Praktik Salaf Shaleh dalam Ziarah Makam Suci Nabi Muhammad saw. Bertolak Belakang dengan Fatwa Wahhâbiyah
Sepanjang sejarah umat Islam, tidak ada yang mempermasalahkan kemasyrû’iya-han menziarai makam suci Nabi saw. selain para penguasa tiran bani Umayyah yang kemudian dilestarikaan oleh Ibnu Taimiyah dan berabad-abad kemudian dijadikan oleh Ibnu Abdil Wahhâb sebagai doktrin dasar ajaran Sekte Wahhâbiyah yang ia dirikan.
Dalam klaim palsunya, seperti klaim dan penyimpangan lainnya, Wahhâbiyah selalu mengatas namakan para Salaf Shaleh dari kalangan sahabat, tabi’în dan generasi-generasi pertama Islam, sementara itu para Salaf Shaleh tidak pernah sejalan dengan klaim Wahhâbiyah. Praktik Salaf Shaleh selalu bertentangan dengan doktrin dan penyimpangan Wahhâbiyah.
Di bawah ini akan kami sebutkan beberapa cuplikan dokumen penting praktik para sahabat dalam menziarai makam suci baginda tercinta Rasulullah saw.
1) Pada suatu hari, Marwan bin Hakam menemukan seseorang sedang meletakkan wajahnya di atas kuburan (Nabi saw.), maka Marwan mengangkat pundak orang tersebut seraya menegurnya, “Tahukah engkau, apa yang sedang engkau perbuat?” Ia menjawab, “Ya.” Lalu ia menghadap kepadanya, ternyata ia adalah Abu Ayyub al Anshâri ra. (sahabat Nabi saw.), kemudian ia berkata, “Aku ke sini mendatangi Rasulullah saw. dan tidak sedang mendatangi batu. Aku mendengar Rasululah saw. bersabda: “Jangan engkau menangis atas agama apabila ia dipimpin oleh ahlinya, akan tetapi tangisilah agama apabila ia dipimpin oleh bukan ahlinya.” (HR. Hakim dalam al Mustadrak, 4/515.)
2) Sesungguhnya Fatimah ra. putri tercinta Nabi saw., datang ke makam ayahnya saw. lalu mengambil segenggam tanah makam itu dan meletakkannya di kedua kelopak matanya sambil menangis.
Kisah ziarah Fatimah ra. di atas telah diriwayatkan oleh para ulama di antara mereka:
1] Al Hafidz Ibnu ‘Asâkir dalam Tuhfah-nya.
2] Ibnu Jawzi dalam al Wafâ’-nya.
3] Ibnu Sayyidinnâs dalam as Sirah an Nabawiyah-nya, 2/340.
4] Al Qasthallani dalam al Mawahib al Ladduniyyah-nya.
5] Mulla Ali al Qâri dalam Syarah asy Syamâil-nya, 2/210.
6] Asy Syabrâwi dalam al Ithâf-nya:9.
7] As Samhûdi dalam Wafâ’u al Wafâ’, 2/444.
8] “Al Hamzâwi dalam Masyâriq al Anwâr: 63.
9] Sayyid Zaini Dahlân dalam as Sirah an Nabawiyah,3/391.
10] Ibnu Hajar al Haitami dalam al Fatâwa al Fiqhiyah,2/18.
11) Dll.
3) Ada seorang Arab dusun datang ke makam Nabi saw. dan menabur tanah kuburan itu ke atas kelapanya, seraya berbicara kepada Nabi saw., ia berkata,
“… dan di antara yang diturunkan atasmu, ‘Andai ketika telah berbuat zalim, mereka datang menjumpaimu dan meminta kepadamu agar memohonkan ampunan kepada Allah untuk mereka, pastilah mereka mendapati Allah Zat Yang Maha menerima taubat dan Maha Rahmat.’ Wahai Rasulullah aku telah berbuat zalim terhadap diriku sendiri, aku datang menghadapmu agar engkau memintakaan ampunan untukku.” Maka terdengar suara dari dalam makam suci Nabi saw., ‘Engku telah diampuni.’ Peristiwa itu terjadi di hadapan sayyidina Ali ra. (Wafâ’ al Wafâ’,2/1361)
4) Pada suatu hari Bilal ra. mendatangi kuburan Nabi saw., ia menangis di sampingnya, dan menggoser-nggoserkan wajahnya di atas kuburan beliau, lalu datanglah sayyidina Hasan dan sayyidina Husain, maka Bilal merangkul dan menciumi keduanya. (Usdul Ghâbah,1/208.)
5) Telah diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Mulaikah bahwa pada suatu hari Ummul Mukminin Aisyah ra. pulang dari pekuburan, lalu aku berkata kepdanya, “Wahai Ummul Mukminin, dari mana Anda datang?” Ia berkata, “dari kuburaan Abdurrahman, saudaraku.” Aku berkata lagi, “Bukankah Nabi swa. telah melarang menziarahi kuburan?!” ia berkata, “Benar, dahulu Nabi saw. melarang menziarahi kuburan, tetapi kemudian beliau memerintahkannya.” (HR. Baihaqi dalam Sunan,4/131, bab ke 17 hadis:7207.)
Dari uraian ringkas di atas dapat dimengerti bahwa dalam pandangan Al Qur’an, Sunnah Nabi saw. dan praktik para Salaf Shaleh; Sahabat dan tabi’în, telah tetap disyari’atkannya menzirahi kuburan secara umum, apalagi makam suci Rasulullah saw.
Adab Di Hadapan Makam Suci Nabi saw.
Kaum Muslimin di sepanjang zaman selalu memperhaatikan adab-adab islamiyh ketika mereka berada di dekat makam suci Rasulullah saw., sebagai bukti kecintaan dan penghormatan mereka kepada Rasulullah tercinta saw. Di antara adab mulia itu adalaah apa yang ditunjukkan oleh Imam Malik (rh). Seperti diriwayatkan as Samhudi dalam kitab Wafâ’ al Wafâ’.
Khalifah al Manshur al Abbasi bertanya kepada Imam Malik tentang cara berziarah ke makam Rasulullah saw. dan bertawassul, ia berkata kepada Imam Malik, “Wahai Abu Abdillah, bagaimana sikapku, apakah sebaiknya aku menghadap ke arah kiblat seraya berdoa atau mengahadap ke Rasulullah sw.? Maka Imam Malik berkataa, “Mengapakah engkau memalingkan wajahmu dari beliau, padahal beliau adalah wasilah-mu dan wasilah ayahmu Adam hingga hari kiamat?! Menghadaplah kepada beliau dan mohonlah syafa’at dari beliau, pasti Allah akan mengabulkannya. Allah berfirman:
Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.( QS. An Nisâ’[4];64)[1]
Bertawassul di Sisi Makam Suci Nabi saw.
Di antara amal perbuatan yang diridhai Allah SWT adalah bertawassul, meminta kepada Nabi saw. agar beliau berkenan memohonkan ampunan, maghfirah kepada Allah SWT untuk kita.Secara umum, praaktik mmeminta kepada seseorang; nabi atau wali atau orang shaleh agar ia memohonkan maghfirah kepada Allah untuk kita adalah praktik Islami dan diridhai Allah SWT dan telah dipraktikkan oleh kaum shalihin. Al Qur’an pun membenarkan praktik seperti itu.Coba perhatikan praktik putra-putra Nabi Ya’qub as. yang meminta agar ayah mereka memohonkan maghfirah kepada Allah untuk mereka, seperti yang dikisahkan dalam surah Yusuf ayat 97-98.
Allah SWT berfirman:
Mereka berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa- dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang- orang yang bersalah ( berdosa ).”
Dalam ayat di atas, kita saksikan bagaimana putra-putra Nabi Ya’qub as. telah meminta agar ayah mereka memohonkan ampunan kepada Allah untuk mereka. Hal itu dikarenakan ayah mereka adalah seorang hamba shaleh yang tentunya lebih dekat kedudukannyaa di sisi Allah.
Di sini, Ya’qub pun tidak menyalahkan putra-putranya atau mengatakan kepada mereka misalnya, ‘Mengapakah anda bertawassul denganku dalam memohon ampunan Allah, mintalah secara langusng tanpa perantaraan siapapun, sebab yang demikian itu dapat menjerumuskan kalian kepada kemusyrikan, mempertuhankan selain Allah SWT.! Bukankaah Allah itu Maha Dekat! Agama Allah tidak mengenal perantara dalam beribadah.’ atau semisalnya.
Di sini Ya’qub as. justru mendukung praktik putra-putra beliau, seperti yang diabadikan Allah dalam firman-Nya:
Yakub berkata: “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia- lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Nah, sekarang kenyataannya bahwa ketika kaum Muslim pecinta Nabi saw. berziarah ke makam suci Nabi saw., mereke tidak lepas dari meminta kepada beliau agar berkenan memintakan ampunan kepada Allah SWT. Dan inilah yang ditolak oleh kaum Wahhâbiyah dengan anggapan bahwa praaktik seperti itu mengandung kemusyrikan. Sebab, alasannya, Nabi kan sudah mati. Orang yang telah mati tidak dapat dimintai apa-apa! Justru ia butuh do’a dari yang masih hidup!
Di sini, mari kita telaah masalah ini dari sudut pandang Qur’ani. Perhatikan ayat di bawah ini. Allah berfirman:
Keterangan:
Melalui ayat ini, Allah SWT memerintakan para pendosa agar hadir menghadap Rasulullah saw. dan meminta dari beliau agar memohonkan ampunan kepada Allah untuk mereka, sebab do’a/permohonan Nabi saw. mustajâb/akan diperkenankan.
Ayat di atas tidak terbatas padaa masa hidup Nabi saw… ia memuat hukum/ketetapan umum dan mencakup seluruh masa. Baik di masa hidup beliau maupun setelah wafat beliau saw.! Sebab Al Qur’an sendiri telah menegaskan bahwa para Nabi dan para wali itu senantiasa hidup di alam barzakh, mereka mendengar dan menyaksikan apa yang terjadi di alam kasad mata kita ini. Selain itu, banyak hadis yang menerangkan bahwa para malaikat akan menyampaikan salam yang diucapkan para pecinta Nabi saw. kepada beliau dan beliau pun akan membalas salam tersebut!
Bukti Atas Hal Itu
Sejauh ini, kita selalu mendengar kaum Salafy/Wahhabi membanggakaan bahwa Manhaj Salafi ditegakkan di atas asas Al Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para Sahabat
Kini mari kita perhatikan bagaimana para sahabat memahami ayat di atas.
Abu Sa’id as Sam’âni meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Sayyidina Ali –karramallahu wajhahu wa radhiyaallaahu ‘anhu-: Tiga hari setelah Rasulullah saw. dikebumikan, datanglah seorang Arab dusun, oraang itu langsung melempaekan dirinyaa ke atas makam suci dan menaburkan tanah ke atas kepalanya seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku mendengar engkau berucap dan aku fahami dari Allah apa yang kami fahami darimu, dan diantara yang Allah turunkan kepadamu:
“Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”( QS. An Nisâ’ [4];64)
Aku telah menzalimi diriku, dan aku datang menemuimu agar engkau memohonkan maghfirah kepada Tuhanku untukku.”[2]
Di sini, kita dapat saksikan dengan jelas bagaimana si sahabat dari dusun itu memahami keumuman pemberlakuan ayat di atas, ditambah lagi sikap membenarkan Sayyidina Ali ra. Tidakkah hal ini cukup sebagai bukti kebenaran praktik kaum Muslim dalam berziarah dan bertawassul kepada Nabi Muhammad saw.?!
Ziarah Makam Suci Nabi saw. Dalam Hadis
Tidak sedikit hadis shahih telah diriwayatkan para muhaddis kita yang menganjurkan umat Islam agar berziarah ke pusara suci Rasulullah saw. Di bawah ini kami akan mencoba menyajikan beberapa darinya:
1) Nabi saw. bersabda: ”Barang siapa menziarai kuburku maka tetap baginya syafa’atku.”[3] 2) Nabi saw. bersabda: “Barang siapa menunaikan ibadah haji lelu tidak menziarahiku maka ia benar-benar telah bersikap tidak akrab denganku.”[4]
3) Nabi saw. bersabda: “Barang siapa menziarahiku dan tidak mendorongnya selain berziarah kepadaku maka aku akan menjadi peemberi syafa’at baginya kelak di hari kiamat.”[5]
_______________________________
[1] Wafâ’ al Wafâ’,2/376.
[2] Al Jawhar al Munadzdzam; Ibnu Hajar dan disebutkan dalam Wafâ’ al Wafâ’,2/612 dan ad Durar as Saniyyah; Zaini Dahlân:21.
[3] Hadis ini telah dirwayatkan oleh Ad Dârulquthni dalam Sunan-nya dari sahabat Ibnu Umar ra.,Al Baihaqi dan Ibnu ‘Asâkir dalam Târîkh-nya. Hadis ini telah dikutib dalam kitab al Fiqhu ‘Alâ al Madzâhib al Arba’ah,1/59, dan atas dasar hadis ini para ulama empat mazhab berfatwa. (Baca Wafâ’ al Wafâ’).
[4] Wafâ’ al Wafâ’,4/1342.
[5] Untuk mengetahui lebih lanjut sanad hadis ini baca Syifâ’ as Siqâm; Taqiyuddin as Subki:3-11 dan Wafâ’ al Wafâ’,4/1340.
Sepanjang sejarah umat Islam, tidak ada yang mempermasalahkan kemasyrû’iya-han menziarai makam suci Nabi saw. selain para penguasa tiran bani Umayyah yang kemudian dilestarikaan oleh Ibnu Taimiyah dan berabad-abad kemudian dijadikan oleh Ibnu Abdil Wahhâb sebagai doktrin dasar ajaran Sekte Wahhâbiyah yang ia dirikan.
Dalam klaim palsunya, seperti klaim dan penyimpangan lainnya, Wahhâbiyah selalu mengatas namakan para Salaf Shaleh dari kalangan sahabat, tabi’în dan generasi-generasi pertama Islam, sementara itu para Salaf Shaleh tidak pernah sejalan dengan klaim Wahhâbiyah. Praktik Salaf Shaleh selalu bertentangan dengan doktrin dan penyimpangan Wahhâbiyah.
Di bawah ini akan kami sebutkan beberapa cuplikan dokumen penting praktik para sahabat dalam menziarai makam suci baginda tercinta Rasulullah saw.
1) Pada suatu hari, Marwan bin Hakam menemukan seseorang sedang meletakkan wajahnya di atas kuburan (Nabi saw.), maka Marwan mengangkat pundak orang tersebut seraya menegurnya, “Tahukah engkau, apa yang sedang engkau perbuat?” Ia menjawab, “Ya.” Lalu ia menghadap kepadanya, ternyata ia adalah Abu Ayyub al Anshâri ra. (sahabat Nabi saw.), kemudian ia berkata, “Aku ke sini mendatangi Rasulullah saw. dan tidak sedang mendatangi batu. Aku mendengar Rasululah saw. bersabda: “Jangan engkau menangis atas agama apabila ia dipimpin oleh ahlinya, akan tetapi tangisilah agama apabila ia dipimpin oleh bukan ahlinya.” (HR. Hakim dalam al Mustadrak, 4/515.)
2) Sesungguhnya Fatimah ra. putri tercinta Nabi saw., datang ke makam ayahnya saw. lalu mengambil segenggam tanah makam itu dan meletakkannya di kedua kelopak matanya sambil menangis.
Kisah ziarah Fatimah ra. di atas telah diriwayatkan oleh para ulama di antara mereka:
1] Al Hafidz Ibnu ‘Asâkir dalam Tuhfah-nya.
2] Ibnu Jawzi dalam al Wafâ’-nya.
3] Ibnu Sayyidinnâs dalam as Sirah an Nabawiyah-nya, 2/340.
4] Al Qasthallani dalam al Mawahib al Ladduniyyah-nya.
5] Mulla Ali al Qâri dalam Syarah asy Syamâil-nya, 2/210.
6] Asy Syabrâwi dalam al Ithâf-nya:9.
7] As Samhûdi dalam Wafâ’u al Wafâ’, 2/444.
8] “Al Hamzâwi dalam Masyâriq al Anwâr: 63.
9] Sayyid Zaini Dahlân dalam as Sirah an Nabawiyah,3/391.
10] Ibnu Hajar al Haitami dalam al Fatâwa al Fiqhiyah,2/18.
11) Dll.
3) Ada seorang Arab dusun datang ke makam Nabi saw. dan menabur tanah kuburan itu ke atas kelapanya, seraya berbicara kepada Nabi saw., ia berkata,
“… dan di antara yang diturunkan atasmu, ‘Andai ketika telah berbuat zalim, mereka datang menjumpaimu dan meminta kepadamu agar memohonkan ampunan kepada Allah untuk mereka, pastilah mereka mendapati Allah Zat Yang Maha menerima taubat dan Maha Rahmat.’ Wahai Rasulullah aku telah berbuat zalim terhadap diriku sendiri, aku datang menghadapmu agar engkau memintakaan ampunan untukku.” Maka terdengar suara dari dalam makam suci Nabi saw., ‘Engku telah diampuni.’ Peristiwa itu terjadi di hadapan sayyidina Ali ra. (Wafâ’ al Wafâ’,2/1361)
4) Pada suatu hari Bilal ra. mendatangi kuburan Nabi saw., ia menangis di sampingnya, dan menggoser-nggoserkan wajahnya di atas kuburan beliau, lalu datanglah sayyidina Hasan dan sayyidina Husain, maka Bilal merangkul dan menciumi keduanya. (Usdul Ghâbah,1/208.)
5) Telah diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Mulaikah bahwa pada suatu hari Ummul Mukminin Aisyah ra. pulang dari pekuburan, lalu aku berkata kepdanya, “Wahai Ummul Mukminin, dari mana Anda datang?” Ia berkata, “dari kuburaan Abdurrahman, saudaraku.” Aku berkata lagi, “Bukankah Nabi swa. telah melarang menziarahi kuburan?!” ia berkata, “Benar, dahulu Nabi saw. melarang menziarahi kuburan, tetapi kemudian beliau memerintahkannya.” (HR. Baihaqi dalam Sunan,4/131, bab ke 17 hadis:7207.)
Dari uraian ringkas di atas dapat dimengerti bahwa dalam pandangan Al Qur’an, Sunnah Nabi saw. dan praktik para Salaf Shaleh; Sahabat dan tabi’în, telah tetap disyari’atkannya menzirahi kuburan secara umum, apalagi makam suci Rasulullah saw.
Adab Di Hadapan Makam Suci Nabi saw.
Kaum Muslimin di sepanjang zaman selalu memperhaatikan adab-adab islamiyh ketika mereka berada di dekat makam suci Rasulullah saw., sebagai bukti kecintaan dan penghormatan mereka kepada Rasulullah tercinta saw. Di antara adab mulia itu adalaah apa yang ditunjukkan oleh Imam Malik (rh). Seperti diriwayatkan as Samhudi dalam kitab Wafâ’ al Wafâ’.
Khalifah al Manshur al Abbasi bertanya kepada Imam Malik tentang cara berziarah ke makam Rasulullah saw. dan bertawassul, ia berkata kepada Imam Malik, “Wahai Abu Abdillah, bagaimana sikapku, apakah sebaiknya aku menghadap ke arah kiblat seraya berdoa atau mengahadap ke Rasulullah sw.? Maka Imam Malik berkataa, “Mengapakah engkau memalingkan wajahmu dari beliau, padahal beliau adalah wasilah-mu dan wasilah ayahmu Adam hingga hari kiamat?! Menghadaplah kepada beliau dan mohonlah syafa’at dari beliau, pasti Allah akan mengabulkannya. Allah berfirman:
َ لَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جاؤُكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَ اسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّاباً رَحيماً
Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.( QS. An Nisâ’[4];64)[1]
Bertawassul di Sisi Makam Suci Nabi saw.
Di antara amal perbuatan yang diridhai Allah SWT adalah bertawassul, meminta kepada Nabi saw. agar beliau berkenan memohonkan ampunan, maghfirah kepada Allah SWT untuk kita.Secara umum, praaktik mmeminta kepada seseorang; nabi atau wali atau orang shaleh agar ia memohonkan maghfirah kepada Allah untuk kita adalah praktik Islami dan diridhai Allah SWT dan telah dipraktikkan oleh kaum shalihin. Al Qur’an pun membenarkan praktik seperti itu.Coba perhatikan praktik putra-putra Nabi Ya’qub as. yang meminta agar ayah mereka memohonkan maghfirah kepada Allah untuk mereka, seperti yang dikisahkan dalam surah Yusuf ayat 97-98.
Allah SWT berfirman:
قالُوا يا أَبانَا اسْتَغْفِرْ لَنا ذُنُوبَنا إِنَّا كُنَّا خاطِئينَ
Mereka berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa- dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang- orang yang bersalah ( berdosa ).”
Dalam ayat di atas, kita saksikan bagaimana putra-putra Nabi Ya’qub as. telah meminta agar ayah mereka memohonkan ampunan kepada Allah untuk mereka. Hal itu dikarenakan ayah mereka adalah seorang hamba shaleh yang tentunya lebih dekat kedudukannyaa di sisi Allah.
Di sini, Ya’qub pun tidak menyalahkan putra-putranya atau mengatakan kepada mereka misalnya, ‘Mengapakah anda bertawassul denganku dalam memohon ampunan Allah, mintalah secara langusng tanpa perantaraan siapapun, sebab yang demikian itu dapat menjerumuskan kalian kepada kemusyrikan, mempertuhankan selain Allah SWT.! Bukankaah Allah itu Maha Dekat! Agama Allah tidak mengenal perantara dalam beribadah.’ atau semisalnya.
Di sini Ya’qub as. justru mendukung praktik putra-putra beliau, seperti yang diabadikan Allah dalam firman-Nya:
قالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّي إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحيمُ
Yakub berkata: “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia- lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Nah, sekarang kenyataannya bahwa ketika kaum Muslim pecinta Nabi saw. berziarah ke makam suci Nabi saw., mereke tidak lepas dari meminta kepada beliau agar berkenan memintakan ampunan kepada Allah SWT. Dan inilah yang ditolak oleh kaum Wahhâbiyah dengan anggapan bahwa praaktik seperti itu mengandung kemusyrikan. Sebab, alasannya, Nabi kan sudah mati. Orang yang telah mati tidak dapat dimintai apa-apa! Justru ia butuh do’a dari yang masih hidup!
Di sini, mari kita telaah masalah ini dari sudut pandang Qur’ani. Perhatikan ayat di bawah ini. Allah berfirman:
وَ لَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جاؤُكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَ اسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّاباً رَحيماً
.
“Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” ( QS. An Nisâ’ [4];64).
Keterangan:
Melalui ayat ini, Allah SWT memerintakan para pendosa agar hadir menghadap Rasulullah saw. dan meminta dari beliau agar memohonkan ampunan kepada Allah untuk mereka, sebab do’a/permohonan Nabi saw. mustajâb/akan diperkenankan.
Ayat di atas tidak terbatas padaa masa hidup Nabi saw… ia memuat hukum/ketetapan umum dan mencakup seluruh masa. Baik di masa hidup beliau maupun setelah wafat beliau saw.! Sebab Al Qur’an sendiri telah menegaskan bahwa para Nabi dan para wali itu senantiasa hidup di alam barzakh, mereka mendengar dan menyaksikan apa yang terjadi di alam kasad mata kita ini. Selain itu, banyak hadis yang menerangkan bahwa para malaikat akan menyampaikan salam yang diucapkan para pecinta Nabi saw. kepada beliau dan beliau pun akan membalas salam tersebut!
Bukti Atas Hal Itu
Sejauh ini, kita selalu mendengar kaum Salafy/Wahhabi membanggakaan bahwa Manhaj Salafi ditegakkan di atas asas Al Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para Sahabat
Kini mari kita perhatikan bagaimana para sahabat memahami ayat di atas.
Abu Sa’id as Sam’âni meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Sayyidina Ali –karramallahu wajhahu wa radhiyaallaahu ‘anhu-: Tiga hari setelah Rasulullah saw. dikebumikan, datanglah seorang Arab dusun, oraang itu langsung melempaekan dirinyaa ke atas makam suci dan menaburkan tanah ke atas kepalanya seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku mendengar engkau berucap dan aku fahami dari Allah apa yang kami fahami darimu, dan diantara yang Allah turunkan kepadamu:
وَ لَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جاؤُكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَ اسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّاباً رَحيماً.
“Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”( QS. An Nisâ’ [4];64)
Aku telah menzalimi diriku, dan aku datang menemuimu agar engkau memohonkan maghfirah kepada Tuhanku untukku.”[2]
Di sini, kita dapat saksikan dengan jelas bagaimana si sahabat dari dusun itu memahami keumuman pemberlakuan ayat di atas, ditambah lagi sikap membenarkan Sayyidina Ali ra. Tidakkah hal ini cukup sebagai bukti kebenaran praktik kaum Muslim dalam berziarah dan bertawassul kepada Nabi Muhammad saw.?!
Ziarah Makam Suci Nabi saw. Dalam Hadis
Tidak sedikit hadis shahih telah diriwayatkan para muhaddis kita yang menganjurkan umat Islam agar berziarah ke pusara suci Rasulullah saw. Di bawah ini kami akan mencoba menyajikan beberapa darinya:
1) Nabi saw. bersabda: ”Barang siapa menziarai kuburku maka tetap baginya syafa’atku.”[3] 2) Nabi saw. bersabda: “Barang siapa menunaikan ibadah haji lelu tidak menziarahiku maka ia benar-benar telah bersikap tidak akrab denganku.”[4]
3) Nabi saw. bersabda: “Barang siapa menziarahiku dan tidak mendorongnya selain berziarah kepadaku maka aku akan menjadi peemberi syafa’at baginya kelak di hari kiamat.”[5]
_______________________________
[1] Wafâ’ al Wafâ’,2/376.
[2] Al Jawhar al Munadzdzam; Ibnu Hajar dan disebutkan dalam Wafâ’ al Wafâ’,2/612 dan ad Durar as Saniyyah; Zaini Dahlân:21.
[3] Hadis ini telah dirwayatkan oleh Ad Dârulquthni dalam Sunan-nya dari sahabat Ibnu Umar ra.,Al Baihaqi dan Ibnu ‘Asâkir dalam Târîkh-nya. Hadis ini telah dikutib dalam kitab al Fiqhu ‘Alâ al Madzâhib al Arba’ah,1/59, dan atas dasar hadis ini para ulama empat mazhab berfatwa. (Baca Wafâ’ al Wafâ’).
[4] Wafâ’ al Wafâ’,4/1342.
[5] Untuk mengetahui lebih lanjut sanad hadis ini baca Syifâ’ as Siqâm; Taqiyuddin as Subki:3-11 dan Wafâ’ al Wafâ’,4/1340.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar anda?