Kamis, 06 Januari 2011

Tawassul – Hadhratusy Syaikh

Ikhwah, jika di tanah seberang terutama di Pulau Jawa dan khasnya bagi warga Nahdhiyyin jika disebut Hadhratusy Syaikh maka orang yang dimaksudkan ialah Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy`ari rhm. Beliau adalah pendiri Pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Hadhratusy Syaikh dilahirkan di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, pada 10 April 1875 dari keturunan ulama yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiyai Asy`ari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiyai Hasyim Asy`ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir). Nendanya, Kiyai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan moyangnya, Kiyai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.
Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan nendanya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kiyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.Pada tahun 1892, Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy`ari menunaikan ibadah haji dan tinggal di sana untuk menimba ilmu di Makkah. Di sana ia berguru dengan ramai ulama terkemuka antaranya Habib ‘Alwi bin ‘Abbas al-Maliki, Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Mahfudz at-Tarmisi dan ramai lagi.
Setelah menahun di Tanah Suci, beliau kembali ke Indonesia dan dalam perjalanan pulangnya beliau singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Beliau menjejak kaki semula di bumi Indonesia pada tahun 1899. Hadhratusy Syaikh mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900. Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf rumi, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Hadhratusy Syaikh, setelah mendapat perkenan gurunya Kiyai Kholil Bangkalan, mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti “Kebangkitan Ulama“. Organisasi ini pun berkembang dan ramai anggotanya. Pengaruh Hadhratusy Syaikh pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan beliau. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi perkembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, beliau tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan sudi bekerjasama, tetapi ditolaknya. Beliau juga tokoh yang besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Atas jasa-jasanya itu, beliau telah dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Ulama besar ini menghembuskan nafas terakhirnya pada 25 Julai 1947 dan disemadikan di di Tebuireng.
Hadhratusy Syaikh mempunyai beberapa karangan yang ditulisnya dalam Bahasa ‘Arab, antaranya ialah “an-Nurul Mubin fi Mahabbati Sayyidil Mursalin“. Dalam karangannya tersebut Hadhratusy Syaikh memperkatakan antara lain masalah tawassul dan istighatsah kepada Junjungan Nabi s.a.w. dan para shalihin. Antara kesimpulan yang ditulis beliau mengenainya adalah seperti berikut:-
….Demikian pula memohon melalui Nabi SAW, wali dan hamba yang shalih bukanlah meminta kepada mereka, tetapi meminta kepada Allah semata melalui mereka. Tawassul, meminta syafaat dan beristighosah melalui mereka tidaklah mempunyai pengertian lain dalam hati kaum muslimin kecuali sebagaimana yang disebutkan di atas. Dan tak seorang pun di antara mereka yang menghadapkan dirinya selain kepada Allah semata. Barangsiapa yang dadanya tidak dilapangkan untuk masalah ini, hendaklah ia menangisi dirinya sendiri. Kami meminta kepada Allah ampunan dan kesehatan.
Dalam hadis tentang syafaat akan diutarakan permintaan perlindungan manusia kepada para Nabi pada hari kiamat. Dalam hadis tersebut terdapat dalil yang sangat jelas mengenai sikap bertawassul kepada mereka, bahwa setiap orang yang berbuat dosa dapat bertawassul kepada Allah melalui orang yang lebih dekat kepada Allah daripada dia. Ini tidak dipungkiri oleh siapapun.
Tidak ada bedanya antara hal tersebut disebut dengan meminta syafaat, tawassul ataupun istighosah. Hal ini bukanlah termasuk perbuatan seperti yang dilakukan oleh orang-orang musyrik yang mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembah selainNya, sebab hal ini memang kufur. Kaum muslimin, apabila bertawassul dengan Nabi SAW atau yang lainnya seperti para nabi, wali dan orang-orang shalih, tidaklah menyembah mereka, dan hal itu tidak membuat mereka keluar dari sikap tauhid mereka kepada Allah ta`ala. Hanya Dia sajalah yang memberikan kemanfaatan dan kemudaratan…. (petikan “an-Nurul Mubin” terjemahan Ustaz Khoiron Nahdliyyin dan Ustaz Ahmad Adib al-Arif).
Mudah-mudahan keredhaan dan rahmat Allah sentiasa dicurahkan kepada Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy`ari serta para ulama umat ini sekaliannya. Allahumma aamiin …….al-Fatihah.
sumber:Sumber:salafytobat.wordpress.com/mursyid-tharekat/

Share/Bookmark

Artikel yang berkaitan



0 komentar:

Posting Komentar

komentar anda?