A. Pengertian waqaf.
Waqaf secara etimologi/loghat berarti habs/menahan. Sedangkan secara syar`I, waqaf berarti :
“menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materinya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan untuk pemakaian yang dibolehkan oleh syariah”. (1)
Dari defenisi waqaf diatas maka dapat dipahami beberapa rukun waqaf yaitu ada empat: (2)
1. Lafadh waqaf
2. Waqif/orang yang mewaqafkan
3. Mauquf `alaih/tempat diwaqafkan
4. Harta waqaf
Imam Syafii menyatakan bahwa waqaf tidak pernah dikenal dalam kehidupan jahiliyah. Tapi waqaf baru dikenal ketika islam datang.
B. Landasan hukum waqaf.
Beberapa dalil yang menjadi landasan hukum waqaf antara lain:(3)
1. Ayat Al Quran surat Ali Imram ayat 92:
Artinya:
“Tidak akan kamu capai kebaikan sehingga kamu infaqkan harta yang kamu cintai”
Ketika mendengar ayat ini, salah satu shahabat Nabi SAW, Abu Thalhah Ra langsung mewaqafkan tanahnya yang paling dicintainya di Bairuja`.
2. Hadis riwayat Imam Muslim:
“Apabila meninggal anak Adam, maka putuslah amalnya kecuali dari tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh yang selalu mendoakannya”
Shadaqah dalam hadis diatas diartikan oleh para ulama dengan waqaf.
3. Hadis riwayat Imam Bukhary dan Muslim:
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar Ra. Bahwa Saidina Umar bin Khattab mendapat bagian sebidang tanah di khaibar, maka beliau mendatangi Rasulullah SAW dan menanyakan perihal tanah tersebut. Beliau berkata “Ya Rasulullah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, tidak pernah saya mendapat tanah yang lebih bagus darinya, maka apa yang akan engkau perintahkan terhadapku tentang tanah tersebut?”. Rasulullah berkata “jika kamu kehendaki, kamu tahan asalnya dan kamu shadaqahkan”. Perawi hadis berkata “maka Saidina Umarpun menshadaqahkannya dengan ketentuan tidak boleh dijual, di hibah, dan tidak boleh diwariskan. Beliau bershadaqah untuk para faqir, kerabat, budak yang akan dimerdekakan dengan tebusan (mukatab), pada sabilillah, ibnu sabil dan tamu, serta tiada berdosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakannya dengan cara yang baik serta tidak berlebihan” (H.R. Bukhari-Muslim)
C. Syarat-syarat waqaf. (4)
1. Waqif
Syarat bagi si Waqif adalah ia harus orang yang ahliyah tabaru`/ orang yang berhak untuk memberi secara sukarela. Maka waqaf anak-anak, orang gila, orang yang dipaksa, muflis, dam mahjur `alaih(orang yang ditahan hak pengelolaan terhadap hartanya) dengan sebab boros adalah tidak sah.
2. Mauquf (barang yang diwaqafkan)
Beberapa syarat benda yang sah untuk diwaqaf adalah:
1. Harta yang tertentu(mu`ayyan)
2. Milik yang bisa dipindah tangankan
3. Kekal zatnya dengan waktu yang memiliki nilai harga
4. bermanfaat
Maka tidak sah mewaqafkan manfaat/jasa, harta tanpa menentukannya seperti kata si waqif: saya waqafkan salah satu lembu saya , sesuatu yang yang tidak sah menjadi milik seperti anjing, ummu walad, makanan, lilin, dan sesuatu yang sudak tak dapat dimanfaatkan lagi seperti orang yang sakit yang tak ada pengharapan untuk sembuh.
3. Mauquf `alaih
Yang menjadi pihak penerima waqaf adakala adalah orang yang tertentu baik satu orang ataupun lebih dan adakala kepada orang yang tidak ditentukan yang disebut dengan jihat/arah (5) . Bila yang menjadi pihak penerima waqaf berupa orang maka disyaratkan:
1. Tidak maksiat
2. Tertentu/mu`ayyan
3. Mungkin menerima waqaf dari si Waqif
Maka tidak sah mewaqafkan kepada orang dengan tujuan untuk digunakan kepada perbuatan maksiat, tanpa menentukan penerima waqaf dan juga tidak sah mewaqafkan kepada orang yang belum lahir ketika terjadinya waqaf.
Sedangkan bila mauquf `alaih berupa jihat maka disyaratkan bukan berupa jalur maksiat seperti waqaf kepada faqir miskin, orang kaya, mesjid, madrasah dll. Maka, waqaf kepada mauquf a`laih yang berupa jalur maksiat seperti waqaf untuk pembangunan gereja tidak sah.
4. Lafadh waqaf.
Disyaratkan pada lafadh waqaf menunjuki kepada maksud mewaqafkan hartanya, baik berupa lafadh sharih ataupun kinayah. (6)
Selain itu waqaf juga disyaratkan harus bersifat selamanya (ta`bid), kontan (tanjiz), pasti (ilzam) dan disebutkan tujuan waqafnya (masraf). Maka waqaf dengan disertai syarat pembatasan waktu, dikaitkan (ta`liq) dengan sesuatu seperti saya waqaf bila datang si Zaid (7), disertai dengan persyaratan boleh khiyar, atau diwaqafkan tanpa menyebutkan tempat tujuan waqafnya (masraf) seperti kata si waqif “saya waqafkan ini” maka tidak sah.(8)
D. Mengalih fungsikan harta waqaf.
Harta yang telah diwaqaf maka harta tersebut menjadi milik Allah dengan pengertian kepemilikan manusia terhadap harta tersebut hilang (9). Dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan tegas diterangkan bahwa harta waqaf tidak boleh di jual, di wariskan, serta tidak boleh dihibah. Selain itu harta waqaf juga tidak boleh dialihfungsikan walaupun menjadi hal yang lebih tinggi nilainya (10), seperti menjadikan tanah yang telah diwaqafkan untuk kebun menjadi rumah (11) atau tanah yang diwaqafkan untuk mushalla diubah menjadi mesjid. Ini berlaku bila si waqif tidak mensyaratkan ketika waqaf untuk melakukan hal yang lebih besar maslahahnya bagi harta waqaf. Sedangkan bila ia telah menyatakan dibolehkan melakukan apa saja berdasarkan kemaslahatan maka dibolehkan mengalihfungsikan harta waqaf berdasarkan kemaslahatan yang ada. (12)
Contoh lain alih fungsi harta zakat yang disebutkan oleh para ulama dalam kitab mu`tabarah adalah sebidang tanah yang diwaqafkan untuk menanam tanaman muda seperti padi, maka boleh diubah menjadi kebun dengan syarat tidak bertentangan dengan syarat yang ditentukan oleh si Waqif. Bahkan Ketika kondisi mudharat maka dibolehkankan menyalahi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh si waqif si waqif, karena pasti saja si waqif juga tidak ingin harta waqafnya sia-sia belaka. (13)
Imam As Subky menyatakan ada 3 syarat yang membolehkan alih fungsui harta waqaf :(14)
1. Perubahan yang sedikit, tidak sampai mengubah ainnya/musammanya.
2. Tidak menghilangkan ainnya.
3. Adanya maslahah bagi harta waqaf tersebut.
Larangan mengalih fungsikan harta waqaf juga berlaku pada bahan bangunan waqaf, misalnya kayu-kayu yang diwaqaf untuk mesjid, bila mesjid tersebut telah tua, ataupun telah ditinggalkan maka tidak boleh dirobohkan kecuali ditakutkan akan roboh. Kemudian bahan bangunan mesjid tersebut tidak boleh dipergunakan ke masjid lain. Hal ini bila mesjid tersebut masih membutuhkan bahan tersebut. Sedangkan bila bahan-bahan bangunan tersebut tidak lagi bisa dimanfaatkan oleh mesjid lama maka dibolehkan dimanfaatkan untuk membangun mesjid lain bila memang hakim berpandangan bahwa membangun mesjid lain lebih besar kemaslahatannya (15). Bahan bangunan tersebut tidak boleh digunakan untuk pembangunan selain mesjid, misalnya untuk pembangunan balai pengajian kecuali tidak ada mesjid yang membutuhkannya, demikian juga sebaliknya(16). Selain dilarang mengalih fungsikan waqaf, juga dilarang melakukan hal-hal yang bisa menggangu tujuan utama waqaf. Maka didalam mesjid dilarang meletakkan meja yang dipakai untuk meletakkan kitab apabila bisa menggangu para jamaah shalat(17). Adapun bila hal ini tidak mengganggu para jamaah maka dibolehkan.
Dalam waqaf, ketentuan si waqif sangat dipertimbangkan, sehingga semua persyaratan yang ia tentukan selama tidak menentang syara` maka wajib dipatuhi, misalnya ia membuat persyaratan tanah tersebut tidak boleh disewakan kepada satu pihak lebih dari setahun, atau ia mensyaratkan pembangunan tanah dibebankan kepada pihak yang menempatinya (18), contoh lainnya ia mewaqafkan sebuah mesjid yang hanya dikhususkan untuk penganut Mazhab Syafii(19). Semua syarat ini dipatuhi selama belum datang kondisi darurat. Pada saat darurat, persyaratan si waqif boleh saja tidak dipenuhi misalnya pada contoh ia membuat persyaratan tidak boleh disewakan kepada satu pihak selama lebih dari setahun, bila pada tahun kedua tidak ada pihak lain yang ingin menyewanya maka dibolehkan untuk disewakan kepada pihak yang telah menyewanya pada tahun pertama.(20)
Contoh syarat yang bertentangan dengan syara` adalah si waqif membuat persyaratan bahwa orang yang menetap di tempat tersebut harus membujang maka syarat ini tidak diindahkan karena menentang dengan syara` karena syara` sendiri menganjurkan pernikahan dan mencela sifat bujang.(21)
E. Menjual harta waqaf
Larangan menjual harta waqaf tersebut dengan cukup jelas dalam hadis shahih:
Namun demikian larangan ini bukanlah berlaku mutlak, hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa contoh kasus yang disebutkan oleh para ulama yang membolehkan penjualan harta waqaf dalam kondisi dharurat antara lain:
1. Menurut pendapat yang kuat tikar atau kayu mesjid yang telah lusuh dan tak dapat dimanfaatkan lagi kecuali dengan membakarnya maka dibolehkan menjualnya, dengan pertimbangan mendapatkan keuntungan yang sedikit lebih baik dari pada menyia-nyiakannya. Hasil penjualan tersebut bila tidak mencukupi pembelian tikar lain maka dipergunakan pada kemaslahatan masjid. (22)
2. Kuda yang diwaqafkan untuk berperang, bila sudah tua tak mungkin di pakai untuk berperang maka dibolehkan dijual. (23)
Kebolehan menjual harta waqaf tersebut berlaku lebih ketat ketimbang hukum mengalih fungsikan harta waqaf. Dari beberapa contoh yang disebutkan oleh para ulama kebolehan menjual harta waqaf berlaku pada saat harta waqaf tersebut tidak dapat dimanfaatkan sama sekali seperti pada masalah tikar mesjid dan bahan bangunan lainnya, baru boleh dijual ketika tidak dapat dimanfaatkan kecuali hanya dengan dibakar. Jadi dapat disimpulkan menjual harta waqaf hanya dibolehkan pada saat alih fungsi tak dapat dilakukan.
Berdasarkan hal tersebut oleh sebagian ulama, khilafiyah diantara sebagian ulama yang mengatakan boleh menjual harta waqaf dan yang mengatakan tidak boleh menjualnya, di damaikan (di hamal) dengan menempatkan pendapat yang mengatakan boleh menjualnya pada masalah menjual bekas bahan bangunan waqaf sedangkan pendapat yang mengatakan tidak boleh menjualnya ditempatkan pada masalah menjual tanah waqaf karena masih memungkinkan dimanfaatkan dengan cara lain selain dari yang dimaksudkan oleh si waqif.(24)
Referensi:
(1). Ibn Hajar al-Haytami, Syihab al-Din Ahmad, Tuhfah at-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj jilid 6 (Beirut, Dar Fikr, 2006) hlm 269
(2). Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri 'ala Syarh Ibn Qasim al-Ghiri 'ala Matn Abi Syuja', jilid 2 (Jeddah, Haramain) hlm 42
(3). Ibn Hajar al-Haytami Op. Cit hlm 269
(4). Ibn Hajar al-Haytami, Op. Cit hlm 270-294, Sayed Abi Bakri Syatha, Hasyiah I`anatuth Thalibin jilid 2 (Jeddah, Haramain) hlm 158-164, Syeikh Syarqawy, Hasyiah syarqawy `ala Syarah Tahrir (Jeddah, Haramain) jilid 2 hlm 173-177
(5). Imam An Nawawy, Raudhatuth Thalibin jilid 4 (Beirut, Dar Kutub Ilmiyah), hlm 398
(6). Zakaria Al Anshary, Syarah `ala Manhaj thulab jilid 3 (Beirut, Dar Kutub Ilmiyah) hlm 222
(7). Ini berlaku pada selain waqaf yang menyerupai tahrir. Adapun pada waqaf yang menyerupai tahrir (waqaf yang telah disepakati bahwa kemilikannya menjadi milik Allah seperti masjid, madrasah, maqbarah dll) maka sah waqaf bila dikaitkan dengan sesuatu (ta`liq). Lihat Tuhfatul Muhtaj dan Hasyiah Asy Syarwany jilid 6 hal 292, dan kitab Bughyatul Mustarsyidin Haramain l 169 cet.
(8). Ibn Hajar al-Haytami Op. Cit hlm 288-292, Zakaria Al Anshary Op. Cit hal 223, Imam An Nawawy Op. Cit hal 390-396.
(9). Imam Ramli, Nihayatul Muhtaj `ala Minhaj jilid 5 (Dar Kutub `Ilmiyah) hlm 388
(10). Imam Al Qalyuby, Hasyiah Qalyuby `ala Mahally jilid 3 hlm 109
(11). Imam Ramli, Op. Cit hlm 396
(12). Ibid
(13). Ibid
(14). Ibid
(15). Ibnu Hajar Al Haitamy, Op. Cit hlm 324
(16). Ibnu Hajar Al Haitamy, Op. Cit hlm 325, Sayed Abi Bakri Syatha Op. Cit hal 181, Imam Al Qalyuby Op. Cit hlm 109.
(17). Ibnu Hajar Al Haitamy, Op. Cit hlm 295
(18). Ibid hlm 293
(19). Ibid. hlm 294
(20). Ibid
(21). Ibid
(22).Imam Ramli, Op. Cit hlm 395, Ibnu Hajar Al Haitamy, Op. Cit hlm 323, Sayed Abi Bakri Syatha Op. Cit hlm 180
(23). Ibnu Hajar Al Haitamy, Op. Cit hlm 324
(24). Imam Ramli, Op. Cit hlm 395, Ibnu Hajar Al Haitamy, Op. Cit hal 323
Waqaf secara etimologi/loghat berarti habs/menahan. Sedangkan secara syar`I, waqaf berarti :
حبس مال يمكن الانتفاع به مع بقاء عينه بقطع التصرف في رقبته على مصرف مباح
“menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materinya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh Wakif untuk diserahkan untuk pemakaian yang dibolehkan oleh syariah”. (1)
Dari defenisi waqaf diatas maka dapat dipahami beberapa rukun waqaf yaitu ada empat: (2)
1. Lafadh waqaf
2. Waqif/orang yang mewaqafkan
3. Mauquf `alaih/tempat diwaqafkan
4. Harta waqaf
Imam Syafii menyatakan bahwa waqaf tidak pernah dikenal dalam kehidupan jahiliyah. Tapi waqaf baru dikenal ketika islam datang.
B. Landasan hukum waqaf.
Beberapa dalil yang menjadi landasan hukum waqaf antara lain:(3)
1. Ayat Al Quran surat Ali Imram ayat 92:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
Artinya:
“Tidak akan kamu capai kebaikan sehingga kamu infaqkan harta yang kamu cintai”
Ketika mendengar ayat ini, salah satu shahabat Nabi SAW, Abu Thalhah Ra langsung mewaqafkan tanahnya yang paling dicintainya di Bairuja`.
2. Hadis riwayat Imam Muslim:
إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila meninggal anak Adam, maka putuslah amalnya kecuali dari tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh yang selalu mendoakannya”
Shadaqah dalam hadis diatas diartikan oleh para ulama dengan waqaf.
3. Hadis riwayat Imam Bukhary dan Muslim:
عن ابن عمر أن عمر بن الخطاب أصاب أرضاً بخيبر فأتى النبي {صلى الله عليه وسلم} يستأمره فيها فقال يا رسول الله إني أصبت أرضاً بخيبر لم أصب مالاً قط أنفس عندي منه فما تأمرني فيه قال إن شئت حبست أصلها وتصدقت بها قال فتصدق بها عمر على أن لا تباع ولا توهب ولا تورث وتصدق بها في الفقراء وفي القربى وفي الرقاب وفي سبيل الله وابن السبيل والضيف لا جناح على من وليها أن يأكل منها بالمعروف ويطعم غير متمول
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar Ra. Bahwa Saidina Umar bin Khattab mendapat bagian sebidang tanah di khaibar, maka beliau mendatangi Rasulullah SAW dan menanyakan perihal tanah tersebut. Beliau berkata “Ya Rasulullah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, tidak pernah saya mendapat tanah yang lebih bagus darinya, maka apa yang akan engkau perintahkan terhadapku tentang tanah tersebut?”. Rasulullah berkata “jika kamu kehendaki, kamu tahan asalnya dan kamu shadaqahkan”. Perawi hadis berkata “maka Saidina Umarpun menshadaqahkannya dengan ketentuan tidak boleh dijual, di hibah, dan tidak boleh diwariskan. Beliau bershadaqah untuk para faqir, kerabat, budak yang akan dimerdekakan dengan tebusan (mukatab), pada sabilillah, ibnu sabil dan tamu, serta tiada berdosa bagi orang yang mengurusnya untuk memakannya dengan cara yang baik serta tidak berlebihan” (H.R. Bukhari-Muslim)
C. Syarat-syarat waqaf. (4)
1. Waqif
Syarat bagi si Waqif adalah ia harus orang yang ahliyah tabaru`/ orang yang berhak untuk memberi secara sukarela. Maka waqaf anak-anak, orang gila, orang yang dipaksa, muflis, dam mahjur `alaih(orang yang ditahan hak pengelolaan terhadap hartanya) dengan sebab boros adalah tidak sah.
2. Mauquf (barang yang diwaqafkan)
Beberapa syarat benda yang sah untuk diwaqaf adalah:
1. Harta yang tertentu(mu`ayyan)
2. Milik yang bisa dipindah tangankan
3. Kekal zatnya dengan waktu yang memiliki nilai harga
4. bermanfaat
Maka tidak sah mewaqafkan manfaat/jasa, harta tanpa menentukannya seperti kata si waqif: saya waqafkan salah satu lembu saya , sesuatu yang yang tidak sah menjadi milik seperti anjing, ummu walad, makanan, lilin, dan sesuatu yang sudak tak dapat dimanfaatkan lagi seperti orang yang sakit yang tak ada pengharapan untuk sembuh.
3. Mauquf `alaih
Yang menjadi pihak penerima waqaf adakala adalah orang yang tertentu baik satu orang ataupun lebih dan adakala kepada orang yang tidak ditentukan yang disebut dengan jihat/arah (5) . Bila yang menjadi pihak penerima waqaf berupa orang maka disyaratkan:
1. Tidak maksiat
2. Tertentu/mu`ayyan
3. Mungkin menerima waqaf dari si Waqif
Maka tidak sah mewaqafkan kepada orang dengan tujuan untuk digunakan kepada perbuatan maksiat, tanpa menentukan penerima waqaf dan juga tidak sah mewaqafkan kepada orang yang belum lahir ketika terjadinya waqaf.
Sedangkan bila mauquf `alaih berupa jihat maka disyaratkan bukan berupa jalur maksiat seperti waqaf kepada faqir miskin, orang kaya, mesjid, madrasah dll. Maka, waqaf kepada mauquf a`laih yang berupa jalur maksiat seperti waqaf untuk pembangunan gereja tidak sah.
4. Lafadh waqaf.
Disyaratkan pada lafadh waqaf menunjuki kepada maksud mewaqafkan hartanya, baik berupa lafadh sharih ataupun kinayah. (6)
Selain itu waqaf juga disyaratkan harus bersifat selamanya (ta`bid), kontan (tanjiz), pasti (ilzam) dan disebutkan tujuan waqafnya (masraf). Maka waqaf dengan disertai syarat pembatasan waktu, dikaitkan (ta`liq) dengan sesuatu seperti saya waqaf bila datang si Zaid (7), disertai dengan persyaratan boleh khiyar, atau diwaqafkan tanpa menyebutkan tempat tujuan waqafnya (masraf) seperti kata si waqif “saya waqafkan ini” maka tidak sah.(8)
D. Mengalih fungsikan harta waqaf.
Harta yang telah diwaqaf maka harta tersebut menjadi milik Allah dengan pengertian kepemilikan manusia terhadap harta tersebut hilang (9). Dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dengan tegas diterangkan bahwa harta waqaf tidak boleh di jual, di wariskan, serta tidak boleh dihibah. Selain itu harta waqaf juga tidak boleh dialihfungsikan walaupun menjadi hal yang lebih tinggi nilainya (10), seperti menjadikan tanah yang telah diwaqafkan untuk kebun menjadi rumah (11) atau tanah yang diwaqafkan untuk mushalla diubah menjadi mesjid. Ini berlaku bila si waqif tidak mensyaratkan ketika waqaf untuk melakukan hal yang lebih besar maslahahnya bagi harta waqaf. Sedangkan bila ia telah menyatakan dibolehkan melakukan apa saja berdasarkan kemaslahatan maka dibolehkan mengalihfungsikan harta waqaf berdasarkan kemaslahatan yang ada. (12)
Contoh lain alih fungsi harta zakat yang disebutkan oleh para ulama dalam kitab mu`tabarah adalah sebidang tanah yang diwaqafkan untuk menanam tanaman muda seperti padi, maka boleh diubah menjadi kebun dengan syarat tidak bertentangan dengan syarat yang ditentukan oleh si Waqif. Bahkan Ketika kondisi mudharat maka dibolehkankan menyalahi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh si waqif si waqif, karena pasti saja si waqif juga tidak ingin harta waqafnya sia-sia belaka. (13)
Imam As Subky menyatakan ada 3 syarat yang membolehkan alih fungsui harta waqaf :(14)
1. Perubahan yang sedikit, tidak sampai mengubah ainnya/musammanya.
2. Tidak menghilangkan ainnya.
3. Adanya maslahah bagi harta waqaf tersebut.
Larangan mengalih fungsikan harta waqaf juga berlaku pada bahan bangunan waqaf, misalnya kayu-kayu yang diwaqaf untuk mesjid, bila mesjid tersebut telah tua, ataupun telah ditinggalkan maka tidak boleh dirobohkan kecuali ditakutkan akan roboh. Kemudian bahan bangunan mesjid tersebut tidak boleh dipergunakan ke masjid lain. Hal ini bila mesjid tersebut masih membutuhkan bahan tersebut. Sedangkan bila bahan-bahan bangunan tersebut tidak lagi bisa dimanfaatkan oleh mesjid lama maka dibolehkan dimanfaatkan untuk membangun mesjid lain bila memang hakim berpandangan bahwa membangun mesjid lain lebih besar kemaslahatannya (15). Bahan bangunan tersebut tidak boleh digunakan untuk pembangunan selain mesjid, misalnya untuk pembangunan balai pengajian kecuali tidak ada mesjid yang membutuhkannya, demikian juga sebaliknya(16). Selain dilarang mengalih fungsikan waqaf, juga dilarang melakukan hal-hal yang bisa menggangu tujuan utama waqaf. Maka didalam mesjid dilarang meletakkan meja yang dipakai untuk meletakkan kitab apabila bisa menggangu para jamaah shalat(17). Adapun bila hal ini tidak mengganggu para jamaah maka dibolehkan.
Dalam waqaf, ketentuan si waqif sangat dipertimbangkan, sehingga semua persyaratan yang ia tentukan selama tidak menentang syara` maka wajib dipatuhi, misalnya ia membuat persyaratan tanah tersebut tidak boleh disewakan kepada satu pihak lebih dari setahun, atau ia mensyaratkan pembangunan tanah dibebankan kepada pihak yang menempatinya (18), contoh lainnya ia mewaqafkan sebuah mesjid yang hanya dikhususkan untuk penganut Mazhab Syafii(19). Semua syarat ini dipatuhi selama belum datang kondisi darurat. Pada saat darurat, persyaratan si waqif boleh saja tidak dipenuhi misalnya pada contoh ia membuat persyaratan tidak boleh disewakan kepada satu pihak selama lebih dari setahun, bila pada tahun kedua tidak ada pihak lain yang ingin menyewanya maka dibolehkan untuk disewakan kepada pihak yang telah menyewanya pada tahun pertama.(20)
Contoh syarat yang bertentangan dengan syara` adalah si waqif membuat persyaratan bahwa orang yang menetap di tempat tersebut harus membujang maka syarat ini tidak diindahkan karena menentang dengan syara` karena syara` sendiri menganjurkan pernikahan dan mencela sifat bujang.(21)
E. Menjual harta waqaf
Larangan menjual harta waqaf tersebut dengan cukup jelas dalam hadis shahih:
Namun demikian larangan ini bukanlah berlaku mutlak, hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa contoh kasus yang disebutkan oleh para ulama yang membolehkan penjualan harta waqaf dalam kondisi dharurat antara lain:
1. Menurut pendapat yang kuat tikar atau kayu mesjid yang telah lusuh dan tak dapat dimanfaatkan lagi kecuali dengan membakarnya maka dibolehkan menjualnya, dengan pertimbangan mendapatkan keuntungan yang sedikit lebih baik dari pada menyia-nyiakannya. Hasil penjualan tersebut bila tidak mencukupi pembelian tikar lain maka dipergunakan pada kemaslahatan masjid. (22)
2. Kuda yang diwaqafkan untuk berperang, bila sudah tua tak mungkin di pakai untuk berperang maka dibolehkan dijual. (23)
Kebolehan menjual harta waqaf tersebut berlaku lebih ketat ketimbang hukum mengalih fungsikan harta waqaf. Dari beberapa contoh yang disebutkan oleh para ulama kebolehan menjual harta waqaf berlaku pada saat harta waqaf tersebut tidak dapat dimanfaatkan sama sekali seperti pada masalah tikar mesjid dan bahan bangunan lainnya, baru boleh dijual ketika tidak dapat dimanfaatkan kecuali hanya dengan dibakar. Jadi dapat disimpulkan menjual harta waqaf hanya dibolehkan pada saat alih fungsi tak dapat dilakukan.
Berdasarkan hal tersebut oleh sebagian ulama, khilafiyah diantara sebagian ulama yang mengatakan boleh menjual harta waqaf dan yang mengatakan tidak boleh menjualnya, di damaikan (di hamal) dengan menempatkan pendapat yang mengatakan boleh menjualnya pada masalah menjual bekas bahan bangunan waqaf sedangkan pendapat yang mengatakan tidak boleh menjualnya ditempatkan pada masalah menjual tanah waqaf karena masih memungkinkan dimanfaatkan dengan cara lain selain dari yang dimaksudkan oleh si waqif.(24)
wallahu a`lam bish shawab.
Referensi:
(1). Ibn Hajar al-Haytami, Syihab al-Din Ahmad, Tuhfah at-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj jilid 6 (Beirut, Dar Fikr, 2006) hlm 269
(2). Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri 'ala Syarh Ibn Qasim al-Ghiri 'ala Matn Abi Syuja', jilid 2 (Jeddah, Haramain) hlm 42
(3). Ibn Hajar al-Haytami Op. Cit hlm 269
(4). Ibn Hajar al-Haytami, Op. Cit hlm 270-294, Sayed Abi Bakri Syatha, Hasyiah I`anatuth Thalibin jilid 2 (Jeddah, Haramain) hlm 158-164, Syeikh Syarqawy, Hasyiah syarqawy `ala Syarah Tahrir (Jeddah, Haramain) jilid 2 hlm 173-177
(5). Imam An Nawawy, Raudhatuth Thalibin jilid 4 (Beirut, Dar Kutub Ilmiyah), hlm 398
(6). Zakaria Al Anshary, Syarah `ala Manhaj thulab jilid 3 (Beirut, Dar Kutub Ilmiyah) hlm 222
(7). Ini berlaku pada selain waqaf yang menyerupai tahrir. Adapun pada waqaf yang menyerupai tahrir (waqaf yang telah disepakati bahwa kemilikannya menjadi milik Allah seperti masjid, madrasah, maqbarah dll) maka sah waqaf bila dikaitkan dengan sesuatu (ta`liq). Lihat Tuhfatul Muhtaj dan Hasyiah Asy Syarwany jilid 6 hal 292, dan kitab Bughyatul Mustarsyidin Haramain l 169 cet.
(8). Ibn Hajar al-Haytami Op. Cit hlm 288-292, Zakaria Al Anshary Op. Cit hal 223, Imam An Nawawy Op. Cit hal 390-396.
(9). Imam Ramli, Nihayatul Muhtaj `ala Minhaj jilid 5 (Dar Kutub `Ilmiyah) hlm 388
(10). Imam Al Qalyuby, Hasyiah Qalyuby `ala Mahally jilid 3 hlm 109
(11). Imam Ramli, Op. Cit hlm 396
(12). Ibid
(13). Ibid
(14). Ibid
(15). Ibnu Hajar Al Haitamy, Op. Cit hlm 324
(16). Ibnu Hajar Al Haitamy, Op. Cit hlm 325, Sayed Abi Bakri Syatha Op. Cit hal 181, Imam Al Qalyuby Op. Cit hlm 109.
(17). Ibnu Hajar Al Haitamy, Op. Cit hlm 295
(18). Ibid hlm 293
(19). Ibid. hlm 294
(20). Ibid
(21). Ibid
(22).Imam Ramli, Op. Cit hlm 395, Ibnu Hajar Al Haitamy, Op. Cit hlm 323, Sayed Abi Bakri Syatha Op. Cit hlm 180
(23). Ibnu Hajar Al Haitamy, Op. Cit hlm 324
(24). Imam Ramli, Op. Cit hlm 395, Ibnu Hajar Al Haitamy, Op. Cit hal 323
0 komentar:
Posting Komentar
komentar anda?