Sabtu, 23 April 2011

Sejarah Wahhabiyah (3)

Pilar Pemkiran Aliran Wahhabyiah

Kaum Wahhabi membagi akidah menjadi dua bagian:

Pertama, yang datang dalam Alqur’an dan atau Sunnah. Mereka mengklaim bahwa bagian ini mereka ambil dari dasar Alqur’an dan Sunnah tanpa berujuk kepada ijtihad para mujtahidin dalam memahami maknanya, baik dari kalangan Sahabat, Tabi’in atau para imam mujtahidin lainnya.

Kedua, apa-apa yang tidak ada nash yang datang tentangnya. Di sini mereka mengklaim mengambilnya dari pemahaman Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah.


Akan tetapi dalam kedua perkara ini mereka mengalami kegagalan, mereka terjatuh dalam kontradiksi dan akhirnya menerjang hal-hal yang terlarang. Sebagai contoh:

1) Mereka sangat Letaralis.

Mereka beku dan terpaku atas makna-makna yang mereka fahami dari zahir sebagian nash, karenanya mereka menyalahi dasar-dasar, ushûl dan ijma’. Dari sini Syeikh Muhammad Abduh menyifati mereka dengan, “Sangat sempit kesabaran dan kreatifitasnya, sesak dadanya dibanding kaum muqallid, mereka berpandangan wajib hukumnya mengambil makna lahiriyah yang difahami dari teks yang datang dan mengikat diri dengannya tanpa memperhatikan apa yang ditetapkan oleh dasar-dasar yang atasnya agama ini ditegakkan.”

2) Mereka menyalahi Imam Ahmad.

Pada kenyataannya, mereka telah nyata-nyata menyalahi Imam Ahmad dalam hal pengkafiran sesiapa yang menyalahi mereka, sementara itu mereka tidak menemukan pada fatwa-fatwa Imam Ahmad yang dapat dijadikan dasar untuk keyakinan mereka tersebut. Bahkan sebaliknya, prilaku hidup dan fatwa-fatwa Imam Ahmad bertolak belakang dengan mereka. Beliau tidak mengafirkan ahli Kiblat (kaum Muslim) karena sebab dosa, baik dosa besar atau kecil kecuali sengaja meninggalkan shalat. Selain itu mereka juga tidak menemukan pada Ibnu Taimiyah sesuatu yang dapat menjadi bukti kebenaran akidah mereka (tentang pengafiran), bahkan yang datang dari Ibnu Taimiyah adalah bertolak belakang dengannya.

Ibnu Taimiyah berkata:

إنَّ مَنْ وَالىَ مُوافِقِيْهِ وَعادَى مُخَالفيه، وفرق جماعه المسلمين، وكفر وفسق مخالفيه فى مسائل الاراء والاجتهادات، واستحل قتالهم، فهو من اهل التفرق والاختلاف.

“Sesiapa yang mencintai teman-teman satu pendapat, memusuhi yang menyalahinya, memecah belah jama’ah kaum Muslim, mengafirkan dan menuduh fasik mereka yang menyelisihinya dalam masalah-masalah pandangan dan rana ijithad serta menghalalkan memerangi mereka maka ia tergolong ahli tafarruq dan ikhitlâf (pemecah belah umat dan pengobar perselisihan).”

Dengan demikian kaum Wahhabi –sesuai fatwa Ibnu Taimiyah- adalah kaum pemecah belah umat dan pengobar perselisihan!

3) Akidah Wahhâbiyah dalam masalah hukum menziarai makam-makam (kuburan).

Akidah Wahhâbiyah dalam masalah hukum menziarai makam-makam (kuburan). meniscayakan harus dikafirkan dan dimusyrikkannya Imam Ahmad ibn Hanbal dan sesiapa yang menyetujui pendapatnya! Dan darah-darah mereka adalah halal untuk dicucurkan dan harta-harta mereka adalah halal untuk dirampas!

Ibnu Taimiyah telah menukil bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal telah menulis satu juz tentang ziarah makam Imam Husain as. Di Karbala’, apa yang harus dilakukan oleh peziarah. Ibnu Taimiyah berkata:



ان الناس فى زمن الامام احمد كانوا ينتابونه، اى يقصدون زيارته.

“Sesungguhnya manusia di zaman Imam Ahmad senantiasa mendatangi makam Husain.”

Sementara dalam akidah kaum Wahhâbiyah mengadakan perjalanan ke makam-makam dengan tujuan menziarainya adalah syirik yang karenanya pelakunya berhak dihalalkan darah dan hartanya!

Maka dengan dasar akidah tersebut, Imam Ahmad dan kaum Muslimin yang hidup sezaman atau sebelum dan sesudahnya yang berpendapat bahwa praktik tersebut adalah mustahab adalah halal darah dan harta mereka!

Bahkan dapat disimpulkan dari keyakinan mereka bahwa seluruh umat Islam itu kafir dan musyrik!! Dan tidak terkecuali para sahabat Nabi saw. juga.

Lalu atas dasar apa kaum Wahhâbiyah itu mengaku sebagai pengikut dan pewaris mazhab Imam Ahmad ibn Hanbal?!

4) Hal yang sama juga berlaku pada keyakinan Wahhâbiyah tentang memohon syafa’at dari Nabi saw.

Dalam pandangan Wahhâbiyah, memohon syafa’at dari Nabi saw. Setelah wafat beliau adalah syirik. Dan sesiapa yang mengatakan; “Wahai Rasulullah berilah aku syafa’atmu!” maka ia telah syirik akbar, terbesar, karena –dalam anggapan Wahhâbiyah- orang tersebut telah menjadikan Nabi saw. Sebagai arca yang disembah selain Allah. Karenanya ia kafir dam musyrik, darah dan hartanya halal!

Padahal telah tetap dalam hadis shahih bahwa banyak dari sahabat dan tabi’în yang melakukannya. Ibnu Taimiyah pun telah menshahihkannya dari banyak jalur periwayatan. Ia meriwayatkannya dari al Baihaqi, ath Thabarâni, Ibnu Abi ad Dunya, Ahmad ibn Hanbal dan Ibnu as Sunni. Kendati kemudian ia tetap bersikeras meyakini pendapatnya dan menyelisihi hadis shahih. Namun demikian Ibnu Taimiyah tidak menganggapnya sebagai syirik, seperti yang diyakini kaum Wahhâbiyah!! Lebih lanjut baca az Ziyârah; Ibnu Taimyah:7/101-106)

Maka atas dasar akidah kaum Wahhâbiyah itu, para sahabat dan tabi’în adalah telah kafir dan menyekutukan Allah dan tentunya wajib dibunuh!!

Dan tidak hanya mereka yang dihukumi kafir oleh kaum Wahhâbiyah, akan tetapi, orang-orang lain pun yang telah sampai kepada mereka praktik para sahabat dan tabi’în tersebut dalam memohon syafa’at dari Nabi saw. Kemudian tidak mengingkarinya dan tidak mengafirkan mereka, maka ia juga kafir!!! Darah dan hartanya halal!

Dengan demikian, siapa yang akan selamat dari vonis kafir oleh kaum Wahhâbiyah!! Lalu siapakah sebenarnya Salaf panutan mereka itu, jika para sahabat dan tabi’în (yang merupakan generasi keemasan) telah mereka kafirkan?!



Share/Bookmark

Artikel yang berkaitan



0 komentar:

Posting Komentar

komentar anda?