seperti yang dilakukan oleh orang mukmin.
Al-Jubbâ’î: Allah akan menjawab: Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup, engkau akan berbuat banyak dosa, dan oleh karenanya engkau akan disiksa. Maka untuk kemaslahatanmu Aku cabut nyawamu sebelum engkau mencapai umur mukallaf (bertanggung jawab atas amalannya).
Al-Asy`arî: Sekiranya yang kafir tadi mengatakan kepada Allah: “Engkau mengetahui masa depanku sebagaimana Engkau mengetahui masa depan anak kecil itu. Mengapa Allah tidak memperhatikan kemaslahatanku?”.

Sampai di sini Al-Jubbâ’î tidak dapat menjawab. Dialog ini menurut Imâm As-Sabqî berakhir dengan ketidakpuasan Al-Asy`arî terhadap pemikiran Mu`tazilah. Maka Keluarlah Imâm Al-Asy`arî dari mengikut faham kaum Mu`tazilah.
Abu Hasan Al-Asyarî berusaha bersungguh-sungguh untuk mengikis faham Mu`tazilah yang banyak berkembang pada masanya dan mengembalikan manusia kembali kepada sunnah nabi dan sahabat. Ia tidak henti-hentinya memberikan pengajian di mesjid-mesjid di samping ia sebagai guru agama tetap di beberapa buah mesjid Bashrah.
Dalam pengajianya, Al-Asy`arî menjelaskan tentang kesilapan kaum Mu`tazilah dengan membawa hujjah-hujjahnya. Di antara kesilapan Mu`tazilah adalah mengatakan al-Quran itu makhluk. Beliau juga telah banyak berdialog dan membahasnya dengan pembesar-pembesar Mu`tazilah untuk menegakkan faham Ahlusunnah Wal Jamaah di samping menolak semua hujjah-hujjah kaum Mu`tazilah.
Abû Manshûr al-Mâturîdî juga dianggap sebagai pembangun mazhab Ahlussunnah Wal Jamaah, karena ia juga telah berusaha untuk memberantas faham Mu`tazilah yang telah berkembang di kalangan masyarakat Islam saat itu. Manakala pendapatnya adalah sama atau hampir sama dengan pendapat Abû Hasan Al-Asyarî, maka ia pun tergolong dalam Imam Ahlusunnah Wal Jamaah yang tidak kurang sedikitpun pengikutnya dari pengikut-pengikut Mazhab Hanafî dalam masalah Fiqhiyah, karena ia pun bemazhab Hanafî dalam masalah Fiqh.
Nama lengkapnya ialah Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmûd, lahir di sebuah desa bernama Mâturîd di Samarkand dan meninggal pada tahun 333 Hijriyah di Samarkand juga.
Selain kedua Ulama Besar yang tersebut di atas sebagai pencetus atau pembawa misi Ahlusunnah Wal Jamaah, juga terdapat tokoh-tokoh lainnya yang bergerak dan mengembangkan Faham Ahlusunnah Wal Jamaah sesudah kedua Imam tersebut, antara lain :
1. Imâm Abû Bakr al-Qaffâl (wafat 365 H)
2. Imâm Abû Ishâq al-Asfâranî (wafat 411 H)
3. Imâm al-Hâfizh al-Bayhaqî (wafat 458 H)
4. Imâm al-Harâmayn al-Juwaynî (wafat 460 H)
5. Imâm al-Qâsim al-Qusyayrî (wafat 460 H)
6. Imâm al-Baqillânî (wafat 403 H)
7. Imâm al-Ghazâlî (wafat 505 H)
8. Imâm Fakhruddîn ar-Râzî (wafat 606 H)
9. Imâm `Izzuddîn ibn `Abdussalâm (wafat 660 H)
10. Imâm as-Sanûsî ibn Yusûf as-Sanûsî (wafat 490 H)

Dalam pengembangan misi ini Imâm As-Sanûsî ibn Yusûf As-Sanûsî lebih akrab disebut sebagai tokoh Asy`arîyah, karena dalam penyebaran konsep teologinya ialah tentang sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya, dan ia sangat populer di Indonesia. Ia membagi sifat Allah dan sifat Rasul kedalam tiga macam bagian, yaitu: Sifat Wajib, Sifat Mustahil dan Sifat Jâ’iz. Sifat yang wajib bagi Allah ada 20 (dua puluh), yakni: Wujûd, Qidam, Baqâ' dan seterusnya. Sifat Mustahil bagi Allah juga ada 20, yaitu : 'Adam, Huduts, Fanâ' dan seterusnya, sedangkan Sifat yang jâ’iz bagi Allah hanya satu, yakni: "Melakukan sesuatu atau tidak melakukannya". Sifat-sifat wajib bagi Allah yang dua puluh itu dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu:
1. Sifat Nafsîyah
2. Sifat Salbîyah
3. Sifat Ma`ânî
4. Sifat Ma`nawîyah

Sistematika dan teologi Asy`ârîyah yang dipelopori oleh Imâm As-Sanûsî ini banyak digunakan dalam pelajaran tauhid di lingkungan madrasah dan pondok-pondok pesantren, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Teologi dan sistematika seperti tersebut di atas sampai sekarang masih banyak kita dapati dalam kitab-kitab, seperti Syarh Tijân Ad-Darârî, Kifâyatul `Awâm, Aqîdatul `Awâm, Ummil Barâhayn dan lain-lain. Dan kitab tersebut dijadikan sebagai kitab standar di pesantren-pesantren.
Teologi dan sistematika seperti yang dikembangkan oleh Imâm as-Sanûsî ini juga banyak diikuti oleh tokoh-tokoh lain. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Syaykh Imâm Syaykh `Abdullâh asy-Syarqâwî (wafat 1227 H), pengarang kitab tauhid yang masyhur dengan nama kitab Syarqâwî.
2. Syaykh Ibrâhîm al-Bajûrî (wafat 1272 H), pengarang kitab tauhid Tahqîqul Matn fî Kifâyatil ‘Awâm dan kitab Tuhfatul Murîd 'Alâ Jawharatut Tawhîd.
3. Al-`Alâmah Syaykh Muhammad Nawâwî Bantanî, seorang ulama Indonesia yang mengarang kitab tauhid Tijânud Darârî.
4. Syaykh Zaynul `Âbidîn ibn Muhammad al-Fathanî yang mengarang kitab tauhid bernama `Aqîdatun Nâjîn fî Ushûliddîn.
5. Syaykh Husayn ibn Muhammad al-Jazâr ath-Thâlabî, pengarang kitab tauhid yang terkenal dengan nama Hushûrul Hamîdîyah, dan lain-lain.

2. I`tiqâd Ahlussunnah Wal Jamaah
Ahlussunnah Wal Jamaah adalah merupakan golongan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW manakala beliau ditanya tentang golongan yang memperoleh kemenangan. Maka Rasulullah SAW menjawab: "Al-jamâ`ah" dan beliau menambahkan: "Golongan yang Aku (Rasulullah SAW) dan para sahabat di atasnya. Oleh sebab itulah, golongan ini dinamakan dengan golongan Ahlussunnah Wal Jamaah dan Ashâbul Hadîts.
Jumhur ulama Ahlusunnah Wal Jamaah telah sepakat di atas beberapa asas dari pada rukun-rukun agama di mana setiap mukallaf diwajibkan untuk ma`rifah haqîqah daripada asas-asas tersebut.
a) Ma`rifah Allah dengan sifat-sifatnya yang azalîyah.
Pendapat Ahlusunnah Wal Jamaah tentang sifat-sifat Allah SWT adalah meng-itsbât-kan seluruh sifat-sifat-Nya dan sesungguhnya sifat-sifat Allah adalah tidak sama dengan sifat-sifat hawâdits walaupun sama di segi nama, tapi berbeda hakikat, maka sama` Allah SWT berbeda dengan dengan sama` hawâdits. Pendapat ini sangat berbeda dengan faham Mu`tazilah yang menafikan seluruh sifat-sifat zat Allah dan mereka berpendapat bahwa tidak ada sesuatu pun pada zat Allah SWT selain zat-Nya saja. Sebagai contoh: Allah mengetahui dengan `ilm-Nya menurut Ahlusunnah Wal Jamaah, sedangkan Mu`tazilah menyatakan bahwa Allah mengetahui dengan zat-Nya. Ini juga berbeda dengan pendapat Mujassimah yang menyatakan bahwa Allah mengetahui dengan mata-Nya. Adapun ayat-ayat al-Quran yang menyatakan adanya sifat bagi Allah SWT mereka tafsirkan sebagai nama-nama Allah. Sementara kaum Mujassimah dan Hasyâwîyah berpendapat bahwa sifat-sifat Allah serupa dengan sifat-sifat hawâdits.

b) Ke-Esa-an Allah (Wahdaniyatullâh).
Dalam istilah ilmu kalam ke-Esa-an mencakup dalam 3 (tiga) kategori yaitu:
• Wahdanîyah fîz Zât.
Wahdanîyah fîz Zât artinya zat Allah tidak terdiri dari komponen-komponen atau tidak terdiri dari kesatuan oknum, tidak ada trinitas seperti dalam teologi kristen dan juga tidak ada zat tandingan.

• Wahdanîyah fîsh Shifât.
Wahdanîyah fîsh Shifât artinya tidak ada yang menyamai sifat-sifat Allah. Kekuasaan Allah tidak ditandingi oleh kekuasaan siapapun, kehendak Allah tidak dapat dianulir atau dihalangi oleh kehendak siapapun dan Allah tidak mempunyai dua sifat yang sama.

• Wahdanîyah fîl 'Af'âl (Maha Esa Karya-Nya).
Wahdanîyah fîl 'Af'âl artinya tidak dicampuri karya atau ciptaan Allah oleh siapapun berbuat apa saja, menciptakan apa saja, mengatur apa saja, memusnahkan apa saja, atau menyelamatkan siapa saja yang dikehendaki. Allah tidak perlu adanya mitra kerja dan tidak ada yang dapat menolak-Nya.

Ada deskripsi lain dalam masalah ketauhidan ini, yaitu:
1. Tawhîd Uluhîyah/`Ubudîyah, yakni hanya Allah dan hanya kepada-Nya memohon pertolongan, hanya kepada-Nya patuh dan menyerahkan hidupnya.
2. Tawhîd Rubûbîyah, yakni hanya Allah SWT satu-satunya pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta, tidak ada peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan dan pengaturan Allah SWT.

Artinya: Tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahui-Nya. Dan tidaklah jatuh

c) Qudrah Allah SWT dan Af`âl (perbuatan ) mahkluk.
Mazhab Ahlusunnah Wal Jamaah berpendapat bahwa sesungguhnya seluruh perbuatan hamba adalah makhlûq (ciptaan) Allah karena Allah telah menyatakan dalam firman-Nya :

Artinya: Dan Allah yang menciptakan kamu dan semua perbuatan kamu.

Sesungguhnya Allah menciptakan bagi makhluknya ikhtiyâr, di mana seorang hamba sanggup mengerjakan suatu perbuatan dan meninggalkannya. Ikhtiyâr ini lah yang menjadi sasaran taklîf. Oleh sebab itu Mazhab Ahlusunnah Wal Jamaah merupakan mazhab di antara mazhab Mu`tazilah yang menyakini bahwa semua perbuatan hamba adalah ciptaan sendiri, dan di antara mazhab Jabbârîyah yang menganggap bahwa manusia tidak berbuat apa-apa. Menurut Jabbârîyah manusia seperti kapas yang ditiup angin, tetapi berdasar ayat di atas semua perbuatan adalah ciptaan Allah Ta'ala.

d) Melihat Allah SWT pada hari kiamat.
Mazhab Ahlusunnah Wal Jamaah berpendapat bahwa sesungguhnya Allah SWT akan dapat dilihat oleh orang-orang beriman. Tetapi tanpa kayfiyah dan tempat. Hal ini dipahami dari ayat al-Quran yang mengisahkan tentang Nabi Ibrâhîm AS saat beliau memohon kepada Allah agar bisa melihat zat Allah SWT, maka Allah mengisyaratkan kepada sebuah bukit. Pendapat ini sangat berbeda dengan pendapat Mu`tazilah yang menyatakan bahwa zat Allah tidak dapat dilihat pada hari akhirat, dan juga berbeda dengan pendapat Musyabbihah yaitu suatu golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk. Mereka adalah suatu jamaah yang besar dari Syî`ah dan Ashâbul Hadîts al-Hasyâwîyah, yang mengatakan sesungguhnya Allah bisa dilihat pada hari kiamat dalam keadaan ber-kayfîyah dan bertempat.

e) Lafazh-lafazh mutasyâbihât
Lafazh-lafazh mutasyâbihât yang wârid dalam al-Quran dan al-Hadits. Mazhab al-Hasyâwîyah, yaitu satu golongan yang berpegang kepada zhahir ayat dan hadits menafsirkan ayat-ayat al-Quran secara zhahir. Mereka juga meng-i`tiqâd-kan bahwa sesungguhnya penafsirkan secara zhahir itulah yang benar dan yang dimaksudkan dari ayat-ayat tersebut. Mereka menyatakan bahwa makna daripada ayat: adalah tangan organ seperti makhluk. Sementara Ahlusunnah Wal Jamaah men-ta’wil-kannya kepada makna yang lebih sesuai dan tidak tasyabuh yaitu kekuatan.

f) Al-Qur'ânul Karîm Kalâm Allâh
Ahlusunnah Wal Jamaah menyatakan bahwa al-Quran yang kita baca adalah Kalâmullâh yang Qadîm. Sekalipun tulisan yang kita baca sekarang adalah sesuatu yang baharu, tetapi madlûl dari al-Quran adalah sama dengan madlûl kalam Allah yang Qadîm. Maka sebagai keadaban, kita harus mengatakan bawa al-Quran adalah Qadîm. Hal ini berbeda dengan pendapat Mu`tazilah yang mengatakan bahwa al-Quran adalah baharu baik tulisan maupun madlûl-nya.

g) Orang mukmin yang mengerjakan dosa besar
Orang mukmin yang meninggal dunia setelah mengerjakan dosa besar dan belum sempat bertobat, menurut Ahlusunnah Wal Jamaah kedudukannya di bawah masyiah atau kehendak Allah. Allah berhak memaafkannya dan memasukkannya ke dalam syurga dan berhak juga mengazabnya sebab kefasikannya dan memasukkannya ke dalam neraka. Hal ini berbeda dengan pendapat Mu`tazilah yang menghukum kafir terhadap mukmin tersebut. Demikian juga dengan mazhab Murji`ah yang berkeyakinan bahwasanya "Tidak akan mendapat kemudharatan seorang mukmin dengan berbuat maksiat sebagaimana orang kafir tidak mendapat manfaat dengan kebajikannya".

h) Syafâ'at Rasulullah SAW
Sesungguhnya Rasulullah SAW memiliki syafâ`at untuk meringankan siksaan bagi umatnya yang telah berbuat maksiat. Tetapi beliau tidak memberikan syafâ`at melainkan kepada siapa yang telah diridhai Allah. Pendapat Ahlusunnah Wal Jamaah ini sangat bertentangan dengan mazhab Mu`tazilah yang mengatakan bahwa tiada syafâ`at bagi siapa pun di akhirat kelak. Sementara itu mazhab Syî`ah Imâmîyah berkeyakinan, bahwasanya Imam mereka mampu memberikan syafâ`at sebagaimana halnya Rasulullah SAW.

i) Perbuatan Allah SWT.
Imâm Asy'arî berpendapat, bahwasanya tidak ada maksud atau `illat pada perbuatan Allah SWT. Ini sesuai dengan firman-Nya:

Artinya: Allah tidak dipertanyakan tentang apa jua yang Allah perbuat, sementara makhluk akan dipersoalkan terhadap perbuatan-perbuatan mereka.

Adapun Mu`tazilah berpendapat, bahwasanya Allah SWT melakukan suatu perbuatan dengan didasari oleh suatu maksud dan 'illat tertentu, sehingga mereka menyatakan: "Bahwasanya, wajib terhadap Allah untuk mengerjakan kebaikan.

j) `Ishmatul Anbiyâ'.
Dalam teologi Ahlusunnah Wal Jamaah, yang memperoleh `ishmah atau ma`shûm (terpelihara dari dosa) adalah para nabi. Sedangkan manusia lain tidak ada yang ma`shûm termasuk para wâlî, imâm dan para ulama, walaupun para sahabat nabi. Berbeda dengan prinsip ajaran Syi'ah yang menganggap imamnya ma`shum (tidak ada salah dan tidak mungkin berbuat dosa). Kalau ada seorang nabi/rasul yang mengerjakan maksiat maka itu terjadi sebelum menjadi nabi dan rasul, seperti apa yang dilakukan Nabi Adam AS. Yaitu melakukan pelanggaran di syurga dan tindakan kriminal yang dilakukan oleh Nabi Musa yaitu menempeleng kaum Qibthi.
Adapun tentang para wâlî menurut Ahlusunnah Wal Jamaah mendapat perlindungan Allah dari perbuatan maksiat yang disebutkan dengan Mahfûzh sebagaimana pendapat Imâm Al- Qusyayrî.

k) Mu`jizât dan karâmât.
Menurut pendapat Ahlusunnah Wal Jamaah, secara syar`î umat Islam wajib menetapkan kepemimpinan umat (imâmah). Berbeda dengan pendapat Mu`tazilah yang berpendapat bahwa menetapkan imâmah merupakan wâjib 'Aqlî. Dalam hal ini pandangan yang prinsipil dari Ahlusunnah Wal Jamaah adalah, bahwa Nabi Muhammad SAW tidak menunjuk seseorang untuk menjadi imâm atau memegang kepemimpinan sepeninggal beliau. Tetapi sebaliknya, menyerahkan masalah tersebut kepada umat Islam melalui ikhtiyâr dan ijtihâd. Pendapat ini sangat berbeda dengan golongan Rafîzah (Syî`ah) yang menyatakan bahwa Nabi SAW menunjuk `Alî ibn Abî Thâlib sebagai pengganti beliau.
Atas dasar prinsip tersebut di atas maka Ahlusunnah Wal Jamaah mengakui dan membenarkan kepemimpinan Khulafâ'ur Râsyidîn serta membelanya dari celaan orang dan kritikan dari kaum Rafîzîyah. Rafîzîyah mengatakan bahwa terpilihnya Abû Bakr RA sebagai khalifah pertama, `Umar ibn al-Khaththâb sebagai khalifah kedua dan `Ustmân ibn `Affân sebagai khalifah ketiga adalah rampasan atau mengambil hak ke-imâmah-an `Alî ibn Abî Thâlib.
Pengakuan dan popularitas konsep Tarbi` atau empat serangkai yakni: Abû Bakr As-Shiddîq, `Umar ibn al-Khaththâb, `Utsmân ibn `Affân dan `Alî ibn Abî Thâlib adalah sebagai kampanye ulama-ulama Ahlusunnah Wal Jamaah di tengah maraknya semangat saling memojok dan mendiskreditkan antara pengikut Mu`awiyah dan pengikut `Alî ibn Abî Thâlib. Pengikut Mu`awiyah mengkampanyekan anti 'Alî dan pengikut 'Alî mengkampanyekan Takhmîs atau lima serangkai yakni: Nabi Muhammad sebagi al-Mushthafâ, `Alî sebagai al-Murtadhâ, Hasan, Husayn dan Fathîmah, dengan mengesampingkan nama-nama besar Khulafâ'ur Râsyidîn yang lain.
Dari pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa Imâm Al-Asy'ârî dan Imâm al-Mâturîdî ber-istidlâl dengan dalil naqlî dan dalil `aqlî untuk meng-itsbât-kan ke-Esa-an Allah. Artinya Ahlusunnah Wal Jamaah meng-itsbât-kan sifat-sifat Allah dan rasul-Nya, hari kiamat, malaikat, hisâb, `iqâb dan pahala dengan nash dari al-Quran dan al-Hadits yang shahîh serta diperkuat dengan dalil-dalil `aqlîyah dan mantîqîyah. Maka Mazhab Ahlusunnah Wal Jamaah menjadikan akal sebagai hakim bagi nash al-Quran dan al-Hadits untuk ditakwilkan atau dipahami secara zhahir sebagaimana teori Mu`tazilah. Tetapi Mazhab Ahlusunnah Wal Jamaah menjadikan akal sebagai penguat bagi nash dan mengambil hukum `aqlî selama tidak menyalahi dengan al-Quran dan al-Hadits. Hal ini sangat bertentangan dengan faham Mu`tazilah yang menjadikan akal sebagai landasan hukum, walaupun mereka juga berpegang kepada al-Quran dan al-Hadits.

b. Mazhab Syî`ah
Syî`ah artinya pengikut, kalau dikatakan Syî`ah `Alî berarti pengikut `Alî. Manakala kata Syî`ah digunakan dalam ilmu tauhid dan sejarah, maka yang dimaksud adalah orang yang menjadi pengikut dan penyokong `Alî serta mempercayai bahwa Saydina `Alî ibn Abî Thâlib adalah orang yang paling berhak untuk menjadikan khalifah sesudah wafatnya Nabi SAW. Maka atas dasar itu mereka menganggap bahwa Abû Bakr ,`Umar dan `Utsmân yang menjadi khalifah sesudah wafat Rasulullah SAW adalah orang yang merampas kedudukan khalifah dari `Alî.

1. Kelahiran Faham Syî`ah.
Sejarah telah menjelaskan bahwa faham Syî`ah telah berkembang sejak zaman pemerintahan Khalifah `Utsmân ibn `Affân. Faham ini dibawa oleh seorang pendeta Yahudi dari Yaman yang memeluk agama Islam bernama `Abdullâh ibn Sabâ'. Ia telah menaburkan fitnah, supaya rakyat membenci Khalifah `Utsmân dengan mengatakan bahwa `Alî ibn Abî Thâlib lebih berhak untuk menjadi imâm (khalifah). Menurutnya Rasulullah SAW pernah berwasiat supaya `Alî menjadi khalifah sesudah beliau wafat. Faham ini telah tersebar di kota-kota besar yang akhirnya membawa kepada pembunuhan `Ustmân.
Setelah wafatnya Saydina `Utsmân ibn `Affân maka dilantiklah Saydina `Alî ibn Abî Thâlib sebagai khalifah ke-4 pada tahun 35 Hijriyah. Hal ini tidak memuaskan sebagian umat Islam pada saat itu, sehingga terjadilah perang saudara antara Saydina `Alî dan `Aisyah (istri Rasulullah SAW) pada tahun ke-36 Hijriyah yang masyhur dengan nama "Perang Jamal" (unta) karena `Aisyah mengepalai tentaranya dengan menunggang unta. Kemudian pada tahun 37 H terjadi pula peperangan antara `Alî dan Mua`wiyah ibn Abî Sufyân yang dinamai dengan perang "Siffin". Mu`awiyah adalah seorang sahabat Nabi yang telah mengikrarkan dirinya sebagai khalifah di Syam, sedangkan pada masa itu `Alî ibn Abî Thâlib telah menjadi khalifah Islam di Madinah.
Dalam peperangan ini, pada mulanya pihak `Alî memperoleh kemenangan, tetapi pihak Mu`awiyah telah membuat tipu daya dengan menjulang al-Quran di ujung tombak sambil meneriakkan: "Al-Quran yang akan memutuskan hukum antara kita". Mereka bertujuan untuk mengajak berunding dengan menghentikan peperangan dan berhukum dengan kitab Allah.
Pada mulanya `Alî tidak mau menghentikan peperangan, karena menurutnya, itu hanya satu muslihat saja. Tetapi oleh sebagian pengikutnya mendesak bahkan ada yang mengancamnya, akhirnya beliau menerima tawaran Mu`awiyah untuk berunding yang lebih dikenal dengan "Majlis Tahkîm". Disebabkan perundingan ini `Alî telah disingkirkan dari kekhalifahan, dan Mu`awiyah dilantik sebagai khalifah oleh pengikut-pengikutnya. Oleh sebab itulah sebagian pengikut `Alî membelot dan keluar dari mengikut `Alî karena menerima tahkim tersebut sehingga kelompok itu dinamakan dengan Khawârij.
Mereka sangat benci kepada Mu`awiyah karena telah menipu `Alî sebagai Khalifah yang sah. Dan mereka juga benci kepada `Alî karena menerima tawaran Mu`awiyah. Oleh karena itu mereka berusaha untuk membunuh kedua-duanya. Prinsip mereka adalah tiada hukuman melainkan kepada Allah.
Orang yang masih berpihak kepada `Alî dinamakan Syî`ah. Mereka terus berperang di pihak `Alî dengan anggapan bahwa `Alî lebih berhak menjadi imâm mereka, karena mendapat wasiat dari Rasulullah SAW. Mereka menganggap `Alî sebagai kaum Syî`ah yang pertama dan menurut mereka, `Alî senantiasa mendapat wahyu dari Tuhan.
Faham Syî`ah ini telah berkembang di sekitar tanah Arab, Irak, Iran, Afrika Utara, Pakistan dan India. Akhirnya Syî`ah ini pecah kepada beberapa golongan. Yang termasyhur di antaranya ialah:
1) Syî`ah Saba'iyah: Pengikut `Abdullâh ibn Sabâ'. Inilah Syî`ah yang keterlaluan sekali fahamnya.
2) Syî`ah Kaysâniyah: Pengikut Mukhtâr ibn Abî `Ubayd As-Saqâfî.
3) Syî`ah Imâmiyah: Pengikut yang hanya mempercayai imam-imam yang 12 orang, termasuk Imâm Mahdî yang kononnya telah hilang dan akan keluar kembali di akhir zaman.
4) Syî`ah Ismâ`îliyah: Yaitu yang mempercayai kepada tujuh orang imam saja, dan imam yang ke 7 inilah Ismâ`îl ibn Ja`far As-Sâdiq yang telah lama hilang dan akan lahir kembali di akhir zaman. Syî`ah ini banyak terdapat di Pakistan (Aghakhan) dan India.
5) Syî`ah Zaydîyah: Yaitu pengikut Imâm Zayd ibn `Alî ibn Husayn ibn `Alî ibn Abî Thâlib. Inilah Syî`ah yang paling sederhana fahamnya. Faham ini banyak terdapat di Yaman, mereka tidak mengkafirkan Abû Bakr, `Umar dan `Utsmân, walau bagaimana mereka tetap menganggap `Alî lebih mulia dari mereka.

2. I`tiqâd Syî`ah yang Bertentangan dengan I`tiqâd Ahlusunnah Wal Jamaah
Berikut ini kami paparkan beberapa poin yang kami lihat berbeda dengan faham Ahlusunnah Wal Jamaah.
a) Masalah wasiat Nabi SAW mengenai kekhalifahan.
Kaum Syî`ah mempercayai bahwa Rasulullah SAW telah mewasiatkan imâmah dan khilafah kepada `Alî dan mereka ber-i`tiqâd bahwa imâmah tidak akan keluar dari keturunan `Alî. Mereka berpendapat bahwa sesungguhnya masalah imâmah bukanlah hukum kemashlahatan yang berkaitan dengan pemilihan umum, tetapi ia termasuk hukum asal dan rukun agama sehingga tidak boleh diserahkan kepada umum. Mereka telah bersepakat kepada wajibnya ta`yîn dan takhshîsh imâmah tersebut.
Dalam hal ini mereka berpegang kepada hadits yang menjelaskan bahwa hubungan `Alî ibn Abî Thâlib dengan Rasulullah SAW ibarat Nabi Harûn dengan Nabi Mûsâ. Tetapi bedanya bahwa tidak ada lagi Nabi setelah Rasulullah SAW. Ini merupakan pegangan mereka sehingga mereka menganggap `Alî sebagai khalifah yang sebenarnya bukannya Abû Bakr, `Umar atau `Utsmân. Tetapi pada hakikatnya hadits ini tidak terdapat dalam Shahîh al-Bukhârî, Muslim, Ibn Mâjah dan Abî Dawûd. Maka dengan sebab itulah Ahlusunnah Wal Jamaah tidak mempercayai hadits tersebut. Di antara hadits-hadits yang menjadi pegangan mereka adalah:

Artinya: Ini saudaraku dan washiku dan khalifahku sesudahku. Maka dengar dan patuhlah kamu sekalian kepadanya.


b) Persoalan Imam.
Kaum Syî`ah menamakan pengganti nabi dengan imâm, sedangkan Ahlusunnah Wal Jamaah menama-kannya khalîfah. Fungsinya juga berlainan antara imâm kaum Syî`ah dengan khalifah bagi Ahlusunnah Wal Jamaah.
Khalifah menurut Ahlusunnah Wal Jamaah hanya pengganti nabi dalam hal dan urusan pemerintahan dan agama. Mereka tidak ma`shûm walaupun mereka memiliki hak untuk ber-ijtihâd, sedangkan imâm pada kaum Syî`ah bukan sekedar kepala negara, tetapi juga menjadi imâm agama dan rohaniah. Imâm pada mereka seperti nabi keadaaanya yaitu ma`shûm, tidak pernah melakukan dosa besar atau kecil dan mendapat wahyu dari Allah dengan tiada perantaraan Jibril. Percaya kepada imâm itu adalah salah satu dari rukun iman, artinya siapa yang tidak percaya maka ia dihukumkan kafir atau munafik.
Faham ini sangat bertentangan dengan Ahlussunnah Wal Jamaah, karena sifat imam itu seperti Nabi, sedangkan pangkat kenabian tidak akan ada lagi sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW.

c) Imam-imam kaum Syî`ah
Imam pada kaum Syî`ah merupakan salah satu dari rukun iman. Siapa yang tidak percaya pada imam-imam itu maka mereka adalah kafir atau jadi munafik. Imam mereka ada 12 orang yaitu:
1). `Alî ibn Abî Thâlib, meninggal tahun 40 H.
2). Hasan ibn `Alî ibn Abî Thâlib, meningggal tahun 50 H.
3). Husayn ibn `Alî ibn Abî Thâlib, meninggal tahun 61 H.
4). `Alî Zaynal `Âbidîn ibn Hasan ibn `Alî, meninggal tahun 91 H.
5). Muhammad al-Baqîr ibn `Alî Zaynal `Âbidîn, meninggal tahun 117 H.
6). Ja`far Sâdiq ibn Muhammad Al-Baqîr, meninggal tahun 148 H.
7). Mûsâ Al-Kâzim ibn Ja`far as-Sâdiq, meninggal tahun 183 H.
8). `Ali Ridhâ ibn Mûsâ al-Kâzim, meninggal th. 203 H.
9). Muhammad al-Jawâd ibn `Alî Ridhâ, meninggal tahun 220 H.
10). `Ali ibn Muhammad ibn `Alî Ridhâ , meninggal tahun 254 H.
11). Hasan ibn `Alî Muhammad, meninggal tahun 260 H.
12). Muhammad ibn Hasan al-`Askarî al-Mahdî, hilang pada tahun 260 H.

Inilah susunan imam kaum Syî`ah yang 12 orang. Imam yang ke dua belas itulah yang dipercayai oleh orang Syî`ah sebagai imam yang lenyap dan ditunggu-tunggu akan lahir kembali untuk menegakkan keadilan di akhir zaman nanti. Dari i`tiqâd inilah maka timbullah di kalangan Syî`ah orang yang mengaku dirinya sebagai al-Mahdî yang ditunggu-tunggu itu. Timbullah faham Ahmadiyah Qadyan di India yang menganggap Mirza Ghulam Ahmad (meninggal 1909 M) sebagai al-Mahdî dan juga Nabi Isa. Di Iran timbul pula faham Bahnîyah di mana Mirza Ghulam Husin (meninggal 1892 M) mengaku dirinya Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu.
Bagi Syî`ah Ismâ`îlîyah yang terdapat di Pakistan, mempercayai bahwa imam itu hanya sampai ke 7 saja. Imam itu bukan Mûsâ al-Kâzim seperti yang diterangkan di atas, tapi saudaranya yang bernama Ismâ`îl ibn Ja`far as-Sâdiq. Mereka mempercayai bahwa imam yang ketujuh inilah yang hilang dan akan kembali di akhir zaman nanti sebagai al-Mahdi.

d) Arti Ahlul Bayt.
Ahlul Bayt ialah keluarga Rasulullah SAW yang menurut Ahlusunnah Wal Jamaah termasuk istri-istri baginda, bapak saudaranya, anak, cucunya, pamannya al-`Abbâs dan sepupunya `Abdullâh ibn `Abbâs. Pada kaum Syî`ah, Ahlul Bayt ialah Fathîmah binti Rasulullah SAW, `Alî ibn Abî Thâlib, Hasan dan Husayn saja. Istri-istri Baginda tidak termasuk dalam Ahlul Bayt yang disebut dalam al-Quran surat al-Ahzâb ayat 33.

e) Nikah Mut`ah, halal
Nikah Mut`ah ialah nikah sementara waktu di mana seorang laki-laki dan seorang perempuan boleh menikah tanpa wali dan tanpa saksi. Laki-laki itu hanya berkata: "Aku menikahi kamu selama seminggu dengan upah sebanyak Rp. 100.000,-" misalnya. Dengan itu maka jadilah mereka sebagai suami istri. Apabila tiba waktu yang telah ditetapkan maka nikah itu batal dengan sendirinya. Mereka berdalilkan kepada firman Allah:

Artinya: Wanita-wanita yang telah kamu istimtâ' dengan mereka maka berilah upah kepada mereka sebagai kewajiban.

Kaum Syî`ah berpendapat bahwa istimtâ' itu adalah mut`ah. Jadi apabila seseorang sudah ber-istimtâ' dengan perempuan maka mesti dibayar sebagai upahnya.
Adapun kaum Ahlusunnah Wal Jamaah dan imam-imam mujtahid berpendapat bahwa nikah mut`ah itu haram. Dan nikah mut'ah telah di-mansûkh-kan. Ayat di atas bersambung dengan ayat lain yang menceritakan perihal nikah juga, maksud lafazh ujûr dalam ayat itu bukan bermakna upah tetapi mahar atau mas kawin.
Ayat di atas menerangkan bahwa istri-istri yang telah dicampuri wajib dibayar mas kawinnya. Inilah pendapat Ahlusunnah Wal Jamaah, begitu juga dalam masalah thalâq. Bagi Syî`ah, talak tiga sekaligus itu hanya jatuh satu saja dan boleh rujuk kembali. Ini adalah pendapat Syî`ah Imâmiyah dan Ibn al-Qayyim. Pada mazhab Ahlusunnah Wal Jamaah dan mazhab empat, Syâfi'î, Hanafî, Mâlikî dan Hanbalî berpendapat bahwa talak tiga sekaligus itu jatuh tiga.

f) Ijmâ` dan Qiyâs
Kaum Syî`ah tidak menerima konsep ijmâ` dan qiyâs, karena ijmâ` dan qiyâs ini adalah pendapat-pendapat manusia bukan wahyu dari Allah. Menerima ijmâ dianggap sebagai menerima pendapat orang lain yang bukan dari golongan Syî`ah. Sebaliknya mereka menerima pendapat dan perkataan imam-imam mereka. Kata-kata imam tersebut mereka jadikan sebagai landasan hukum karena mereka berkeyakinan bahwa imam-imam mereka menerima wahyu langsung dari Allah. Ini bertentangan dengan pendapat Ahlusunnah Wal Jamaah karena Ahlusunnah Wal Jamaah menerima ijmâ` dan qiyâs berdasarkan firman Allah:

Artinya: "Ambillah iktibar (perbandingan) wahai orang-orang yang berakal”
Sebuah Hadist Rasulullah SAW saat melantik Mu`âz ibn Jabal sebagai guru di Yaman, dimana Mu`âz dibenarkan untuk ber-ijtihâd sendiri sekiranya ia tidak mendapatkan hukum dalam al-Quran dan as-Sunnah. Di sini jelas membuktikan bahwa nabi telah membenarkan Mu`âz untuk berbuat demikian. Dari dua dalil inilah Ahlussunnah Wal Jamaah berpendapat bahwa boleh beramal dengan qiyâs. Demikian juga dengan ijma` karena Nabi pernah bersabda:

Artinya: "Bahwasanya ummatku tidak akan bersepakat atas kesesatan".

Hadist ini menunjukkan bahwa nabi mengakui adanya ijmâ` selepas beliau wafat dan beliau yakin ijmâ` umatnya tidak akan terjadi dalam perkara yang sesat.
Demikianlah beberapa di antara pendapat Syî`ah yang bertentangan dengan pendapat-pendapat Ahlusunnah Wal Jamaah. Berikut ini kita masuk dalam pembahasan tentang mazhab Mu`tazilah.


3. Mazhab Mu`tazilah
1. Sejarah Kelahirannya
Perkataan Mu`tazilah berasal dari kalimat i`tazala yang artinya mengasingkan diri. Jadi kaum Mu`tazilah adalah kaum yang mengasingkan diri dari orang-orang ramai, khususnya dalam hal i`tiqâd. Banyak pendapat yang menerangkan mengenai sebab-sebab munculnya mazhab Mu`tazilah, di sini akan diterangkan salah satu pendapat yang masyhur dan diterima oleh kebanyakan ulama.
Pada suatu hari seorang guru bernama Syaykh Hasan al-Bashrî (w. tahun 110 H) sedang mengajar di sebuah mesjid di kota Basrah, Irak. Di antara murid-muridnya yang hadir pada saat itu termasuk Wâshil ibn `Athâ'. Pada saat itu Syaykh Hasan al-Bashrî sedang menerangkan tentang orang-orang Islam yang mengerjakan dosa-dosa besar. Ia mengatakan bahwa orang-orang Islam yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian ia mengerjakan dosa besar dan ia mati tanpa bertaubat, maka ia dianggap seorang muslim juga tetapi muslim yang durhaka. Di hari akhirat ia akan dimasukkan ke dalam neraka, sesudah itu ia dikeluarkan lagi kemudian ia dimasukkan ke dalam syurga.
Mendengar itu Wâshil ibn `Athâ' tidak setuju dengan pendapat gurunya dan keluar dari majelis itu. Kemudian ia membuka sebuah majelis lain di satu penjuru mesjid Basrah itu. Melihat kejadian itu lalu berkatalah Syayhk Hasan Al-Bashrî: "Wâshil telah mengasingkan diri dari kita". Dengan itu Wâshil dan pengikut-pengikutnya dinamakan kaum Mu`tazilah karena menyisihkan diri dari gurunya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 120 H, yaitu semasa pemerintahan Khalifah Hisyâm ibn `Abdul Mâlik dari dinasti Bani Umayyah.
Mazhab ini terus berkembang, khususnya di negeri Irak dan terus menyebar ke negeri-negeri lain. Banyak Khalifah-khalifah Islam yang menganut faham ini, antara lain ialah:
1. Yazid ibn al-Wâlid, khalifah Bani Umayyah (125-126 H)
2. Al-Ma`mûn ibn Hârûn ar-Rasyîd, khalifah `Abbasiyah (198-218 H)
3. Al-Mu`tashim ibn Hârûn ar-Rasyîd (218-227 H)
4. Al-Wâtsiq ibn al-Mu`tashim (227-232 H)

2. Hujjah yang digunakan kaum Mu`tazilah
Sejarah telah membuktikan bahwa kaum Mu`tazilah adalah orang yang paling lihai dalam memainkan akal pikiran. Oleh karenanya dalam masalah hukum dan i`tiqâd pun mereka masih mengutamakan akal pikiran melebihi dari al-Quran dan al-Hadits. Sesuatu yang dianggap sesuai dengan rasionalitas akal pikiran maka itulah yang diterima walaupun ia bertentangan dengan nash al-Quran dan al-Hadits. Contohnya seperti peristiwa Mi`râj Nabi dan siksa kubur. Mu`tazilah tidak mempercayai peristiwa itu karena kedua-duanya itu tidak masuk akal. Alasan yang mereka kemukakan adalah; bagaimana seorang makhluk bisa naik ke angkasa, padahal makhluk itu berat. Demikian juga dengan siksa kubur dengan alasan; bagaimana seseorang yang telah mati itu disiksa, dipukul, sedangkan tempat itu sangat sempit dan gelap.
Atas alasan-alasan inilah mereka tidak mempercayai peristiwa-peristiwa tersebut. Sedangkan peristiwa ini jelas-jelas telah disebut dalam al-Quran dan al-Hadits, mereka juga tidak percaya adanya timbangan atau Mizân, Hisâb, Shirâth dan sebagainya yang terjadi pada hari kiamat nanti. Ayat al-Quran yang telah menyebutkan hal itu, mereka ta'wil-kan atau mereka tafsirkan dengan cara lain yang sesuai dengan akal fikiran mereka.
Kaum Mu`tazilah menggunakan akal dan rasio dalam hal-hal agama adalah karena terpangaruh dengan filsafat Yunani. Sebab sejak dari tahun 40 H sampai tahun 232 H, Islam telah berkembang dengan pesatnya dari Jazirah Arab hingga ke Persia, India, Afghanistan, Khurasan, Indonesia dan Tiongkok (Canton). Di sebelah barat juga Islam telah sampai ke Afrika, Al-Jazair, Maroko dan terus ke Andalus (Spanyol). Seiring dengan itu banyak orang-orang Islam yang baru memeluk agama Islam datang mendiami kota-kota besar seperti Basrah, Kufah, Bahgdad dan sebagainya. Mereka datang dari berbagai macam latar belakang, sebagian mereka dulunya adalah orang-orang yang beragama Nasrani, Yahudi, Majusi dan Budha. Terdapat juga ahli Yunani yang menganut faham Aristoteles dan Plato, Pendeta-pendeta, rahib dan guru-guru Injil. Pada saat mereka ini memeluk agama Islam, otak dan pemikiran mereka masih dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan lama yang pernah mereka anut. Mereka belum banyak mengetahui isi al-Quran dan al-Hadist, jadi sangatlah kurang pengetahuan ke-Islam-an yang ada pada mereka hanyalah pengetahuan agama mereka yang lama itu.
Kemudian khalifah al-Ma`mûn ibn Hârûn al-Rasyîd dengan niat yang baik demi kepentingan ilmu pengetahuan telah menyuruh orang untuk menterjemahkan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab. Dengan ini filsafat Yunani telah secara langsung dipelajari oleh orang-orang Islam. Dari sinilah faham-faham Islam bercampur dengan filsafat Yunani yang banyak menggunakan akal dan rasionalitas. Inilah yang dipegang oleh kaum Mu`tazilah dan menjadi hujjah utama mereka.
Oleh karena itu mereka dikenali sebagai orang yang paling suka berdebat, karena sangat yakin dengan kebolehan dan kekuatan akal fikiran mereka. Dalam anggapan mereka akal fikiran itu adalah sumber hukum yang paling penting dalam agama, sebab itulah pada sebagian tempat mereka lebih mengutamakan akal dari pada nash. Apa yang baik pada akal maka baiklah pada sisi syara`, apa yang dianggap lebih logis maka itulah yang benar, dan jika tidak sesuai dengan rasio maka perkara itu tidaklah benar. Demikianlah pegangan mereka.

3. Dasar Pokok I'tiqad Kaum Mu`tazilah
Dasar-dasar pokok atau asas pengajian kaum Mu`tazilah berkisar pada lima perkara, yaitu:
1). Tawhîd (ke Esaan Allah)
2). Al-`Adl (keadilan Allah)
3). Al-Wa`d wal-Wa`îd (janji baik dan janji buruk)
4). Manzilah bayna Manzilatayn (tempat di antara dua tempat)
5). Amr Ma'rûf dan Nahy Munkâr

Pertama adalah mengenai ke-Esa-an Allah, kaum Mu`tazilah mempercayai bahwa Allah mempunyai zat yang Maha Esa dan tiada bersifat. Jadi Allah melihat dengan zat-Nya dan berkata-kata juga dengan zat-Nya. Jika Allah bersifat artinya Allah itu ada dua, yang satunya Tuhan zat dan yang satunya lagi Tuhan sifat. Jadi tentulah tidak dapat diterima oleh akal pikiran bahwa Allah yang serba Esa itu mempunyai dua bagian.
Kedua yaitu mengenai keadilan Allah, mereka mempercayai bahwa Allah telah berlaku adil kepada semua makhluk, yaitu dengan memberi pahala kepada yang mengerjakan amal saleh dan menyiksa orang yang berbuat dosa. Dengan ini Kaum Mu`tazilah mempercayai bahwa semua perbuatan manusia -baik ataupun jahat- adalah ciptaan manusia itu sendiri.
Adapun al-Wa`d wal Wa`îd menurut Mu`tazilah adalah sesuatu yang wajib bagi Allah SWT. Allah wajib memberikan pahala bagi orang yang berbuat kebajikan, demikian juga sebaliknya Allah SWT wajib memberikan siksaan terhadap orang yang berbuat kemunkaran sekiranya ia tidak bertaubat. Tiada dimaafkan orang mukmin yang mengerjakan dosa besar serta tidak bertaubat, karena mereka telah dikarunia akal fikiran untuk berfikir dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Maka orang Islam yang berbuat dosa dan tidak bertaubat akan dimasukkan ke dalam neraka untuk selama-lamanya.
Wâshil ibn `Atha` sebagai pembawa ajaran Mu`tazilah, pernah menjelaskan tentang iman, yaitu `ibarat dari perkara-perkara kebaikan yang sempurna pada diri seorang mukmin. Artinya seorang yang fâsiq tentunya tidak menyempurnakan segala perkara kebaikan, maka dia tidak digolongkan sebagai mukmin sebagaimana dia juga tidak dikatakan sebagai kafir karena dia telah mengucap dua kalimah syahâdah. Oleh sebab itu, sekiranya dia meninggal setelah mengerjakan dosa besar dan tidak bertaubat maka dia itu ahli neraka yang kekal di dalamnya, tetapi menurut Mu`tazilah neraka itu lebih sejuk daripada neraka yang diperuntukkan bagi orang-orang kafir. Inilah yang mereka sebut Manzilah bayna Manzilatayn yaitu, suatu tempat yang berada di antara dua tempat.
Adapun Amr Ma'rûf dan Nahy Munkâr adalah fardhu `ayn menurut Mu`tazilah. Sedangkan Ahlussunnah Wal Jamaah menyatakan bahwa hal tersebut merupakan Fardhu Kifâyah. Hal ini sesuai dengan firman Allah: "Dan hendaklah ada sebagian dari kamu itu umat yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan yang ma`rûf dan mencegah dari pada munkar".
Itulah lima dasar i`tiqâd kaum Mu`tazilah yang melandasi pola pikir kaum Mu`tazilah. Berdasarkan lima perkara ini lah maka muncul fatwa-fatwa kaum Mu`tazilah yang bertentangan dengan pendapat dunia Islam, khususnya dengan pendapat Ahlussunnah Wal Jamaah. Dengan itu ulama-ulama Islam sepakat mengatakan bahwa i`tiqâd Mu`tazilah ini tidak sesuai dengan i`tiqâd nabi dan Sahabat-sahabatnya dan tidak sesuai dengan petunjuk al-Quran dan al-Hadist.

4. I`tiqâd Kaum Mu`tazilah yang Bertentangan dengan I`tiqâd Ahlussunnah Wal Jamaah
a) Buruk dan baik ditemukan oleh akal.
Kaum Mu`tazilah berpendapat bahwa baik dan buruk suatu perkara itu dapat ditentukan oleh akal. Maksudnya apa yang baik menurut akal maka itu adalah baik, dan apa yang buruk menurut akal maka itu adalah buruk. Hal ini bertentangan dengan pendapat Ahlussunnah Wal Jamaah, karena menurut Ahlussunnah Wal Jamaah, baik dan buruknya suatu perkara itu ditentukan oleh Syara'. Apa yang baik pada Syara', maka itu adalah baik dan apa yang buruk pada syara' maka buruk walaupun ia baik pada akal.
Ahlussunnah Wal Jamaah tetap menggunakan akal fikiran, tetapi hanya untuk meneliti dan menyelaraskan atau mencari hikmah dan `illat dari hukum-hukum Allah. Bukan untuk menetapkan hukum sebagaimana yang dipraktekkan oleh kaum Mu`tazilah yang menjadikan akal dan kaidah-kaidah mantîq filsafat sebagai landasan hukum mereka.

b) Allah tidak mempunyai sifat
Kaum Mu`tazilah berpendapat bahwa Allah tidak mempunyai sifat seperti yang dipahami Ahlussunnah Wal Jamaah. Menurut Mu`tazilah, Allah hanya mempunyai zat-Nya saja, artinya Tuhan melihat dengan zat-Nya dan berkata-kata juga dengan zat-Nya. Mereka mengatakan kalau Allah bersifat, ini bermakna bahwa Allah itu dua. Satunya Allah zat dan yang satu lagi Tuhan Sifat. Dan ini bersalahan dengan konsep tauhid. Pendapat ini ditentang oleh Ahlussunnah Wal Jamaah yang menyatakan bahwa Allah memiliki sifat, bukan satu atau dua tetapi banyak. Ada yang wajib, ada yang jâ’iz dan ada yang mustahil. Dalam satu ayat Allah SWT berfirman:

Artinya: Dialah Tuhan, tiada Tuhan selain Dia yang mengetahui perkara-perkara yang tersembunyi dan yang nyata. Dialah tuhan yang pengasih lagi penyayang.

Pada ayat di atas ada disebutkan zat Tuhan yaitu Allah dan sifat-Nya al-`Alîm, ar-Rahmân dan ar-Rahîm. Sifat-sifat itu bukan terasing dari zat, tetapi ia sesuatu yang qadîm yang berdiri di atas zat dan yang wujud bersama dengan wujudnya zat. Ia tidak boleh dipisahkan dari zat, sebab ia qadîm. Perbandingannya ialah seperti kertas yang bersifat dengan putih. Putih itu ada pada kertas dan tidak boleh dipisahkan tetapi pada hakikatnya kertas adalah zat dan putih adalah sifat, demikian pula halnya dengan Allah bersifat dengan `ilm misalnya. Maka Allah adalah zat yang wajib wujud dan `ilm adalah sifat zat yang berdiri pada zat Allah SWT.

c) Al-Quran itu makhlûq
Kaum Mu`tazilah telah menggoncangkan umat Islam sejak dari tahun ke-2 hingga tahun ke-3 Hijriyah dengan mengatakan al-Quran itu makhlûq, bukan kalâm Allah yang qadîm. Ini adalah lanjutan dari kepercayaan mereka bahwa Allah tidak memiliki sifat. Pendapat ini jelas bertentangan dengan pendapat Ahlussunnah Wal Jamaah yang menyatakan bahwa al-Quran adalah kalâm Allah, dan kalâm itu adalah sifat Allah yang qadîm yang wujud bersama dengan Zat Allah yang qadîm, jadi al-Quran juga qadîm. Kalâm yang qadîm itu diperdengarkan kepada Jibril, lalu Jibril membacakannya kepada Nabi Muhammad SAW sebagai wahyu. Kemudian Nabi membacakannya kepada sahabat-sahabatnya, lalu mereka menulisnya, maka jadilah ia berhuruf dan bersuara seperti yang nampak, kita dengar dan baca sekarang.
Pada hakikatnya kalâm itu sesuatu yang abstrak, yang tidak dapat dilihat. Al-Quran itu mempunyai madlûl yang sama dengan madlûl kalâm Allah yang azalî. Contohnya adalah seperti kita menginginkan sesuatu, apa yang kita inginkan itu suatu bahasa yang tiada bersuara dan tidak berhuruf, ia hanya ada dalam diri kita. Tetapi apabila kita lahirkan perasaan hati itu dengan perkataan atau tulisan, maka ia merupakan manifestasi dari kehendak dan perasaan hati kita tadi. Sedangkan perasaan yang ada di hati itu adalah kalâm yang tidak berhuruf.
Demikian pula halnya dengan kalâm Allah, al-Quran itu manifestasi dari kalâm Allah yang azalî. Karena ayat al-Quran itu kalâm yang azalî dan qadîm maka al-Quran juga qadîm. Walaupun ia berhuruf dan bersuara tetapi makna yang terkandung dalam ayat itu adalah sama dengan madlûl kalâm Allah yang azalî.

d) Pelaku dosa besar
Kaum Mu`tazilah meng-i`tqâd-kan bahwa orang-orang Islam yang mengerjakan dosa besar seperti membunuh, durhaka kepada ibu-bapa dan ia mati sebelum bertaubat maka mereka itu bukan lagi mukmin dan bukan pula kafir. Mereka itu akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya seperti orang kafir tetapi neraka itu tidak terlalu panas seperti panasnya neraka orang-orang kafir. Ini merupakan satu jenis neraka yang diciptakan khusus untuk orang-orang Islam yang berbuat dosa besar. Inilah yang dikatakan oleh kaum Mu`tazilah dengan Manzilah bayna Manzilatayn atau satu tempat di antara dua tempat. Fatwa inilah yang telah menyebabkan Wâshil ibn `Athâ' berselisih paham dengan gurunya Syaykh Hasan al-Bashrî.
Ahlussunnah Wal Jamaah berpendapat bahwa orang-orang Islam yang berbuat dosa besar dan mati sebelum bertaubat dikategorikan sebagai mukmin yang `âshi (berbuat maksiat). Di akhirat nanti mereka akan dimasukkan ke dalam neraka sebagai hukuman atas kesalahannya, sesudah itu mereka akan dimasukkan ke dalam syurga karena ia seorang mukmin. Firman Allah:

Artinya: "Sesungguhnya Allah tidak mengampunkan dosa orang yang mempersekutukan-Nya dan akan mengampun selain itu bagi siapa saja yang ia kehendaki".

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah akan mengampuni dosa apa saja selain syirik, termasuk mereka yang mengerjakan dosa-dosa besar. Mereka masih tetap mukmin tetapi mukmin yang `âshi (berbuat maksiat) dan mereka tidak kekal dalam neraka selama-lamanya seperti i`tiqâd kaum Mu`tazilah.

e) Manusia menciptakan perbuatannya
Kaum Mu`tazilah berkeyakinan bahwa semua perbuatan manusia dibuat oleh manusia itu sendiri tanpa ta'tsîr dari qudrah Allah. Dengan itu Allah sangat adil menyiksa orang yang berbuat jahat, karena ia lakukan perkara itu dengan usahanya sendiri. Ini jelas bertentangan dengan al-Quran dan i`tiqâd Ahlussunnah Wal Jamaah. Firman Allah:

Artinya: "Dan Allah yang menjadikan kamu dan semua pekerjaanmu".

Maksudnya apa yang kita lakukan adalah manifestasi dari qudrah dan irâdah Allah. Sebab Allah Maha Mengetahui dan Berkuasa atas segala-galanya.

f) Tuhan tidak dapat dilihat
Kaum Mu`tazilah menfatwakan bahwa Allah tidak dapat dilihat oleh manusia walaupun di dalam syurga. Karena kalau Tuhan dapat dilihat, bisa menimbulkan was-was bahwa Allah itu bertempat, sebab kita melihat Allah itu bertempat, yaitu di syurga. Di samping itu mereka berpegang dengan Firman Allah :

Artinya: Dia (Tuhan) tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan Ia (Tuhan) melihat dengan penglihatan-Nya".

Berdasarkan kepada ayat dan pemikiran mereka seperti di atas tadi, maka kaum Ahlussunnah Wal Jamaah mengatakan bahwa Allah akan dapat dilihat oleh orang-orang Islam. Khususnya penghuni syurga, yaitu orang yang shalih yang banyak mengerjakan amal ibadah di dunia. Ahlussunnah Wal Jamaah berdalilkan kepada firman Allah:

Artinya: "Pada hari itu muka mereka bercahaya dan berseri-seri melihat kepada Tuhannya".

Dan sabda Nabi:

Artinya: Sesunggunya kamu akan melihat Tuhanmu dengan nyata.

Berdasarkan dalil di atas dan banyak lagi dalil-dalil yang lain yang tidak disebutkan di sini, maka Ahlussunnah Wal Jamaah menfatwakan bahwa Allah itu akan dapat dilihat oleh orang-orang yang beriman pada hari kiamat nanti saat mereka berada di dalam syurga.

g) Kirâman Kâtibin tidak ada
Kaum Mu`tazilah juga tidak mengakui akan adanya malaikat Kirâman Kâtibîn yang bernama Raqîb dan `Atîd yang bertugas menulis amalan manusia sama ada baik atau jahat. Mereka berpendapat bahwa ilmu Allah sangat luas dan meliputi semuanya. Tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari pada-Nya. Dengan itu tidak perlu bagi Allah mengambil pembantu untuk menulis segala amalan manusia.
Ahlussunnah Wal Jamaah menolak pendapat ini karena jelas bertentangan dengan nash al-Quran. Firman Allah:

Artinya: Sesungguhnya bagi kami itu ada penjaga-penjaga yaitu malaikat kirâman kâtibîn.
Berdasarkan ini, maka Ahlussunnah Wal Jamaah berpendapat bahwa ada dua malaikat yaitu Raqîb dan `Atîd yang duduk di kiri dan kanan manusia yang bertugas untuk menulis semua perbuatan manusia sama ada baik atau jahat.
Selain ini kaum Ahlussunnah Wal Jamaah mempercayai juga akan adanya perkara-perkara ghaib yang lain seperti siksa kubur, Hisâb, timbangan atau Mizân, Shirât, `Arasy, Kursî, dan sebagainya berdasarkan al-Quran dan al-Hadits. Kaum Mu`tazilah tidak percaya akan hal tersebut karena bertentangan dengan akal fikiran mereka dan tidak sesuai dengan ilmu logika dan rasionalitas mereka.
Demikianlah kaum Mu`tazilah yang paling kuat berpegang dengan kepintaran akal fikiran mereka, sehingga mereka sanggup menolak beberapa nash karena bertentangan dengan akal dan tidak sesuai dengan pemikiran mereka.

C. PENUTUP
Sebagai umat Islam, kita harus menyadari bahwa perbedaan akidah sangat berbahaya dan hal ini sepatutnya menjadi satu bagian penting yang harus selalu kita fikirkan dan kita bicarakan pada pengajian-pengajian dalam masyarakat.
Perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab tersebut terkadang tanpa kita sadari telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehingga kita salah dalam memilih dan berjalan. Tetapi kita harus menyadari bahwa Rasulullah pernah bersabda bahwa Ahlussunnah Wal Jamaah merupakan mazhab yang benar dan wajib kita pegang dan ikuti sebagai landasan akidah kita.
Tulisan ringkas ini belum memadai untuk mengupas hal-hal yang sangat penting ini, maka di sini penulis menganjurkan dan mengharapkan kepada masyarakat Aceh khususnya agar mengikuti pengajian-pengajian dan menanamkan akidah yang benar kepada generasi muda Aceh.
Akhirnya, hanya kepada Allah SWT kita berserah diri semoga Allah SWT tidak henti-hentinya menunjuki kita jalan yang benar sehingga kita tetap di bawah lindungan-Nya dan tergolong dalam golongan Ahlussunnah Wal Jamaah. Âmin yâ Rabbal 'Âlamîn.

Share/Bookmark

Artikel yang berkaitan



1 komentar:

Anonim mengatakan...

apa yang disampaikan sangat bersifat subyektif tidak melalui suatu kajian yang mendalam.

Posting Komentar

komentar anda?