Senin, 12 Oktober 2009

AL-FIRQAH AL-HASANAH

AL-FIRQAH AL-HASANAH
Pembahasan tentang Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah

Oleh: Teungku H. Muhammad Daud Zamzami

ABSTRAK
Akidah adalah inti dari keislaman, menjadi asas bangunan Islam dan mewarnai perilaku setiap muslim. Oleh karena itu, kelurusan akidah generasi muda Islam harus tetap terpelihara, kalau kita tidak ingin Islam lenyap dari tanah Serambi Mekkah ini. Tulisan ini merupakan salah satu upaya bagi kesinambungan identitas keislaman di Aceh, memberikan tuntunan dalam menyikapi berbagai distorsi atas pemahaman akidah. Seringkali seorang muslim bingung di tengah banyaknya paham dan pertentangan dalam akidah Islam. Sebenarnya perselisihan dan pertentangan adalah sesuatu yang lumrah di dunia ini, di mana kejahatan selalu berseteru melawan kebajikan, kebenaran akan selalu diperangi oleh kesesatan walau kesesatan tidak pernah menang. Dalam kondisi ini, yang diperlukan oleh seorang muslim adalah kemampuan dan kejelian dalam menilai setiap aliran pemikiran yang dihadapinya. Sesungguhnya Islam lebih beruntung dibanding dengan agama lain, karena Rasulullah SAW telah memberikan peringatan dini tentang hal ini. Dan yang terpenting dari apa yang diwariskan Rasulullah adalah, digariskannya standar kebenaran dalam akidah, yaitu Ahlussunnah Wal Jamaah. Melalui tulisan ini, dapat ditelusuri kriteria-kriteria akidah yang benar, sekaligus perbandingannya dengan akidah-akidah yang menyimpang.


PENGANTAR

Sekalian puji bagi Allah, yang telah memberikan bukti terhadap wajib Ada-Nya dan Esa-Nya serta kebesaran-Nya, bahwa semua yang mawjûd, baik bumi, langit serta semua isi keduanya membutuhkan-Nya, Allah itu tunggal tidak bersyarikat dalam menciptakan sesuatu. Kita bersyukur kepada Allah atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya serta petunjuk-Nya bagi kita semua. Petunjuk-Nya ke jalan yang benar dalam akidah yang benar adalah nikmat yang terbesar di antara semua nikmat yang kita capai. Semua pekerjaan yang dihasilkan oleh manusia merupakan ciptaan Allah, manusia hanya berusaha.
Selawat dan salam bagi Nabi Muhammad yang mempunyai kedudukan yang terpuji, yang mempunyai kolam air di mana semua manusia yang beriman akan datang meminumnya dan merupakan tempat mengadu nasib yang terakhir (washîlah) di hari akhirat kelak. Shalâh dan salâm seterusnya bagi keluarga dan para sahabatnya sekalian.
Selanjutnya, kami melihat perkembangan yang terjadi dalam masyarakat kita, yaitu tumbuhnya berbagai macam akidah dan kepercayaan yang tidak sesuai lagi dengan yang dianut oleh Rasulullah SAW. dan para sahabatnya. Hal ini menuntut adanya sebuah buku dalam bahasa Indonesia yang menjelaskan tentang akidah yang dianut oleh Rasulullah dan para sahabatnya serta akidah-akidah yang menyimpang dari ajaran Rasulullah dan sahabatnya.
Penulis merasa terpanggil untuk memberikan sedikit sumbangan dalam memenuhi tuntutan di atas, sehingga berusaha menyusun tulisan ini. Dalam tulisan ini, penulis membahas dua sisi dimensi akidah. Yaitu penjelasan dan uraian tentang akidah Rasulullah dan para sahabat yang merupakan pembahasan pokok dalam tulisan ini, dan pembahasan tentang perkembangan akidah yang tidak sesuai dengan akidah Rasulullah sebagai pelengkap terhadap isi pokok.
Kehadiran tulisan ini hendaknya dapat menjadi penggugah, sekaligus sebagai penuntun dalam memahami atau menganut akidah yang sejalan dan sesuai dengan akidah Rasulullah dan para sahabat, serta meninggalkan akidah-akidah yang menyimpang dari akidah yang dianut oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Berpijak pada uraian di atas maka tulisan ini disusun dalam lima pembahasan :
A. Pendahuluan
B. Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah
C. Masalah yang Berhubungan dengan Akidah
D. Khatimah
Tulisan ini diberi judul "Al-Firqah Al-Hasanah", pembahasan tentang Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah. Kepada Allah SWT., saya mohon agar kitab ini bermanfaat bagi penulis sendiri, bagi pembacanya, bagi yang memperbanyak cetakan dan menyebarkannya kepada kaum muslimin dan muslimat.
Kepada ikhwan yang mempunyai pengetahuan, terutama dalam bidang akidah, apabila melihat sesuatu hal yang tidak sejalan dengan pengetahuan yang dimilikinya, hendaknya jangan cepat-cepat menyatakan tidak benar penulisnya, sebab apa yang ditulis itu merupakan pemahaman penulis yang sangat terbatas, dan diambil dari beberapa kitab yang mu`tabar. Tujuan penulis hanya menyebarkan pengetahuan yang bermanfaat dan diridhai Allah SWT. Amin…
Penulis




A. PENDAHULUAN
Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa Islam terdiri atas dua komponen, yaitu:
a. Akidah
b. Syariah

Akidah adalah keyakinan atau kepercayaan (tashdîq) yang timbul dalam hati sanubari seseorang terhadap Allah dan Rasul-Nya dan terhadap kebenaran apa yang disampaikan oleh Allah melalui al-Quran atau melalui wahyu kepada Rasul-Nya.
Adapun syariat adalah beberapa hukum amaliyah, baik terhadap `ibâdah, mu`âmalah antara sesama manusia, munâkahah (perkawinan), siyâsah (pemerintahan) atau lainnya. Semua hal tersebut bersumber dari ayat, hadis, ijmâ` dan qiyâs. Akidah yang benar hanya satu, yaitu akidah yang sesuai dengan akidah Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah adalah yang sesuai dengan akidah Rasulullah SAW. dan akidah para sahabatnya.
Selanjutnya, dengan meninjau sisi pembentukan hukum, maka hukum dapat dikategorikan atas:
a. Hukum akal
b. Hukum syariat

Para ulama mengategorikan bahwa hukum akal terdiri atas tiga klasifikasi. Klasifikasi ini sering dipakai dalam pembahasan ilmu kalam (tawhîd). Ketiga klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Wâjib : yaitu sesuatu yang tidak terbayang dalam pandangan akal, bahwa sesuatu itu tidak wujûd (tidak ada).
2. Mustahil : yaitu sesuatu yang menurut pandangan akal tidak mungkin/tidak boleh terjadi.
3. Jâ’iz ; yaitu sesuatu yang menurut pandangan akal bahwa itu boleh ada dan boleh tidak ada.

Sementara itu hukum syariat dalam pandangan para ulama terdiri atas lima bahagian:
1. Wâjib: yaitu sesuatu yang apabila dikerjakan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan akan memperoleh dosa.
2. Sunnah: yaitu sesuatu yang akan mendapat pahala apabila dikerjakan dan tidak berdosa apabila ditinggalkan.
3. Harâm: yaitu sesuatu yang apabila dikerjakan akan berdosa dan apabila ditinggalkan mendapat pahala.
4. Makrûh: yaitu sesuatu yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan apabila ditinggalkan akan mendapat pahala.
5. Mubâh: yaitu sesuatu yang apabila dikerjakan tidak berdosa dan apabila ditinggalkan tidak memperoleh pahala.

Sebagaimana diketahui, bahwa dalam Islam terjadi perpecahan dan terbentuk kelompok-kelompok. Demikian pula dalam akidah, kelompok Islam dalam akidah terdiri atas empat kelompok besar:
1. Shifâtiyah
2. Qadariyah
3. Khawârij
4. Syî`ah
Dari empat kelompok besar tersebut, tumbuh beberapa kelompok kecil sampai jumlah bilangannya mencapai tujuh puluh tiga kelompok, sebagaimana tersebut dalam hadits:

Artinya: Memberi tahu oleh Nabi SAW: “Akan terpecah umatku kepada tujuh puluh tiga kelompok, yang benar di antaranya hanya satu, selainnya binasa (tidak benar)”. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, kelompok mana yang lepas dari kebinasaan?”. Nabi menjawab: “Ahlussunnah wal Jamaah”. Para sahabat bertanya: “Yang mana Ahlussunnah wal Jamaah itu?”. Nabi berkata: “Sesuatu yang aku dan sahabatku berada di atasnya hari ini”.

Ma`rifah adalah mengetahui sesuatu dengan yakin atas dasar dalil yang sah dan meyakinkan. Semua orang wajib mengenal Allah dan mengenal Rasul-Nya, mengenal Allah adalah melalui mengenal sifat-sifat yang wâjib, sifat-sifat yang mustahil dan sifat yang jâ’iz pada-Nya. Mengenal Rasul SAW adalah dengan mengenal sifat yang wâjib, sifat yang mustahil dan sifat yang jâ’iz padanya.
Mengenal Allah dengan mengenal sifat-sifat-Nya yang didukung oleh dalil `aqlî (akal) dan dalil naqlî (ayat dan hadits) dan mengenal Rasul melalui sifat-sifatnya adalah ilmu ushûluddîn atau ilmu kalâm. Semua amal kebaikan, baik ibadah atau muamalah dan hukum syariat lainnya adalah furû` (cabang) dan dibina di atas ushûl. Semua pekerjaan furû' (syariat) tidak sah dan tidak diterima, sebelum memiliki ilmu ushûluddîn yang cukup dan benar. Oleh karenanya mempelajari ilmu yang dengannya mengantarkan kita untuk mengenal Allah dan Rasul-Nya adalah dasar utama dan sangat mendesak.

B. AKIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH
Akidah yang dikembangkan oleh Abû Hasan yaitu `Alî ibn Ismâ`îl al-Asy`arî (w. 324 H) dan sahabatnya dinamakan dengan al-Asy`arîyah. Kelompok ini dibangsakan kepada Abû Mûsâ al-Asy`arî, yaitu salah seorang dari sahabat Nabi SAW. Akidah yang dikembangkan oleh al-Asy`arîyah sesuai dengan yang dianut oleh Rasulullah SAW dan para sahabat, maka para ulama salâf dan khalâf memberi nama kelompok ini dengan Ahlussunnah Wal Jamaah.
Dalam pandangan Abû Hasan al-Asy`arî dan kebanyakan ahli ilmu dari ulama kalam (tauhid), fiqh, hadits dan lainnya, untuk mengenal (ma`rifah) Allah SWT, wajib mengetahui dua puluh sifat yang wajib ada pada Allah, dua puluh sifat yang mustahil ada pada Allah dan satu sifat yang boleh ada dan boleh tidak ada pada-Nya. Dengan mengenal empat puluh satu sifat yang berhubungan dengan Allah, sudah mencukupi untuk mengenal Allah, dan dengan mengenal sembilan sifat yang berhubungan dengan rasul, maka sudah cukup untuk mengenal Rasulullah SAW.

a). Sifat yang Wajib, Mustahil dan Jâ’iz pada Allah
Berikut ini kita akan membahas metode al-Asy`arîyah dalam hal mengenal Allah melalui sifat-sifat-Nya.
I. Sifat yang Wajib
1. Al-Wujûd
Allah itu ada, wujud-Nya tidak ada permulaan dan tidak ada penghabisan. Sebelum ada alam ini Allah telah ada. Pada waktu alam ada, Allah telah dalam keadaan wujud, dan pada saat alam ini nanti tidak ada lagi, Allah tetap dalam keadaan ada. Wujud Allah itu tidak sama dengan wujud yang ada pada alam ini. Contohnya manusia dan hewan, pada awalnya tidak ada, kemudian melalui proses tertentu, dan dalam waktu tertentu lahir di alam ini, setelah itu dalam jangka waktu tertentu akan kembali kepada fanâ’/tidak ada, seperti sebelum ada. Oleh karenanya alam dan semua isinya tetap bersifat baharu, dan karena sifat alam itu baharu, maka alam itu selalu menuntut kepada penciptanya, yang memeliharanya sesudah ada dan yang akan memusnah-kannya nanti.
Di sinilah antara lain terdapat perbedaan antara wujud Allah dan wujud yang ada pada makhluk atau alam semesta. Namanya sama akan tetapi hakikatnya tidak sama, wujud Allah bersifat wajib dan wujud yang ada pada alam baharu. Atas dasar kenyataan seperti tersebut di atas merupakan bukti yang jelas bahwa wujud alam ini adalah bukti (dalil) atas wujud Allah.
Perbedaan antara Allah sebagai pencipta alam dan semua isinya dengan yang diciptakan cukup jelas bagi orang-orang yang mempunyai pikiran yang jernih. Menyangkut dengan wujud, Allah berfirman:

Artinya: Memberi tahu/menyatakan/menghukum oleh Allah bahwa sesungguhnya tiada yang berhak disembah kecuali Dia(Allah). Dan mengaku oleh malaikat dan yang mempunyai ilmu(bahwa tiada yang berhak disembah kecuali Allah) sebagai pengakuan yang adil, tiada yang berhak disembah kecuali Allah yang sangat berkuasa dan bijaksana.

2. Al-Qidam
Qidam adalah wujud yang tiada permulaan, artinya wujud Allah itu tidak didahului oleh `adam (tiada). Sebelum ada sesuatu kecuali Allah, Allah itu telah ada. Wujud Allah tidak terkait dengan zaman, sebab zaman itu ciptaan Allah, sebelum wujud zaman, Allah telah wujud . Wujud Allah tidak terkait dengan tempat, artinya wujud Allah tidak berada dalam tempat, sebab Allah tidak berada dalam tempat dan tidak berada dalam zaman. Inilah salah satu makna yang terkandung dalam firman Allah ayat 11 surat asy-Syûrâ yaitu:

Artinya: (Dia) pencipta langit dan bumi, menjadikan bagi kamu berasal dari diri kamu sendiri pasangan, dan dari jenis binatang pasangan, dijadikannya berkembang biak, tiada sesuatu pun serupa dengan Dia (Allah) dan Dia (Allah) yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Perbedaan Allah dengan sesuatu yang telah terjadi atau belum terjadi adalah termasuk tidak serupa pada zat Allah. Zat Allah itu tunggal yaitu tidak tersusun, dari berbagai benda, sedangkan zat alam semuanya tersusun, dan paling kurang tersusun dari dua benda. Wujud Allah tidak didahului oleh 'adam (tidak ada), sedangkan zat makhluk itu baharu, yaitu pada permulaannya tiada wujud, kemudian baru datang wujud. Wujud Allah tidak berada dalam zaman dan tempat, sedangkan wujud alam contohnya manusia, batu, gerak dan tetap berada dalam zaman dan berada dalam tempat.
Para ulama kalam (tauhid) menetapkan bahwa bukti atau dalil terhadap wujud Allah, wujud-Nya itu bersifat wâjib dan wujud-Nya bersifat qidam, adalah kenyataan yang terdapat pada sebahagian alam yang dapat dilihat dengan mata kepala manusia yaitu sifatnya selalu berubah-ubah (baharu).

3. Al-Baqâ’
Al-Baqâ' adalah wujud yang tiada diiringi dengan tiada, artinya berkekalan wujud pada masa yang akan datang dalam bentuk yang tiada penghabisan. Al-Baqâ' Allah adalah wujudnya tidak datang `adam selama-lamanya. Wujud Allah tidak sama dengan wujud yang terdapat pada alam ini. Contohnya wujud kayu, wujud manusia, wujud pesawat udara, semua wujud yang terdapat pada benda-benda tersebut dimulai dari tidak ada dan diakhiri dengan kembali kepada tidak ada, akan tetapi wujud yang berada sebagai sifat yang wajib pada Allah tidak diakhiri dengan `adam (tidak ada).
Mengapa wujud Allah itu wajib baqâ’ (berkekalan)? Pertama; apabila wujud Allah diakhiri dengan `adam, maka Allah itu baharu (berubah-ubah), apabila Allah baharu, maka Allah butuh kepada yang menjadikannya, atau butuh kepada yang meniadakannya. Kedua; apabila hal tersebut terjadi maka semua benda yang ada dalam alam ini termasuk manusia tidak ada, sebab kekuatan qudrah Allah sudah sama dengan qudrah makhluk. Apabila terdapat dua kekuatan yang sama pasti tidak terjadi sesuatu, sebab satu ingin menjadikan dan yang satu lagi ingin memusnahkan. Kenyataan yang kita lihat bahwa alam ini berdiri dengan kokoh dan tersusun dengan rapi, ini tidak mungkin terjadi apabila tidak ada penciptanya yang tidak sama dengan benda hasil ciptaannya.
Sesuai dengan uraian tersebut Allah berfirman pada surat Ar-Rahmân ayat 26-27:

Artinya: Semua yang ada di bumi itu akan binasa, dan tetap kekal Zat (Allah) Tuhan kamu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.

4. Mukhâlifatuhu Lil Hawâdits
Mukhâlifatuhu Lil Hawâdits adalah perbedaan Allah dengan semua benda, baik yang telah ada atau yang akan ada. Perbedaan Allah dengan hawâdits (baharu) adalah dalam tiga hal:
1). Perbedaan pada zat, yaitu zat Allah tidak sama dengan zat makhluk. Zat Allah hanya satu; yaitu tidak tersusun/dirangkap dari dua benda atau lebih, tidak terdiri atas berbagai macam anggota, seperti kepala, tangan, kaki dan lainnya. Zat Allah wâjib wujûd, wâjib qidam dan baqâ’, tidak ada suatu benda apapun yang sama dengan zat Allah, semua benda yang terbayang dalam akal manusia itu adalah makhlûq bukan khâliq/Allah. Sebab semua yang terpikir oleh pikiran manusia itu diperoleh melalui saluran penglihatan mata, pendengaran telinga, penciuman hidung, perasaan lidah dan perasaan sentuhan kulit. Kelima pancaindera itu adalah makhluk, penangkapannya selalu berubah-ubah, maka sesuatu yang diketahui melaluinya selalu berubah-ubah. Apabila berubah-ubah, maka hasil yang diperoleh pasti berubah-ubah pula, artinya tidak ada kepastian. Ayat asy-Syûrâ ayat 11 secara tegas menunjukkan bahwa Allah tidak serupa dengan makhlûq/hawâdits ditinjau dari segala sudut, termasuk sudut zatnya.

2). Perbedaan pada sifat. Adapun perbedaan Allah dengan makhluk tentang sifat, adalah sifat yang berada pada makhluk itu semuanya mengalami perubahan. Contohnya, sifat yang terdapat di waktu usia masih kecil berbeda dengan sifat yang berada di waktu muda yaitu kekuatan fisik dan daya pikirnya selalu berubah menuju kesempur-naan sampai usia tiga puluh lima tahun kemudian kembali menurun sedikit demi sedikit sampai tidak ada tenaga sama sekali. Banyak contoh-contoh lain yang selalu berubah, baik yang terdapat pada manusia atau lainnya. Berbeda dengan sifat Allah, yaitu sifat-Nya qadim dan baqâ' dan tetap ada pada Allah, tidak mengalami perubahan. Tentang perbedaan antara sifat Allah dengan sifat makhluk akan lebih jelas nanti dalam pembahasan sifat Allah satu-persatu.

3). Perbedaan sifat af`âl (perbuatan). Sifat af'âl atau perbuatan dalam pembahasan ilmu tauhid disebut dengan nama sifat takwîn. Sifat takwîn adalah salah satu sifat yang wajib ada pada Allah, para ulama tauhid pada umumnya tidak membahasnya sendirian, akan tetapi membahas dan menyebutnya tatkala membahas sifat Mukhâlifatuhu Lil Hawâdits, yaitu dalam pembahasan perbedaan Allah dengan benda-benda yang terdapat dalam alam ini.
Perbedaan lainnya pada sifat af'âl adalah perbuatan manusia harus melalui beberapa tingkatan, pertama adanya kekuatan pada tubuh manusia, kedua ada kemauan, ketiga ada pengetahuan (ilmu). Dengan ilmu itu diketahui bahwa pada akhir perbuatan ia akan mendapat kesenangan atau kesusahan, sesudah terdapat tiga unsur tersebut baru suatu perbuatan dapat terjadi. Pada hakikatnya, mengetahui ada kesenangan atau kesusahan adalah pendorong manusia untuk melakukan suatu perbuatan. Akan tetapi perbuatan Allah tidak melalui tiga tingkatan sebagaimana yang terdapat pada pekerjaan manusia. Perbuatan Allah tidak didorong oleh pengambilan manfaat bagi-Nya dan tidak didorong oleh penolakan mudharat daripadanya. Allah tidak mendapat keuntungan apapun dalam perbuatan yang dikerjakan-Nya, semua manfaat dan keuntungan itu kembali kepada hamba-Nya.
Perbedaan di pihak lain, bahwa Allah dalam menciptakan sesuatu tidak membutuhkan peralatan sebagai pembantu-Nya, tidak membutuhkan material atau bahan baku yang telah tersedia sebagai bahan yang akan disusun dalam benda yang dikerjakan-Nya dan tidak membutuhkan jangka waktu dalam penyelesaian pekerjaan-Nya. Semua bahan baku bagi sesuatu benda yang akan dijadikannya itu sekaligus diciptakan, dijadikan dan tidak membutuhkan waktu sedikitpun. Ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Yâsin ayat 81-82:

Artinya: Tidakkah Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi itu mampu menciptakan (jasad-jasad) yang sama dengan mereka, benar, Dialah pencipta, lagi Maha mengetahui.(81) Sesungguhnya pekerjaan-Nya apabila Dia menghendaki (menjadi) sesuatu, Dia berkata baginya "jadilah kamu", maka terjadilah ia (benda itu).

Kejadian gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 di Nanggroe Aceh Darussalam yang merenggut 200.000 (dua ratus ribu) lebih jiwa manusia, merusak rumah serta bangunan yang kokoh dan merusak kebun dan lainnya, merupakan bukti nyata bahwa kerja Allah tidak sama dengan kerja manusia.

5. Qiyâmuhu bi Nafsihi
Qiyâmuhu bi Nafsihi artinya Allah itu berdiri sendiri. Allah tidak membutuhkan kepada tempat untuk berdiri, sebab; pertama bahwa segala sesuatu yang ada dalam alam ini, termasuk tempat adalah benda yang datang wujudnya setelah didahului oleh tiada. Sedangkan Allah itu telah ada sebelum ada tempat tersebut. Kedua, bahwa yang membutuhkan kepada tempat adalah sifat, seperti gerak, tetap, hitam, putih, dan semua benda yang tidak terbayang dalam pikiran manusia, adanya tanpa bertempat berdirinya. Sedangkan Allah adalah zat, bukan sifat, Allah bersifat qadim dan baqâ’. Sifat adalah baharu, oleh karenanya, berdiri Allah itu tidak sama dengan berdiri yang berada pada makhluk ini, yaitu berdirinya tidak di atas tempat.
Dengan kata lain wujud Allah tidak membutuhkan kepada sesuatu apapun, sebagaimana terkandung dalam firman-Nya dalam surat al-Ikhlâsh:

Artinya: Katakanlah, Dia (Tuhan) itu Allah yang Maha Esa, Allah adalah yang bergantung kepada-Nya semuanya, Allah itu tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun setara dengan-Nya.

Ayat pertama menunjukkan bahwa yang berhak disembah hanya Allah, dan Allah itu Esa pada zat-Nya, Esa pada sifat-Nya dan Esa pada af`âl-Nya (Perbuatan-Nya). Ayat kedua menunjukkan bahwa Allah dibutuhkan oleh semua, baik manusia atau lainnya. Ayat ketiga menunjukkan bahwa Allah itu tidak beranak, artinya tiada sesuatu yang terjadi keluar dari zat Allah, baik melalui peranakan, melalui `ilat (dengan ada zat Allah langsung terjadi alam ini tanpa qudrah dan perbuatan-Nya) atau tiada sesuatu yang terjadi dalam alam ini melalui thabi`at (pembawaan yang telah tertanam dalam zat). Sedangkan ayat keempat menunjukkan bahwa tiada sesuatu apapun baik manusia atau lainnya yang setara derajatnya dan kekuasaannya dengan Allah.
Pengertian lain tentang Qiyâmuhu bi Nafsihi, adalah Allah tidak membutuhkan kepada pihak lain yang menjadikannya, dan tidak membutuhkan kepada yang memelihara dan melindungi-Nya sesudah wujud-Nya. Hal tersebut terdapat perbedaan dengan manusia dan lainnya. Semuanya itu membutuhkan kepada yang menjadikannya sebelum wujud, dan membutuhkan kepada pemeliharaan serta perlindungan sesudah wujudnya.

6. Al-Wahdanîyah
Al-Wahdanîyah (Esa Allah) terdiri atas tiga hal. Pertama, zat Allah tiada tersusun dari dua komponen atau lebih. Hal ini dinamai Esa Allah pada zat-Nya. Kedua, tiada terdapat dan tiada mungkin ada seseorang atau benda yang sama dengan Allah pada zat-Nya atau pada satu sifat di antara sifat-sifat yang wajib pada-Nya. Ketiga, tunggal Allah dalam menjadikan sesuatu benda dan menjadikan semua barang dalam alam ini dan tunggal Allah dalam menjadikan sesuatu dengan sempurna. Pekerjaan Allah tidak membutuhkan bantuan peralatan dan tidak membutuhkan gerak atau tetap, tidak ada yang dapat memberikan bekas dan menghasilkan sesuatu perbuatan dalam bentuk apapun kecuali Allah.
Dalam kaitan dengan tiga keesaan tersebut, Allah berfirman dalam surat al-Qamar ayat 49:

Artinya: Sesungguhnya kami menciptakan segala benda dengan qudrah(kemampuan kami).

Ayat ini menunjukkan bahwa qudrah Allah itu ta`lûq (masuk) kepada seluruh benda yang telah ada atau yang akan ada, termasuk benda-benda yang secara lahir hasil usaha manusia, tidak terjadi sesuatu apabila tidak dijadikan oleh Allah. Contoh; pembakaran yang ada pada api, pembakaran itu tidak terjadi terhadap kayu kering, apabila pembakaran tidak dijadikan oleh Allah, kekuatan yang terdapat pada manusia, bagaimanapun manusia itu berusaha, hasilnya tidak terdapat apabila Allah menghendaki lainnya. Allah berkata dalam surat Al-Baqarah ayat 107 :

Artinya: Tidakkah kamu mengetahui bahwa langit dan bumi adalah kepunyaan Allah, dan tiada bagimu pelindung dan penolong selain Allah .

Yang dimaksud dengan milik adalah kekuasaan terhadap langit dan bumi dan barang dalam keduanya, tidak Allah berkuasa penuh terhadap keduanya (langit dan bumi) serta isi keduanya kecuali apabila Allah tunggal pada menjadikannya. Allah berkata dalam surat Ash-Shafat ayat 96 :

Artinya: Allah yang menciptakan kamu dan apa saja yang kamu perbuat.

Manusia dan semua barang yang dikerjakannya adalah semuanya ciptaan Allah. Semua barang yang lahirnya merupakan ciptaan manusia, pada hakikatnya adalah ciptaan Allah. Sebagai contoh, tangan manusia itu tidak bergerak dan tidak tetap apabila Allah tidak menghendakinya. Semua barang hasil kerja manusia itu adalah tersusun/terangkap dari benda-benda yang telah dijadikan Allah. Oleh karenanya, maka ke-Esa-an Allah dalam tiga sudut seperti tersebut di atas, wajib dalam pandangan akal sehat.
Pada manusia terdapat usaha yaitu; muqâranah qudrah hadîtsah yang berada pada manusia dengan suatu perbuatannya. Muqâranah itu dinamakan usaha. Usahanya itu tidak memberi bekas pada kejadian sesuatu, akan tetapi yang terdapat dari usaha manusia itu merupakan ciptaan Allah. Untuk membenarkan bahwa usaha manusia itu tidak memberikan hasil bekasan bahwa manusia berusaha dengan sungguh-sungguh agar memperoleh rezki yang banyak, yang dihasilkan rezki yang sedikit. Berusaha untuk mendapat sembuh dari penyakit yang sedang dideritanya, yang terjadi lebih parah lagi, dan berusaha dengan sungguh-sungguh agar memperoleh ilmu yang banyak, akan tetapi yang diperoleh sebaliknya.
Dalam kaitan tersebut, bukan berarti bahwa manusia itu terpaksa, artinya apa yang terjadi pada pekerjaan manusia tidak ada usaha sama sekali, seperti yang dipahami oleh kelompok Jabbârîyah. Jabbârîyah memahami bahwa pekerjaan manusia terpaksa, sama seperti keadaan kapas yang ditiup oleh angin ke mana saja. Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah tidak sama dengan pemahaman yang dianut oleh Mu`tazilah dan tidak sama dengan yang dianut oleh kelompok Jabbârîyah, akan tetapi berada antara keduanya.
Enam sifat yang wajib ada pada Allah, sebagaimana tersebut di atas yang pertama yaitu wujûd, dinamakan sifat Nafsîyah, dan lima sesudahnya dinamakan sifat Salbîyah, artinya yang menunjuki kepada sesuatu yang tidak terdapat dan tidak patut ada pada Allah.

7. Al-Qudrah
Qudrah adalah sifat yang memberi bekas pada menjadikan barang yang mungkin terjadi dan meniadakan barang yang telah ada, dan mungkin tiada lagi. Fungsi qudrah adalah menjadikan sesuatu barang yang mungkin terjadi dan meniadakan barang yang telah ada dan barang yang mungkin kembali kepada tiada lagi. Qudrah tidak ta`lûq (berfungsi) terhadap yang wajib ada menurut pandangan akal sehat. Contohnya wujud Allah dan wujud sifat-sifat yang wajib ada pada Allah. Allah tidak menjadi diri-Nya dan tidak menjadikan sifat yang wajib pada-Nya. Qudrah tidak ta`lûq (berfungsi) terhadap yang mustahil wujud, contohnya terjadi gerak dan tetap suatu barang dalam waktu yang bersamaan, tidak terdapat keduanya pada benda dalam waktu yang bersamaan.
Menurut pandangan (akidah) kelompok Ahlussunnah Wal Jamaah, bahwa semua barang yang wujudnya bersifat mumkîn (bukan wajib dan bukan mustahil) baik barang itu telah ada atau akan ada, adalah ciptaan Allah. Artinya tempat ta`lûq qudrah Allah termasuk barang-barang yang secara lahir merupakan ciptaan manusia, atau terjadinya melalui thabi`at sesuatu benda, seperti pembakaran yang terjadi pada api, tumbuh dan hidup tumbuh-tumbuhan melalui air hujan. Selain itu qudrah juga ta`lûq pada benda yang geraknya melalui `illat, seperti gerak cincin yang berada pada jari manis. Secara lahiriah geraknya terjadi disebabkan oleh gerak jari manis, padahal kesemuanya itu pada hakikatnya tidak terjadi apabila tidak dijadikan oleh Allah. Artinya semua benda yang sifatnya hawâdits merupakan ciptaan Allah. Allah berkata dalam surat Ash-Shafat ayat 96 :

Artinya: Allah yang menjadikan kamu dan barang yang kamu kerjakan.
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa barang-barang hasil usaha manusia adalah ciptaan Allah, demikian juga dalam surat ar-Rûm ayat 22 berikut:


Artinya: Sebahagian tanda-tanda-Nya adalah menciptakan langit dan bumi dan perbedaan bahasa, dan perbedaan warna kulit kamu. Sesungguhnya pada yang demikian itu beberapa bukti bagi manusia (yang berakal).


8. Irâdah:
Irâdah adalah sifat yang menetapkan (menentukan) terjadi satu antara dua kemungkinan yang berlawanan. Ada enam hal yang selalu berlawanan; pertama, wujûd berlawanan dengan 'adam. Kedua, beberapa sifat, seperti, putih berlawanan dengan hitam, merah, hijau, kuning, biru dan lainnya, begitu juga sebaliknya. Ketiga, zaman: contohnya zaman sekarang, berlawanan dengan zaman yang telah lalu dan berlawanan dengan zaman yang akan datang. Keempat, tempat; apabila sesuatu benda telah bertempat pada satu tempat tertentu, maka benda itu tidak bertempat pada tempat lainnya. Kelima, pihak (posisi), seperti atas, bawah, kiri, kanan, depan dan belakang. Keenam, ukuran (kadar), seperti besar, kecil, panjang, pendek, lebar, kadar sukatan, kadar timbangan dan lainnya.
Irâdah berfungsi untuk menentukan sesuatu benda yang berada dalam sifat tertentu, seperti wujud atau tiada wujud. Wujudnya bertempat di Makkah atau tempat lainnya, waktu wujudnya satu Ramadhan 1427 Hijriyah atau sebelum atau sesudahnya, wujudnya berada di atas loteng rumah atau di bawahnya, ukurannya panjang dua meter atau lebih atau kurang dari itu, besarnya 50 centimeter atau lebih atau kurang, beratnya 100 kilogram atau lebih atau kurang, dan warnanya putih atau lainnya. Maka irâdah-lah yang menentukan bahwa barang itu wujud tempatnya di Makkah, waktu wujudnya satu Ramadhan 1427 Hijriyah, bertempat di atas loteng rumah, ukuran panjangnya dua meter, ukuran besarnya 50 centimeter, ukuran beratnya 100 kilogram, dan warnanya putih.
Adapun sifat qudrah berfungsi sesuai dengan ketentuan irâdah dan sesuai dengan `ilm. Maka qudrah dan irâdah tempat ta`lûq-nya yaitu, seluruh benda yang sifatnya mungkin, akan tetapi posisinya berbeda. Irâdah sebagai yang mengkhususkan dengan salah satu mumkîn, sedangkan qudrah menjadikannya sesuai dengan ketentuan irâdah dan `ilm.
Qudrah dan irâdah tidak ta`lûq (berfungsi) pada barang yang wajib wujud dan pada barang yang mustahil wujud, maka Allah tidak menjadikan zat-Nya sendiri. Sebab zat-Nya wajib wujud, dan Allah tidak menjadikan anak-Nya, sebab beranak bagi Allah adalah barang mustahil wujudnya.
Tidak ta`lûq-nya qudrah dan iradah Allah pada yang wajib wujud, dan yang mustahil wujud, tidak berarti Allah itu lemah. Lemah apabila ada sesuatu yang mumkîn wujud, akan tetapi qudrah dan irâdah Allah tidak berfungsi pada-Nya. Paham bahwa qudrah dan irâdah ta`lûq pada seluruh mumkinât, tidak ada pengecualian dan tidak ta`lûq pada yang wajib wujud dan tidak ta`lûq pada yang mustahil wujud merupakan akidah Ahlussunnah Wal Jamaah.
Adapun paham yang dianut oleh kelompok Mu`tazilah adalah :
1. Tidak semua mumkîn ciptaan Allah, akan tetapi sebahagiannya adalah ciptaan manusia yaitu sesuatu yang berhasil dengan usaha manusia sendiri.
2. Allah tidak bersifat dengan `ilm, qudrah, irâdah dan hayah artinya empat sifat itu tidak ada pada Allah.
3. Irâdah Allah wajib sejalan dengan perintah. Artinya irâdah mengikuti perintah dan Allah tidak menciptakan sesuatu yang tidak disuruhnya. Menurut pandangan Mu`tazilah, iman Abû Jahal di-irâdah Allah akan tetapi tidak terwujud. Kufur Abû Jahal tidak dikehendaki oleh Allah, akan tetapi ini terjadi.
4. Allah mampu menjadikan anak-Nya sendiri, mereka beralasan, bila Allah tidak mampu menjadi anak-Nya, maka Allah itu lemah.
Dalam empat hal di atas terdapat perbedaan antara akidah yang dianut Ahlussunnah Wal Jamaah dengan yang dianut oleh Mu`tazilah. Ada pun perbedaan lain akan disebut pada bagian akhir, yaitu pada pembahasan khusus mengenai Mu`tazilah.

9. Al-`Ilm
'Ilm adalah sifat yang dengannya nyata bagi Allah segala sesuatu, baik sesuatu itu wajib, mustahil atau harus (jâ’iz). Segala sesuatu diketahui oleh Allah secara detil, Allah mengetahui semua yang telah terjadi, belum terjadi, tempat terjadi, masa terjadi, bentuk kejadian, jangka waktu terjadi, besar atau kecilnya sesuatu yang terjadi. Allah mengetahui sesuatu yang tidak akan terjadi, disebabkan mustahil terjadi, atau mungkin terjadi, tetapi dalam ilmu Allah ia tidak akan terjadi. Allah mengetahui setiap sesuatu yang wajib terjadi, seperti zat-Nya, dan segala sifat-sifat yang wajib ada pada-Nya, tidak ada suatu benda apapun yang tidak diketahui oleh Allah.
`Ilm Allah tidak sama dengan ilmu yang dimiliki oleh manusia, perbedaannya antara lain :
1. Allah mengetahui sesuatu secara pasti, tidak ada perbedaan antara kejadian dengan yang diketahui-Nya, sedangkan ilmu manusia itu berada dalam tingkatan tidak pasti, banyak fakta yang menunjukkan adanya perbedaan ilmu manusia dengan kenyataan.
2. Ilmu Allah itu meliputi lahir dan bathin, meliputi luar dan dalam, meliputi sesuatu yang telah terjadi dan segala sesuatu yang mungkin terjadi, baik ia akan terjadi atau tidak akan terjadi. Allah mengetahui setiap rincian sesuatu termasuk bagian-bagiannya. Sementara itu ilmu manusia hanya meliputi lahiriyah sesuatu, dan hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah terjadi saja. Adapun barang yang belum terjadi atau tidak berada dalam jangkauan manusia terutama barang itu tidak terdapat tanda-tanda kejadiannya dan tidak terjangkau akal manusia, atau barang itu bertentangan dengan akal pikiran yang dimiliki manusia atau barang-barang itu tidak sejalan dengan pancaindera yang lima yang telah berada pada diri manusia yaitu: penglihatan, pendengaran, ciuman, perasaan lidah dan perasaan sentuhan, maka benda-benda itu tidak diketahui manusia. Bahkan terjadi penolakannya, tidak semua yang telah terjadi terjangkau dalam pengetahuan manusia.
3. Sesuatu yang diketahui Allah telah terjadi atau akan terjadi dalam tempat tertentu atau dalam zaman tertentu pasti barang itu terjadi sesuai dengan ilmu-Nya, sedikitpun tidak akan berubah. Akan tetapi barang-barang yang terdapat dalam pengetahuan manusia selalu tidak berada dalam tingkatan kepastian, dan mengalami perubahan. Allah berfirman dalam surat Yâsin ayat 79 :

Artinya: Katakanlah, bahwa tulang itu telah dihidupkannya oleh yang menciptakannya pada awal kejadian. Dia-Nya (Allah) maha mengetahui semua makhluk.

4. Tingkatan pengetahuan manusia paling tinggi tingkatan keyakinan dan keyakinan yang dimilikinya masih mungkin ada perubahan, sebab ilmu manusia didasari petunjuk dalil, kuat dalil, maka kuat ilmu; lemah dalil maka keyakinannya juga lemah dan berubah dalil, maka keyakinannya juga berubah.

Ilmu Allah tidak berpijak atas dalil apapun, karena Allah yang menciptakan sesuatu termasuk dalilnya, ilmu Allah tidak didahului jahil, sedangkan ilmu manusia didahului oleh jahil. Ilmu Allah bersifat qadim dan baqâ’, sedangkan ilmu manusia bersifat hawâdîts (baharu) dan bisa hilang sesudah adanya.

10. Al-Hayâh
Hayâh adalah sifat yang wajib ada pada Allah. Sifat hayâh tidak ta`lûq kepada sesuatu, baik wajib, mustahil atau harus. Dalam pandangan akal sehat, apabila Allah wajib bersifat dengan qudrah, irâdah, `ilm, sam`, bashr dan kalâm, maka sifat hayâh wajib ada pula, sebab enam sifat itu tidak diterima akal bertempat pada orang mati, `ilm, irâdah, qudrah dan sebagainya tidak terdapat pada orang yang tiada hayâh padanya.

11. As-Sam`
As-sam' (mendengar) adalah sifat yang wajib pada Allah, mendengar Allah tidak sama dengan mendengar yang ada pada manusia, perbedaannya antara lain :
1. Allah mendengar tiap-tiap yang ada, baik yang bersuara atau yang tidak bersuara, sedangkan manusia hanya dapat mendengar suara, yang bukan suara tidak dapat didengarnya, dan tidak semua suara didengar manusia, sebab syarat dengar manusia berada dalam radius tertentu.
2. Pendengaran Allah tidak dapat dihalangi oleh penghalang apapun, sedangkan pendengaran manusia dapat dihalangi oleh kejauhan, keributan, terlampau kecil suara dan manusia tidak mendengar di waktu tidur atau pingsan.
3. Sifat Mendengar Allah tidak bertempat dalam suatu zaman, sebab sebelum terdapat zaman dengar Allah telah ada, sedangkan pendengaran manusia seiringan dengan zaman, dan berada dalam suatu zaman tertentu dan terpecah-pecah dalam perjalanan zaman.
4. Dengar Allah bersifat qadim dan baqâ’, sebelum dan sesudah terwujud sesuatu, dengar Allah tetap ada, sedangkan pendengaran manusia itu bersifat baharu, ada masa datang dan ada masa hilangnya.

12. Al-Bashr
Al-Bashr (penglihatan) adalah sifat yang wajib ada pada Allah. Allah dengan sifat al-Bashr, melihat semua barang-barang yang ada baik barang itu berada dalam bentuk rupa atau tidak, barang besar atau kecil, barang itu tersimpan dalam tempat yang sangat tersembunyi sekalipun, Allah melihatnya. Allah dapat melihat apa yang terlintas dalam hati manusia, tidak terdapat benda apapun yang tidak dapat dilihat oleh Allah, tidak tersembunyi atasnya apapun. Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 5 :

Artinya: Sesungguhnya bagi Allah tidak ada suatupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.

Allah berfirman dalam surat Al-An'am ayat 103:

Artinya: Tidak dapat dilihat-Nya(Allah) oleh penglihatan mata, Dia(Allah) melihat segala penglihatan dan Dialah yang Maha lemah lembut dan Maha Mengetahui.

Allah dapat melihat penglihatan manusia, sedangkan manusia tidak dapat melihat penglihatan manusia karena terhambat oleh kejauhan. Allah melihat sesuatu benda lahir dan bathinnya. Allah melihat segala keadaan terinci yang meliputi seluruh bagian benda yang dilihat-Nya. Penglihatan Allah terhadap sesuatu benda meliputi seluruh sisi penglihatan yang merupakan sifat-Nya dan sifat melihat yang ada pada manusia namanya sama akan tetapi hakikatnya berbeda.

13. Al-Kalâm
Kalâm Allah adalah sifat yang wajib ada pada Allah. Sifat itu berada pada zat Allah tidak didahului oleh tidak ada dan tidak disudahi oleh tidak ada (azalîyah). Kalâm Allah tidak mempunyai huruf dan tidak mempunyai suara, kalâm Allah tidak ada yang terakhir. Kalâm Allah tidak terpecah-pecah dalam huruf dan kalimat. Kalam Allah hanya satu dan tidak banyak, Kalâm Allah menunjuki kepada semua yang diketahui-Nya, meliputi sesuatu yang wajib ada, sesuatu yang mustahil ada dan sesuatu yang boleh (jâ’iz) adanya. Yang banyak tempat-tempat yang ta`lûq kalâm Allah padanya yaitu barang ditunjuk kalâm Allah.
Kalâm Allah ada tiga makna, ketiga-tiganya merupakan makna hakikat:
1. Sifat yang berada pada zat Allah, sifat itu tidak ada huruf dan suara, tidak datang dan tidak hilang, tidak terdahulu dan terakhir, dan tidak tersusun dari huruf dan kalimat.
2. Lafazh yang tersusun dan melemahkan ahli balâghah dari membuat tandingannya (mu`jîz) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
3. Buku yang ditulis di dalamnya lafazh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Ketiga-tiganya itu disebut kalâmullâh dan al-Quran. Kalâmullâh (lafazh) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis dalam mushhaf al-Quran adalah perlambangan dari apa yang ditunjuk oleh kalâm Allah. Kalâm yang bermakna sifat yang berdiri pada zat Allah. Sesuatu yang menunjukkan berbeda dengan apa yang ditunjukinya.
Al-Quran atau kalâmullâh yang bermakna sifat Allah hanya satu, tidak mempunyai huruf dan suara, sedangkan al-Quran atau kalâm Allah yang bermakna dan berlafazh yang diturunkan melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis dalam mushhaf mempunyai huruf dan suara, terbagi dalam kalimat, kalam dan huruf dan ia merupakan makhlûq.
Al-Quran dan kalâm Allah ada dua makna yang hakikat: pertama, sifat Allah yang azalîyah dan bukan makhlûq, dan yang kedua, bermakna lafazh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang berfungsi sebagai mu`jîzât. Lafazh yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah makhlûq, namun tidak boleh dikatakan bahwa al-Quran itu makhlûq, hanya yang boleh dikatakan adalah bahwa al-Quran itu kalâmullâh, bukan makhlûq. Apabila al-Quran dikatakan makhlûq, maka akibatnya akan terbayang dalam pikiran orang awam bahwa sifat yang berada pada Allah yang bernama al-Quran adalah makhlûq. Keyakinan bahwa sifat Allah itu makhlûq salah dan sangat berbahaya dalam akidah Islam.
Uraian tentang sifat qudrah, irâdah, `ilm, hayâh, sam`, bashr dan kalâm di atas adalah akidah menurut pemahaman Ahlussunnah Wal Jamaah. Adapun kelompok Mu`tazilah mengatakan:
1. Sifat qudrah, irâdah, `ilm, hayâh, sam`, bashr dan kalâm tidak ada pada Allah (Fakhrur Râzî, 124;I).
2. Manusia mampu menciptakan sebahagian hawâdits, artinya ada sebahagian hawâdits yang bukan ciptaan Allah. (Fakhrur Râzî, 98; I)
3. Irâdah Allah wajib mengikuti (sejalan dan sesuai) dengan perintah-Nya. Artinya yang dikehendak oleh Allah hanya sesuatu yang telah diperintahkan-Nya. Adapun sesuatu yang dilarang-Nya, terjadinya tidak dikehendaki-Nya, meskipun ia terjadi. Contohnya, kufur Abû Jahl, terjadinya bukan dengan sekehendak Allah. (Ummi Barahayn; 102).
4. Kalâm Allah mempunyai huruf dan mempunyai suara.
5. Makna Allah mutakallim adalah bahwa Allah itu yang menjadikan kalâm, bukan sifat yang ada pada zat Allah (Dusûqî; 114).

Dalam lima hal sebagaimana tersebut di atas, antara lain terdapat perbedaan antara akidah menurut pemahaman Mu`tazilah dengan akidah yang dianut oleh Ahlussunnah Wal Jamaah. Kaum Ahlussunnah mendasarkan pendapatnya pada al-Quran, karena sifat-sifat ma`ânî yang wajib ada pada Allah antara lain terdapat dalam al-Quran Surat An-Nahl ayat 70 :

Artinya: Allah menciptakan kamu kemudian mewafatkan kamu, dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun) supaya tidak mengetahui lagi suatupun yang pernah diketahuinya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Kuasa.

Dalam ayat ini ada dua sifat Allah yang disebutkan, yaitu `Alîm dan Qadîr. Dalam ayat yang lain Allah berfirman:

Artinya: Itulah ayat-ayat Allah, yang kami bacakan kepadamu dengan benar, dan tiada Allah berkehendak menganiaya hamba-Nya.

Dalam ayat ini Allah menyebut sifat irâdah-Nya yaitu dalam kalimat: Berikutnya dalam surat asy-Syu`arâ’ ayat 220 Allah berfirman:

Artinya: Sesungguhnya Allah Maha mendengar dan Maha Mengetahui.

Dalam ayat ini Allah menyebutkan dua sifat bagi-Nya yaitu as-Samî` dan al-`Alîm. Sementara itu dalam ayat yang lain Allah berfirman:

Artinya: Sesungguhnya Tuhan kamu memberi rizki yang luas kepada siapa yang Dia kehendaki dan membatasinya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat hamba-Nya.

Dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa Allah Maha Melihat, dan dalam ayat berikut ini Allah berfirman:

Artinya: Allah, tiada Tuhan (yang disembah) melainkan Dia, yang hidup lagi kekal.

14. Keadaan Allah yang berkuasa.
15. Keadaan Allah yang berkehendak.
16. Keadaan Allah yang mengetahui.
17. Keadaan Allah yang hidup.
18. Keadaan Allah yang mendengar.
19. Keadaan Allah yang melihat.
20. Keadaan Allah yang berkata-kata.

Tujuh sifat yang tersebut terakhir di atas dinamai dengan sifat ma`nawîyah, sebab antara tujuh sifat ini dengan tujuh sifat sebelumnya berhubungan. Maka sifat ini dibangsakan kepada sebelumnya yaitu tujuh sifat ma`ânî. Sifat ini adalah sifat tsubSûtîyah, yaitu tsubût pada zat Allah, dan ada pada Allah. Kelompok Ahlussunnah Wal Jamaah dan Mu`tazilah, sepakat bahwa tujuh sifat ma`nawiyah itu wajib adanya pada Allah.
Dalam pandangan dan keyakinan Ahlussunnah Wal Jamaah, tujuh sifat ma`ânî dan tujuh sifat ma`nawîyah wajib ada pada Allah dan wajib diyakini (di-i`tiqâd-kan) bahwa empat belas sifat itu ada pada Allah, dan tidak sempurna serta belum sah akidah seseorang sebelum ada keyakinan tersebut. Dalam pandangan Mu`tazilah, sifat ma'ânî tidak ada pada Allah, yang ada hanya sifat ma`nawîyah.

II. Sifat yang Mustahil
Apabila dua puluh sifat seperti yang telah tersebut di atas adalah wajib ada pada Allah, maka yang berlawanan dan bertentangan dengan dua puluh sifat tersebut, mustahil adanya pada Allah. Maka jumlah sifat-sifat yang mustahil adanya pada Allah juga dua puluh sifat.

1. Mustahil atas Allah 'Adam
'Adam artinya Allah tidak wujud, tidak wujud Allah bertentangan dengan beberapa bukti yang nyata dan meyakinkan yaitu; adanya alam dan semua isinya serta sifatnya yang baharu (berubah-ubah). Apabila Allah itu tidak ada, maka alam ini dan isinya tidak ada pula, kenyataannya alam dan isinya telah ada, maka ini merupakan bukti kuat bahwa Allah ada.

2. Mustahil atas Allah Baharu
Allah tidak bersifat dengan hudûts (baharu/ berubah-rubah). Apabila Allah bersifat baharu, maka Allah butuh kepada orang lain yang mengubah-Nya. Mengubah dari kondisi tiada kepada ada, dari ada kembali kepada tiada, bahkan untuk tetap dalam kondisi dan nasib yang sama juga membutuhkan kepada yang menjadikannya. Jika Allah bersifat hudûts, maka ke-hudûts-an ini juga berlaku pada tuhan yang mengadakan dan meniadakan Allah demikianlah seterusnya pada tuhan berikutnya.
Keadaan seperti itu tentu tidak dapat diterima oleh akal (mustahil), sebab akan terus bertalian (tasalsul) tanpa habisnya atau terjadi berputar-putar (dawr). Wujud yang pertama terhenti atas wujud yang kedua, kemudian wujud yang kedua terhenti atas wujud yang pertama pula.

3. Mustahil atas Allah Binasa (tidak Kekal)
Tidak kekal artinya boleh datang mati sesudah adanya. Apabila ini terjadi terhadap Allah, akan kembali kondisi seperti yang terjadi jika Allah itu baharu, yaitu bergantungnya yang satu atas lainnya tanpa penghabisan (tasalsul) atau berputar-putar (dawr).

4. Mustahil atas Allah serupa dengan Makhluk
Allah tidak serupa dengan makhluk, baik pada zat, sifat dan perbuatan-Nya. Hal ini dapat kita deskripsikan sebagai berikut:
1) Persamaan pada zat, zat makhluk ber-jism, tersusun dari darah tulang, urat, kulit, air, tangan, kaki, mata, hidung, telinga, rambut dan lainnya.
2) Persamaan pada sifat, sifat makhluk antara lain; bergerak, tetap, bertempat, berzaman, besar tubuh, kecil tubuh, pendek, panjang, putih dan lainnya.
3) Persamaan pada perbuatan, perbuatan makhluk membutuhkan bantuan peralatan. Untuk menjadikan sesuatu, ia membutuhkan material, bahan baku, ilmu, teknis pelaksanaan pekerjaan, jangka waktu pekerjaan, tempat bekerja dan lainnya.

Ketiga-tiga persamaan tersebut mustahil ada pada Allah, sebab apabila Allah itu sudah sama dengan makhluk, maka Allah itu sudah menjadi makhluk dan tidak lagi wâjib wujûd, tidak lagi bersifat qadîm dan baqâ’.

5. Mustahil atas Allah tidak berdiri sendiri
Tidak berdiri sendiri artinya membutuhkan sesuatu yang lain sebagai tempat bergantungnya. Dapat kita contohkan misalnya kondisi tetap atau bergerak, tentunya tak bisa kita bayangkan terjadinya gerak dan tetap jika tidak kita kaitkan dengan seorang manusia misalnya. Demikian pula warna, misalnya hitam, putih, biru, merah dan sebagainya, tentu membutuhkan media tampatnya berada.
Tidak berdiri sendiri juga dapat dipahami dengan arti membutuhkan individu lain menjadikannya. Jika Allah tidak berdiri sendiri, dalam arti membutuhkan media lain, atau butuh kepada pencipta, maka Allah tidak lagi bersifat qadîm, baqâ’ dan sifat-sifat yang wajib lainnya. Pada gilirannya Allah itu sudah menjadi baharu pula dan ini sesuatu yang mustahil.

6. Mustahil atas Allah Lemah
Lemah artinya tidak mampu menciptakan sesuatu yang sifatnya baharu. Apabila Allah bersifat lemah, pasti penciptaan alam ini tidak akan terwujud, kalaupun terwujud tentu takkan terpelihara dengan baik. Sementara kenyataan yang kita lihat sekarang, alam telah mewujud dan terpelihara dengan baik. Tentunya keadaan ini menunjukkan kemustahilan lemahnya Allah.

7. Mustahil atas Allah tidak ada Irâdah
Mustahil Allah tidak memiliki kehendak dalam melakukan suatu perbuatannya. Tidak adanya kehendak dapat disebabkan oleh alpa/lupa, terpaksa, lalai, tidak sengaja, terkejut, tidak punya pengetahuan dan lain sebagainya. Apabila hal ini terjadi pada Allah, maka tidak terjadi alam ini yang begitu luas dan tersusun dengan rapi dan teratur.
Termasuk dalam kategori lemah bagi Allah jika dikatakan bahwa, segala sesuatu terjadi semata-mata dengan adanya Allah (emanasi), artinya tanpa unsur kesengajaan atau kehendaknya. Juga dikategorikan lemah Allah, jika dikatakan bahwa segala sesuatu terjadi karena pengaruh tabi'at yang ada padanya, seperti tabiat panas yang terdapat pada api, seperti tabiat dingin yang terdapat pada air dan sebagainya.
Pendapat bahwa Allah menjadikan sesuatu melalui `illat (langsung terjadi tanpa pilihannya) atau menjadikan sesuatu melalui tabiat benda itu, akan berimplikasi kepada pemahaman; bahwa pada Allah tidak ada irâdah sama sekali dalam perbuatan-Nya. Di samping itu juga menimbulkan asumsi bahwa, alam ini bersifat qadîm dan baqâ’, sama halnya dengan Allah. Sedangkan kenyataan yang dilihat pada alam ini tidak lah demikian.
Akidah yang dianut oleh kelompok yang bernama Mulhidah bahwa alam ini qadîm dipengaruhi oleh pemahaman bahwa Allah menjadikan alam ini melalui `illat. Kelompok ini berkata bahwa tidak ada pada Allah sifat-sifat yang wajib pada-Nya termasuk sifat `ilm. Allah tidak mempunyai `ilm dalam pandangan falasafah Qudamâ’ (awal).

8. Mustahil atas Allah tidak punya `ilm
Mustahil atas Allah tidak punya `ilm atau ada sesuatu yang tidak diketahuinya dengan pasti, atau berbentuk prasangka, ragu, waham, alpa dan sebagainya. Kondisi ini, semuanya tergolong dalam makna jahil, semuanya mustahil terjadi pada Allah. Tidak dapat diterima oleh akal sehat, jika dikatakan bahwa Allah sebagai pencipta alam semesta, tidak mengetahui segala sesuatu dengan rinci dan pasti.

9. Mustahil pada Allah Mati
Mati adalah sifat wujûdîyah yang terdapat pada seseorang yang telah terenggut nyawanya. Hadirnya mati mencegah seseorang dari idrâk (mengetahui melalui akal pikiran). Mati dalam pandangan Ahlussunnah wal Jamaah adalah sifat wujûdîyah dan mungkin dilihat dengan mata kepala. Allah berfirman dalam surat Al-Mulk ayat 2:

Artinya: (Allah) yang menjadikan mati dan hidup, supaya menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan hikmah penciptaan hidup dan mati, oleh karena ia diciptakan sebagai cobaan bagi manusia, maka sifat mati itu mustahil terjadi pada Allah.

10. Mustahil atas Allah Tuli.
Shumm (tidak mendengar) adalah sifat wujûdîyah yang mencegah seseorang untuk dapat mendengar disebabkan ada sesuatu yang mencegahnya atau berjauhan. Sifat shumm mustahil ada pada Allah, sebab sifat itu apabila terdapat pada manusia menjadikan yang bersangkutan kurang martabatnya. Maka apabila terdapat sifat shumm itu pada Allah, maka akan dapat menjadikan kekurangan pada Allah dan itu mustahil.

11. Mustahil atas Allah Buta (`Amy)
Buta adalah sifat wujûdîyah yang mencegah kemampuan penglihatan (pendapat Ahlussunnah). Allah sebagai pencipta alam yang cukup rapi dan teratur ini, tidak mungkin ada sifat buta pada-Nya, apalagi buta itu merupakan sifat kekurangan pada manusia sebagai makhluk. Maka kekurangan pada Allah itu sesuatu yang mustahil.
12. Mustahil atas Allah Bisu (Bukm)
Dalam pandangan Ahlussunnah, bisu adalah sifat wujûdîyah yang mencegah kemampuan berbicara, dan sifat ini diberi nama bisu. Tidak ada kalâm pada Allah atau diam dari bicara, atau bicara dalam bentuk huruf dan suara, adalah mustahil. Sebab kalâm dalam bentuk huruf dan suara tidak mungkin tanpa terputus-putus, terputusnya suara atau huruf adalah sama dengan tidak memiliki kalâm. Bisu adalah sifat kekurangan bagi Allah, derajat Allah yang cukup tinggi menghendaki tidak adanya sifat bisu pada-Nya.

13. Mustahil atas Allah bersyarikat
Syarikat bagi Allah artinya, ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah. Ada yang memberi bekas dalam menciptakan sesuatu perbuatan selain Allah dan ada orang lain yang bersifat sama dengan sifat Allah, semua itu adalah mustahil pada Allah. Meyakini adanya syarikat bagi Allah berarti syirik. Para ulama mengklasifikasikan syirik dalam tiga kategori, yaitu syirik pada zat Allah, syirik pada sifat Allah dan syirik pada perbuatan Allah. Ketiga-tiga syirik itu mustahil pada Allah.
Selain tiga belas sifat mustahil yang telah kami bahas di atas, ditambah lagi dengan sifat ma`nawîyah. Sifat ma`nawîyah yang wajib pada Allah adalah tujuh sifat, maka yang berlawanan dengan tujuh sifat itu adalah mustahil wujud pada-Nya. Oleh karenanya tujuh sifat yang berlawanan dengan sifat ma`nawîyah itu mustahil pula pada zat Allah. Maka dengan demikian jumlah sifat yang mustahil adanya pada Allah adalah dua puluh sifat.

III. Sifat yang Jâ’iz Adanya pada Allah
Adapun sifat yang jâ’iz adanya pada Allah hanya satu sifat, yaitu mengerjakan sesuatu yang mumkîn atau tidak mengerjakannya. Mengerjakan sesuatu yang mumkîn atau tidak mengerjakannya, tidak wajib bagi Allah.
Yang termasuk dalam bagian mumkîn adalah memberi balasan bagi orang yang taat, menyiksa orang yang berbuat maksiat, mengutus para rasul, memberi yang baik atau yang terbaik kepada hamba-Nya, dan sebagainya. Berikut ini kami nukilkan beberapa perbedaan akidah yang dianut oleh Ahlussunnah Wal Jamaah dan Mu`tazilah. Perbedaan ini menyangkut dengan sifat yang jâi’z pada Allah. Kelompok Ahlussunnah Wal Jamaah berkeyakinan bahwa:
1. Memberi balasan syurga bagi orang yang taat kepada Allah tidak wajib atas-Nya.
2. Memberi balasan azab neraka kepada orang yang berbuat maksiat tidak wajib atas Allah.
3. Mengutus para rasul untuk menyampaikan agama yang benar tidak wajib atas Allah.
4. Menjadikan yang baik atau yang terbaik bagi umat manusia tidak wajib atas Allah.
5. Melihat Allah dengan mata kepala manusia di hari kiamat dalam syurga adalah barang yang jâ’iz.

Kelompok Mu`tazilah berkata:
1. Memberi balasan syurga bagi yang taat kepada Allah adalah wajib atas Allah.
2. Memberikan balasan azab neraka kepada yang berbuat maksiat kepada Allah adalah wajib atas-Nya.
3. Mengutus para rasul untuk menyampaikan agama Allah wajib atas-Nya.
4. Menjadikan yang baik dan yang terbaik bagi manusia adalah wajib atas Allah.
5. Melihat Allah dalam syurga dengan mata kepala adalah mustahil dan tidak ada.

Lima masalah seperti yang tersebut di atas terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara akidah yang dianut oleh Ahlussunnah Wal Jamaah dengan akidah yang dianut oleh Mu`tazilah. Kelompok Ahlussunnah Wal Jamaah mendasarkan pendapatnya kepada firman Allah dalam surat al-Qiyâmah ayat 22-23:

Artinya: Wajah-wajah mereka pada hari itu (kiamat) berseri-seri. Kepada Tuhan-Nya mereka melihat.

Dalam ayat ini dengan jelas Allah menyatakan bahwa orang yang beriman akan melihat Allah SWT pada hari kiamat waktu mereka berada di dalam syurga. Melihat Allah dalam syurga adalah nikmat yang tertinggi. Allah berfirman:

Artinya: Tidak sekali-kali, sesungguhnya mereka (yang berkata tidak ada hari kiamat) pada hari itu, terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.

Dalam ayat ini Allah mengatakan bahwa mereka yang mendustakan (tidak percaya) terhadap adanya hari kiamat akan terdinding atau terhambat dari melihat Tuhan-Nya. Dalam ayat yang lain Allah menyampaikan:

Artinya: Salam penghormatan antara mereka, pada hari mereka menemui-Nya (Allah) adalah "salam" (sejahtera) dan Dia (Allah) menyediakan bagi mereka balasan yang mulia.

Dalam ayat ini Allah menyatakan akan ada pertemuan orang-orang beriman dengan Allah, bertemu tidak terjadi tanpa melihat-Nya. Jarîr ibn `Abdullâh Al-Bâjilî berkata:
Adalah kami duduk di sisi Rasulullah SAW, kala itu beliau melihat bulan purnama, maka beliau berkata: “Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhan kamu seperti kamu melihat bulan itu, tidak silau kamu melihatnya, kemudian bila kamu mampu serta tidak berat atas kamu mengerjakan shalat sebelum keluar matahari, dan sebelum terbenamnya, maka hendaklah kamu kerjakan, kemudian membaca ayat bacalah tasbih menyertai puji tuhan kamu sebelum keluar mata hari dan sesudahnya.(H.R. Bukhari dan Muslim)

Selain itu juga ada hadits lain yang juga memberitakan adanya pertemuan kaum muslimin dengan Allah:
Diterima dari Shuhib, ia berkata: membaca oleh Rasulullah SAW akan Firman Allah; "Berhak bagi mereka yang mengerjakan kebaikan itu tambahan". Rasul berkata, apabila telah masuk ahli syurga ke dalam syurga, dan ahli neraka dalam neraka, menyerukan oleh yang menyeru, wahai penghuni syurga, sesungguhnya bagi kamu di sisi Allah ada janji tambahan, bahwa Allah akan menunainya, mereka bertanya, apa janjinya, bukankah Allah telah memberatkan timbangan amal kebaikan kami. Tuhan telah memutihkan muka kami, telah memasukkan kami dalam syurga, dan melepaskan kami dari azab neraka. Rasul berkata, kemudian diangkatkan (dari mereka) hijab, maka melihat kepada zat Allah yang maha tinggi dan besar, (Rasul berkata) tidak ada lagi sesuatu yang rindu bagi mereka, selain melihatnya. (H.R. Muslim).

Berdasarkan ayat dan hadits tersebut di atas, maka Ahlussunnah menetapkan bahwa melihat Allah dalam syurga bagi orang yang beriman itu adalah jâ’iz dan akan terjadi. Perlu kami tambahkan di sini, beberapa perbedaan antara Ahlussunnah dan Mu`tazilah dalam masalah al-Quran:
1. Ahlussunnah berkata, al-Quran kalâmullâh, bukan makhluk.
2. Mu`tazilah berkata, al-Quran adalah makhluk.

Pada masa Imam Syâfi'î pendapat tentang al-Quran makhluk dikembangkan oleh Basyar al-Muraysî dan Hafs al-Fard. Pada masa Imam Ahmad ibn Hanbal dikembangkan oleh Ibn Abî Dawd dan didukung oleh dua orang kepala negara pada masa itu yaitu al-Ma`mûn, kemudian dilanjutkan oleh al-Watsîq.
Karena Imam Ahmad ibn Hanbal selalu berkata: "Al-Quran kalâmullâh, bukan makhluk", maka Imam Ahmad ibn Hanbal dipenjara dan disiksa dengan pemukulan selama dua puluh delapan bulan, penyiksaannya sampai pingsan dan mengalami lumpuh dan telanjang.
Pada masa kerajaan dipegang oleh al-Mutawakkil, baru Imam Ahmad dilepaskan dari penjara dan bebas. Pada waktu Imam Ahmad berada dalam penjara, terdapat di dalamnya seorang pencopet yang namanya, Abû al-Haytsam al-Aiyar, ia berkata: Wahai Ahmad, aku adalah pencopet, aku dipukuli sebanyak delapan belas ribu kali, agar aku mengaku, akan tetapi aku tidak mengaku, dan aku mengetahui bahwa aku ini salah, aku berkeyakinan bahwa kamu berada dalam kebenaran, aku sangat menaruh harapan, agar kamu tidak berubah dari pendirian dan perkataan kamu bahwa "Al-Quran itu kalâmullâh bukan makhluk". Atas nasehat pencopet tersebut, maka Imam Ahmad tidak merasa sakit akibat pemukulan, karena selalu mengingat perkataan pencopet tersebut dan berdo'a baginya. (Nûrul Abshâr 248/249/235).

b). Sifat yang Wajib, Mustahil dan Jâ’iz pada Rasul
Rasul adalah manusia yang diutus Allah kepada makhluk, untuk menyampaikan kepada mereka sesuatu yang diwahyukan Allah kepadanya. Syarat orang yang menjadi rasul adalah laki-laki, tidak pernah perempuan menjadi seorang rasul (ad-Dusûqî, 174). Adapun nabi adalah manusia yang diwahyukan syariat kepadanya, baik diperintah menyampaikan kepada makhluk atau tidak. Sebagian rasul memilliki kitab, syariat dan pembatalan syariat sebelumnya, namun ada pula yang memiliki syariat tapi tidak diberikan kitab, ada juga nabi yang memiliki syariat, tapi tidak menghapus syariat rasul sebelumnya.
I. Sifat yang Wajib pada Rasul
1. Shidîq (Benar)
Benar adalah sesuai perkataan dengan perbuatan. Seorang rasul wajib menyampaikan kepada umatnya sesuai dengan apa yang diwahyukan Allah kepadanya, juga sesuai antara perbuatan dan pernyataannya.
Seorang rasul dituntut untuk memiliki sifat benar, karena ketika menyampaikan risalahnya, umat menuntut bukti kebenaran risalahnya. Contohnya Nabi Musa AS, umat menuntutnya melakukan perlawanan terhadap ahli sihir, lalu Allah memberinya mu`jizat dengan tongkat yang dapat menjadi ular besar dan menelan semua ular-ular hasil sihir. Satu hal yang menakjubkan mereka, setelah ular-ular itu ditelan oleh tongkat Nabi Musa, bekasnya tidak ada lagi, padahal biasaannya setelah habis pertunjukan, tali-tali yang jadi ular tadi, kembali menjadi tali. Hal ini yang membuat mereka harus mengakui bahwa apa yang ditunjukkan oleh Nabi Musa bukan trik sihir.
Contoh lainnya adalah penyembuhan penyakit kusta, penyakit supak dan menghidupkan orang mati yang diberikan Allah kepada Nabi Isa AS. Umatnya pada waktu itu terdiri dari ahli pengobatan yang canggih, akan tetapi mereka tidak mampu mengobati penyakit kusta dan supak. Di waktu Nabi Isa menyampaikan kepada umatnya bahwa dia utusan Allah kepada mereka, umatnya menuntut bukti. Beliau ditantang untuk menyembuhkan penyakit kusta dan supak, serta menghidupkan orang mati. Tatkala Nabi Isa memintanya pada Allah, semuanya diberikan.
Allah menganugerahkan hal-hal yang luar biasa kepada para nabi-Nya sebagai pembenaran langsung dari Allah kepada para rasul tersebut. Dengan kata lain mereka adalah benar-benar rasul Allah, karena Allah telah menyatakan kebenaran mereka sebagai rasul Allah melalui pemberian mu`jizat. Seakan-akan Allah berkata, bahwa hamba-Ku ini benar-benar utusan-Ku kepada kamu.

2. Al-Amânah (Terpercaya)
Amanah bagi rasul adalah terpelihara lahir dan bathin mereka dari perbuatan yang makruh dan perbuatan yang haram, baik yang haram itu dosa kecil atau dosa besar, termasuk terpelihara dari hal-hal yang merendahkan martabatnya, baik dalam masa membawa misi kerasulan atau sebelum diangkat menjadi nabi. (ad-Dusûqî, 173).
Dengan kata lain, amanah adalah menyampaikan sesuatu sesuai dengan yang diperintahkan, suatu perintah yang kategorinya wajib, disampaikan kepada umatnya bahwa itu wajib. Begitu pula perintah dalam kategori sunat, dinyatakan sunat, yang haram dinyatakan haram, yang makruh dinyatakan makruh dan yang mubah dinyatakan mubah. Di pihak lain umat berkewajiban menerima sebagaimana yang disampaikan oleh rasul. Umat diwajibkan mengikuti segala jejak rasul dan semua sunnahnya.
Apabila sifat amanah tidak ada pada rasul, misalnya suatu perintah yang kategorinya wajib lalu disampaikannya sebagai sunat, atau sesuatu yang haram disampaikannya dalam kategori makruh, tentu akan berefek pada pemutarbalikan ketentuan hukum Allah. Sedangkan berubahnya hakikat suatu ketentuan atau berubah sifatnya adalah mustahil dalam pandangan akal. Oleh karenanya, amanah itu wajib pada rasul. Allah berfirman dalam surat Âli `Imrân ayat 31 :

Artinya: Katakanlah: “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kamu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Dalam ayat yang lain Allah berfirman:

Artinya: Katakanlah: “Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, bagi-Nya milik langit dan bumi, tidak ada yang berhak disembah selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) Nabi yang ummi, yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-Nya, dan ikutilah dia supaya kamu mendapat petunjuk”.

Hal senada juga disampaikan dalam ayat berikut:

Artinya: Yaitu mereka yang mengikuti rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis disisi mereka dalam Taurat dan Injil yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`rûf dan melarang mereka mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik, dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuangkan dari mereka beban-bebannya.

Tiga ayat yang kami kutip di atas menunjukkan agar umat manusia mengikuti apapun yang diperintahkan dan diteladankan oleh rasul-rasul Allah. Ayat-ayat ini memberikan jaminan akan kebenaran rasul.

3. Tablîgh (Menyampaikan)
Tablîgh adalah menyampaikan sesuatu yang diperintahkan kepada mereka untuk menyampaikannya kepada makhluk. Semua yang diperintah untuk disampaikan kepada makhluk, wajib mereka sampaikan, tidak satupun yang boleh mereka tinggalkan. Artinya rasul tidak boleh menyembunyikan sesuatu. Maka tablîgh adalah sifat yang wajib ada pada rasul.

4. Fathânah (Cerdik)
Fathânah adalah cerdas/cerdik, tidak mungkin seseorang menjadi rasul apabila mereka tidak mempunyai kecerdasan dalam menghadapi manusia, yang terdiri atas kelompok yang beragam, berbeda keturunan dan budayanya. Dari kecerdasan yang dimiliki itu tumbuh daya, siasat dan kebijaksanaan dalam penyampaian risalah. Nabi Muhammad SAW bersabda:

Artinya: Aku diperintahkan agar berbicara dengan manusia menurut ukuran akal yang ada pada mereka dan menempatkan mereka pada tingkatannya masing-masing.

Maka sifat fathânah merupakan kebutuhan yang mendasar pada seorang rasul, dengan adanya sifat fathânah mereka mampu melaksanakan tugas kerasulannya dengan baik.

II. Sifat yang Mustahil pada Rasul
Apabila pada rasul wajib adanya empat sifat yang telah kami sebutkan sebelumnya, maka sifat-sifat yang berlawanan dengan sifat yang wajib tersebut, mustahil ada pada mereka. Sifat-sifat itu adalah dusta, khianat (mengerjakan sesuatu yang dilarang baik haram atau makruh), menyembunyikan sesuatu yang diperintah untuk disampaikan, dan yang terakhir adalah tidak cerdas atau bodoh.

III. Sifat yang Jâ’iz pada Rasul
Adapun sifat yang boleh (Jâ’iz) adanya pada rasul adalah semua sifat yang ada pada manusia, di mana sifat itu tidak mengurangi martabat mereka yang tinggi. Contohnya sakit, lapar, makan, minum dan melakukan hubungan intim suami isteri. Sedangkan sifat yang tidak boleh ada pada rasul adalah seperti kusta, supak dan sebagainya.


C. MASALAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN AKIDAH
Berikut ini kami paparkan berberapa permasalahan yang berhubungan dengan akidah.

a). Syafâ'at
Menurut akidah Ahlussunnah Wal Jamaah bahwa syafâ`at pada para nabi, syafâ`at siddîqîn, syafâ`at para ulama dan syafâ`at para shâlihîn terhadap orang-orang yang beriman yang akan dimasukkan ke dalam neraka disebabkan maksiat yang diperbuatnya.
Setiap orang yang mempunyai kedudukan di sisi Allah dan beramal baik, baginya ada hak syafâ`at terhadap keluarganya, karabat dekatnya, kawan-kawan dekatnya dan kenalannya (Ihyâ’ `Ulûmuddîn jld. 10 h. 486). Allah SWT berfirman dalam surat adh-Dhuhâ:

Artinya: Sesungguhnya akan diberikan bagimu oleh Tuhanmu, kemudian kamu meridhainya.

Para ulama kalangan sahabat -antara lain Ibn `Abbâs- dalam menafsirkan ayat di atas, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pemberian Allah dalam ayat itu adalah diberikannya hak kepada Nabi Muhammad untuk memberi syafâ`at bagi umatnya (Hazzin, Jld. 10, h. 215).

Artinya: Diterima dari `Abdullâh ibn al-`Ash RA, sesungguhnya Nabi SAW mengangkat dua tangannya dan berkata: “Ya Allah! Umatku, umatku”, dan beliau menangis. Maka Allah `Azza wa Jallâ berkata, “Wahai Jibril, pergilah kamu kepada Muhammad dan tanyakan padanya, mengapa ia menangis, padahal Allah mengetahui”. Maka datang Jibril dan menanyakan pada Muhammad, maka Rasulullah mengabarkan kepadanya apa yang ia katakan padahal Allah telah mengetahuinya”. Maka Allah berkata kepada Jibril, “Pergilah kamu kepada Muhammad dan katakanlah baginya, sesungguhnya aku akan meridhai kamu, umatmu dan tidak menyakitimu”.

Dalam hadits yang lain diriwayatkan:

Artinya: Diterima dari Abî Hurayrah RA Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Bagi tiap-tiap rasul ada doa yang diterima Allah, maka semua nabi menyampaikan permohonannya. Sedangkan aku mempersiapkan doaku untuk memohon syafa`at bagi umatku pada hari kiamat. Maka syafâ`at itu akan tercapai insyâ’ Allâh, kepada siapa saja dari umatku yang meninggal dalam kondisi tidak menyekutukan (musyrik) Allah dengan sesuatu.

Kedua hadits di atas menafsirkan makna “pemberian yang diridha nabi”, seperti tersebut dalam ayat kelima surat adh-Dhuhâ, yaitu syafâ`at `azhm yang diberikan bagi Nabi Muhammad SAW. Pada waktu manusia berada di padang mahsyar, kondisinya tidak menentu arah dan tujuannya. Mereka menghadapi desak himpitan seluruh makhluk yang lahir dari awal dunia sampai akhirnya. Berada dalam tempat kecil, mengahadapi sengatan matahari yang cukup dekat dengan mereka, mereka tidak tahu kepada siapa harus mengadu. Semua rasul mulai dari Adam sampai ke Nabi Isa, tidak berani memberikan jaminan. Dalam suasana yang begitu mengerikan tiba-tiba muncul Nabi Muhammad SAW, membela nasib mereka dan menuntut syafâ`at kepada Allah SWT. Permintaan nabi kepada Allah SWT itu lah yang dinamakan Syafâ`at `Azhm (besar) sebagaimana tersebut dalam ayat 5 surat adh-Dhuhâ. Hal yang sama juga terdapat dalam hadits berikut:

Artinya: Diterima dari `Awf ibn Mâlik, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Datang kepadaku seseorang (Jibril) dari sisi Tuhanku, maka ia menyuruhku memilih antara masuknya setengah umatku ke dalam syurga, atau hak syafâ`at, maka aku memilih hak syafa'at. Maka syafâ`at itu akan terwujud -insyâ’ Allahu ta`âlâ- bagi semua orang yang mati dan dia tidak mempersyarikatkan Allah dengan sesuatu.

Tiga hadits yang telah kami kutip di atas, di samping sebagai tafsir bagi ayat kelima surat adh-Dhuhâ, juga menunjukkan bahwa orang yang beriman tidak kekal dalam neraka, walau dia telah berbuat dosa besar sekalipun. Mereka yang kekal diazab dalam neraka adalah orang kafir atau orang-orang yang di waktu meninggalnya telah keluar dari agama Islam (murtad). Demikianlah keyakinan kaum Ahlussunnah Wal Jamaah.
Berbeda dengan keyakinan kaum Mu`tazilah dan Khawârij. Sebahagian dari kelompok Mu`tazilah dan Khawârij tidak mengaku adanya syafâ`at, bahkan mereka mengingkari adanya syafâ`at, dan menolak keyakinan tidak kekalnya seorang muslim yang berdosa dari azab neraka. Pendapat mereka itu bertentangan dengan Firman Allah dalam surat al-Anbiyâ’ ayat 28:

Artinya: Allah mengetahui sesuatu yang berada di depan mereka (para rasul) dan di belakangnya, dan mereka tidak dapat memberikan syafâ`at kecuali bagi orang yang diridhai-Nya (Allah), karena ketakutan Allah sampai kasih sesamanya.


b). Aliran-aliran Pemikiran dalam Teologi Islam
Dalam kajian teologi Islam atau dikenal dengan Ilmu Kalam, aliran pemikiran teologi terpecah sampai tujuh puluh tiga aliran. Perpecahan ini memang telah lebih dahulu diramalkan oleh Rasulullah SAW. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah bersabda:

Artinya: Bahwasanya Bani Israil telah pecah atas tujuh puluh dua aliran, sedangkan ummatku akan pecah nantinya dalam tujuh puluh tiga firqah, semuanya masuk neraka kecuali satu. Sahabat-sahabat yang mendengar ucapan ini bertanya: “Siapakah yang satu itu Ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Yang satu itu ialah orang yang berpegang sebagaimana peganganku (i`tiqâd-ku) dan sahabat-sahabatku. (H.R. At-Tirmidzî).

Dari hadits ini, tergambar betapa dalam hal akidah, Islam akan terpecah, dan itu terbukti di masa kita sekarang. Untuk itu marilah kita melihat sekilas pintas firqah-firqah yang muncul itu.

1. Ahlussunnah Wal Jamaah
Salah satu di antara kelompok-kelompok tersebut adalah Ahlussunnah Wal Jamaah. Kelompok ini disebut pula al-Asy`arîyah, yaitu dibangsakan kepada Abû Hasan al-Asy`arî. Nama aslinya adalah `Alî ibn Ismâ`îl al-Asy`arî wafat tahun 324 Hijriyah. Di antara karangannya adalah Maqâlatul Islâmîyah Wakhtilâfil Mushallîn. Ia terkenal dengan ucapannya yang kemudian menjadi dasar yang spesifik bagi mazhabnya.

Artinya: Tuhan yang Maha Tinggi, mengetahui dengan `ilm, yang kuasa dengan qudrah, yang hidup dengan hayâh, yang berkehendak dengan irâdah, yang berkata dengan kalâm, yang mendengar dengan sam`, yang melihat dengan bashr, bagi Allah tentang baqâ’ perbedaan pendapat.

Perkataan Abû Hasan ini merupakan dasar pokok dalam akidah yang dianut oleh kelompok Ahlussunnah Wal Jamaah. Tentunya pembaca dapat dengan jelas melihat hubungan ucapan ini dengan aliran pemikiran Ahlussunnah Wal Jamaah. Karena pada bagian terdahulu kita telah membahas secukupnya tentang aliran pemikiran Ahlussunnah Wal Jamaah.

2. Al-Mu`tazilah
Firqah al-Mu`tazilah terpecah dalam dua belas kelompok aliran, yaitu:
1. Al- Wâshilîyah
Aliran ini dikembangkan oleh Abû Huzayfah, yaitu Wâshil ibn Athâ’ al-Ghazâl (131 H). Awalnya ia adalah salah seorang dari murid Hasan al-Bashrî. Ada empat pokok pikirannya yang sangat mendasar dan berbeda dengan Ahlussunnah yaitu:
a. Pada Allah tidak ada sifat yang diberi nama dengan `ilm, qudrah, irâdah dan hayâh.
b. Dua kelompok yang bermusuhan yaitu `Alî ibn Abî Thâlib dan Ashâbul Jamal serta Siffin, salah satu antara keduanya pasti salah (tidak ditentukan).
c. Tidak boleh dikatakan bahwa kejahatan dan zhalim itu perbuatan Allah. Allah tidak boleh meng-irâdah pada hamba-Nya sesuatu yang berbeda dengan perintah-Nya. Manusia melakukan sendiri perbuatannya, baik dan jelek.
d. Orang yang berbuat dosa besar bukan kafir dan bukan pula muslim. Dan mereka ditempatkan di neraka khusus, yaitu Manzilah bayna manzilataynî. Keempat pendapat itu ditolak oleh Hasan al-Bashrî (al-Milâl, 46, 47, 48, 49).

2. Al- Huzaylîyah
Al- Huzaylîyah adalah mazhab sahabat Abî Huzil, yaitu Hamdân ibn Huzil al-Alaf (135-226 H). Abî Huzil memiliki pandangan tersendiri dalam hal akidah, yang berbeda dengan kelompok lainnya, antara lain:
a. Allah mengetahui dengan ilmu, tetapi ilmu-Nya itu adalah zat-Nya.
b. Allah berkuasa dengan qudrah dan qudrah-Nya itu zat-Nya
c. Allah hidup dengan hayâh dan hayâh-Nya itu adalah zat-Nya. Artinya sifat ma`ânî tidak ada pada Allah.
d. Irâdah Allah bukan yang dikehendaki-Nya dan bukan perintah-Nya.
e. Kalam Allah sebagiannya tiada pada tempat yaitu “Kun” dan sebagiannya berada dalam tempat seperti perintah dan larangan.

Ada 7 (tujuh) perkataan lain bagi Abî Huzil yang berbeda dengan kawannya karena terlampau panjang, maka tidak disebutkan dalam `ajlah ini.

3. An-Nazhamiyah
Aliran an-Nazhamiyah adalah mereka yang mengikuti mazhab Ibrâhîm ibn Yasar ibn Hâni’ an-Nazham (231 H). Ia berkata, bahwa Allah itu tiada bersifat kuasa atas kejahatan dan maksiat, artinya kejahatan dan maksiat tiada dalam kuasa Allah. Ijmâ` ulama tidak menjadi hujjah (dalil syar`î). Bagi Ibrâhîm ibn Yasar ada 11 (sebelas) perkataan lain yang berbeda dengan kawan-kawannya.

4. Al-Khatabîyah
Al-Khatabîyah adalah mazhab sahabat Ahmad ibn Khâbith (w. 232 H). Di antara pemahaman yang dianutnya; Nabi Isa berlaku hukum ilâhiyah (ketuhanan).

5. Al-Basyarîyah
Ini adalah mazhab sahabat Basyar ibn Mu`tamar (226 H). Di antara perkataannya adalah; bahwa Allah mampu mengazab anak-anak, namun apabila Dia mengerjakannya, maka Allah menzhalimi mereka.

6. Al- Mu`ammarîyah
Mazhab ini didirikan sahabat Mu`ammar ibn `Abad as-Salâmî (w. 220 H). Di antara perkataannya adalah; bahwa tidak ada kadar baik dan kejahatan dari Allah.

7. Al-Murâdîyah
Al-Murâdîyah adalah mazhab sahabat `Isâ ibn Shâbih (w. 226 H). Di antara perkataannya adalah, bahwa Allah dapat berdusta dan menganiaya dan bila Dia mengerjakannya, maka Tuhan zhalim. Di samping itu, ia juga berpendapat bahwa manusia mampu membuat kitab seperti al-Quran.

8. Al-Tsumâmîyah
Al-Tsumâmîyah didirikan oleh Tsumâmah ibn Asy'asy an-Numayrî (w. 213 H). Di antara perkataannya, bahwa orang fasik kekal diazab dalam neraka.

9. Al-Hisyâmîyah
Al-Hisyâmîyah adalah mazhab Hisyâm ibn `Amr al- Fuwathî (w. 226 H). Di antara perkataannya adalah, bahwa Allah tidak menggalakkan iman bagi orang mukmin dan neraka serta syurga belum ada sekarang.

10. Al-Jâhidîyah
Al-Jâhidîyah adalah mazhab `Amr ibn Bahr al- Jâhid. Di antara perkataannya adalah, bahwa orang-orang yang diazab dalam neraka, tidak kekal di dalamnya.

11. Al-Khayâthiyah
Al-Khayâthiyah adalah mazhab yang didirikan oleh Abî Husayn ibn Abî `Amr al- Jahid (w. 300 H). Di antara perkataannya, adalah irâdah Allah bukan sifat yang berdiri pada-Nya.

12. Al- Jubbâ’iyah
Ini adalah aliran yang dikembangkan oleh pengikut Abî `Alî, yaitu Muhammad ibn `Abdul Wahhâb al-Jubbâ’î (w. 295 H) dan anaknya Abî Hâsyim `Abdus Salâm (w. 321 H). Di antara perkataannya, bahwa Allah ber-kalâm dengan kalâm yang dijadikan-Nya pada tempat. Hakikat kalâm adalah suara yang putus-putus dan tersusun dari beberapa huruf, oleh karenanya mereka berkeyakinan bahwa al-Quran itu makhluk. Al-Jubbâ’î berkata, makna Allah yang mendengar, yang melihat adalah Allah itu hidup dan tidak ada penyakit pada-Nya. Al-Jubbâ’î juga berpendirian bahwa keramat bagi awliyâ’ tidak ada, dan orang yang fâsiq, bukan mu’mîn dan bukan kâfir.

3. Al-Jabbârîyah
Pendapat al-Jabbârîyah yang sangat mendasar adalah, bahwa manusia tidak melakukan perbuatannya sendiri dan tidak memiliki kekuatan untuk berbuat sama sekali. Firqah al-Jabbârîyah terpecah kepada tiga firqah.
1. Al-Jahmîyah
Al-jahmîyah adalah pengikut Jahm ibn Shafwân (w. 124 H), dia berdomisili di Tirmidz, meninggal karena dibunuh oleh Muslim ibn Ahwaz di Marwin.
Di antara perkataannya adalah, bahwa tidak boleh Allah bersifat dengan sifat yang ada pada makhluk. Manusia tidak memiliki kemampuan berbuat dan tidak boleh bersifat dengan istithâ`ah (mampu/kuasa). Manusia dipaksa dalam melakukan perbuatannya (tidak berdaya meninggalkan perbuatannya). Syurga dan neraka akan musnah sesudah masuk ahlinya masing-masing.

2. An-Najjârîyah
An-Najjârîyah adalah kelompok Husin ibn Muhammad an-Najjâr. Wafat di Najjar pada tahun 230 H, di antara perkataannya adalah, bahwa kalâm Allah apabila dibaca adalah sifat, dan apabila ditulis adalah jism. Allah tidak dapat dilihat pada hari kiamat.

3. Ad-Darârîyah
Ad-Darârîyah adalah mazhab sahabat Dharâr ibn `Amr dan Hafs al-Fardh, keduanya berkata, bahwa makna mengetahui Allah adalah lawan jahil, makna kuasa Allah adalah lawan lemah.



4. Ash-Shifatîyah
As-Shifatîyah adalah kelompok yang menetapkan bahwa Allah memiliki sifat azalîyah, yaitu `Ilm, Qudrah, Irâdah, Hayâh, Sam`, Bashr, Kalâm, Jalâl, Ikrâm, Jûd, In`âm, `Izzah dan `Azhmah.
Mereka tidak membeda-bedakan antara sifat zat dan sifat af`âl. Selain dari itu mereka menetapkan pula sifat Jabbârîyah, seperti yad (tangan) dan wajh (muka), mereka tidak men-ta`wîl-kan ayat atau hadits yang menyebutkan sifat Jabbârîyah, karena mereka menetapkan adanya sifat bagi Allah. Sementara Mu`tazilah menafikan adanya sifat pada Allah, oleh karenanya mereka disebut Mu`atillah (artinya kosong). Jika memperhatikan lebih dalam, firqah Ash-Shifatîyah terdiri atas tiga kelompok, yaitu:
1. Al-Asy`arîyah
Mereka pengikut Abû Hasan al-Asy'arî (w. 324 H), dia adalah Imam Ahlussunnah Wal Jamaah, rincian mazhabnya telah diuraikan pada awal risalah ini.

2. Al-Musybihah
Al-Musybihah adalah sekelompok ulama salaf yang terdiri atas ulama hadits, seperti Ahmad ibn Hanbal, Dawd ibn `Alî al-Asfahânî, Mâlik ibn Anas, Muqâtil ibn Sulaymân dan ulama salaf lainnya. Semua mereka berkata, bahwa bagi Allah ada sifat, mereka itu tidak men-ta`wîl-kan ayat mutasyâbihât dan hadits yang mengindikasikan keserupaan Allah dengan makhluk, akan tetapi mereka tidak menyerupakan Allah dengan makhluk. Oleh karena itu kelompok ini termasuk dalam kelompok Ahlussunnah dan Ash-Shifatîyah.

3. Al-Karâmiyah
Al-Karâmiyah adalah kelompok sahabat Abî `Abdillâh, yaitu Muhammad ibn Karâm (w. 255 H). Di antara perkataannya itu adalah, bahwa Allah berada di atas 'Arasy dan menetap di sana. Allah bertubuh, Allah memiliki batas dan bertepi.
Kelompok ini terpecah atas dua belas firqah, awalnya ada enam kelompok yaitu: al-`Âbidiyah, at-Tawnîyah, az-Zarinîyah, al-Ishâqîyah, al- Wâhidîyah dan al-Haydîmîyah. Dasar mazhab mereka adalah tuduhan terhadap `Alî ibn Abî Thâlib, sebab `Alî diam sama sekali atas apa yang terjadi terhadap `Utsmân ibn `Affân. Pemahaman mereka ada yang sesuai dengan paham Ahlussunnah, ada yang sesuai dengan Mu`tazilah dan ada pula yang sesuai dengan paham Mujassimah.

5. Al-Khawârij
Al-Khawârij adalah setiap orang yang melawan pemerintah yang benar dan sah. Al-Murji`ah termasuk dalam firqah Khawârij dan begitu pula kelompok al-Waydîyah yang merupakan bagian dari Khawârij. Al-Khawârij terpecah atas delapan firqah:
1. Al-MuhâkamSah Ûlâ
Asal-usul kelompok ini adalah mereka yang melawan `Alî ibn Abî Thâlib, pada masa terjadi tahkîm Abû Mûsâ al-Asy`arî dan `Umar ibn al-`Ash. Mereka berkumpul di suatu tempat dalam wilayah Kufah yang bernama Harwak. Pemimpin mereka adalah `Abdullâh ibn Kauwak, `Itab ibn `Akwar, `Abdullâh ibn Yâsir, Yâsir ibn Abî `Asîm dan Harkus ibn Zhâhir. Jumlah pengikut mereka adalah dua belas ribu orang.

2. Al-Azâriqah
Yaitu pengikut Abî Râsyid ibn Azraq (w. 60 H). Di antara perkataannya adalah:
a. `Alî ibn Abî Thâlib itu kafir.
b. Perempuan dan anak kecil boleh dibunuh.
c. Orang yang telah berzina boleh tidak dirajam.
d. Anak seorang kafir/musyrik yang masih di bawah umur akan masuk neraka bersama bapaknya.
e. Allah boleh mengangkat seseorang menjadi nabi sedangkan Allah mengetahui bahwa orang itu akan kufur sesudahnya, atau orang itu adalah kafir sebelum menjadi nabi.

3. An-Najdat Al-`Azariyah
Mereka adalah pengikut Najdat, di antara perkataan mereka adalah, manusia tidak membutuhkan pemimpin pemerintahan (al-Imâmah), yang penting adalah adanya kesadaran antar sesama masyarakat.

4. Al-Bayhasiyah
Mereka pengikut Abî Bayhas al-Haytsam ibn Jâbir. Di antara pemahaman yang mereka anut adalah:
a. Belum Islam seseorang apabila tidak mengaku bahwa dia mengenal Allah, mengenal rasul-Nya dan mengenal sesuatu yang dibawa rasul-Nya dan tidak mengakui bahwa ada kepemimpinan bagi awliyâ’ (para wali) Allah.
b. Menurut mereka, iman adalah mengenal yang benar dan yang bathil.
c. Sesungguhnya ilmu, amal dan pengetahuan semuanya iman.

5. Al-`Afarîyah
Mereka adalah pengikut `Abdul Karîm ibn `Ajradî. Di antara pemahaman mereka adalah, bahwa orang yang mengerjakan dosa besar adalah kufur. Kelompok Al-`Afarîyah terpecah menjadi tujuh firqah:
a. Asy-Syu`aybîyah yaitu pengikut Syu`ayb ibn Muhammad.
b. Al-Hâzimîyah yaitu pengikut Hâzim ibn `Alî
c. As-Sâtîyah yaitu pengikut `Utsmân ibn Abî Sâtî.
d. Al-Maymûnîyah yaitu pengikut Maymûn ibn Khâlid.
e. Al- Hamzîyah yaitu pengikut Hamzah ibn Adrak.
f. Al- Khalîfiyah yaitu pengikut Alaf Al- Kârijî.
g. Al- Athrafiyah

6. Ats-Tsa`labah
Mereka pengikut Tsa`labah ibn `Amîr. Di antara pemahamannya, adalah wajib zakat atas budak apabila kaya, dan memberi zakat kepada budak walaupun kafir. Firqah ini terpecah tujuh ;
a. Al-Akhnâsîyah, yaitu pengikut Akhnâs ibn Qays.
b. Al-Ma`badîyah, yaitu pengikut Ma`bad ibn `Abdur Rahmân.
c. Ar-Rusyaydîyah, yaitu pengikut Râsyid at-Tûsî.
d. Asyaybânîyah, yaitu pengikut Syaybân ibn Salâmah.
e. Al-Mukarramîyah, yaitu pengikut Mukram ibn `Abdullâh al-Ajlî.
f. Al-Ma`lûmîyah wal-Majhûlîyah, di antara perkataan mereka adalah perbuatan seseorang adalah ciptaannya sendiri.
g. Al-Bad`îyah, yaitu pengikut Yahyâ ibn Asdam, di antara perkataannya adalah tidak boleh mengucapkan insyâ Allâh.

7. Al-Ibâthîyah
Al-Ibâthîyah adalah pengikut `Abdullâh ibn Ibâth. Di antara perkataan mereka adalah, orang yang mengerjakan dosa besar adalah orang yang menjauh dari Allah bukan orang beriman. Semua akan musnah apabila tiada lagi orang yang mukallaf. Orang-orang yang mengerjakan satu dosa besar telah kufur. Kelompok ini pecah menjadi tiga golongan, yaitu:
a. Al-Hafsîyah, yaitu pengikut Hafs ibn Abî Miqdâm, mereka berkata: antara syirik dan iman ada hal lain yaitu ma`rifah Allah dengan sendirinya, orang yang meminum arak, berzina dan mencuri adalah kafir. Dari kelompok ini kemudian pecah lagi dua golongan, yang menjadi golongan kedua dan ketiga dari Al-Ibâthîyah.
b. Al-Hâritsîyah, yaitu sahabat al-Hârits al-Ibâthî.
c. Al-Yâzidîyah, yaitu pengikut Yâzid ibn `Anîyah. Di antara perkataannya adalah, bahwa Allah akan membangkitkan seorang rasul dari bangsa selain Arab ('ajam).

8. Asfuriyah Az-Zayyâdîyah
Mereka adalah pengikut Zayyâd ibn `Asfar. Di antara perkataannya adalah:
a. Orang yang tidak mau ikut dalam peperangan tidak dihukum kafir.
b. Orang yang mengerjakan jenis dosa besar yang tidak ada ketentuan hadd-nya, dihukum kafir.
c. Wanita muslimah, boleh dinikahi oleh orang kafir yang berasal dalam kaumnya.
d. Syirik ada dua, pertama taat kepada syaythân dan kedua menyembah berhala.
e. Kufur ada dua macam, pertama ingkar nikmat, kedua ingkar kepada Tuhan.

Perlu juga kami tambahkan di sini profil beberapa pemimpin al-Khawârij , antara lain:
a. 'Ikrimah, Abû Harûn al-'Abdî, Abû Sya`ra`, dan Ismâ`îl ibn Sâmi` (Muta’akhirîn).
b. Al-Yaman ibn Rabah, Tsa`labî, Buhaysî,` Abdullâh ibn Yâzid, Muhammad ibn Harbî dan Yahyâ ibn Kâmil (Muta’akhirîn). Dan ada beberapa ahli syair lainnya.

6. Al-Murji’ah
Pemahaman yang mendasar dalam firqah al-Murji’ah adalah:
a. Apabila seseorang sudah beriman, maka melakukan perbuatan maksiat tidak merusak imannya sama sekali. Mereka menganalogikannya dengan kekufuran, di mana berbuat baik (taat) setelah kufur tidak berguna sedikit pun.
b. Seseorang yang berbuat dosa besar, selama ia masih berada dalam dunia, tidak boleh dikatakan sebagai isi neraka atau isi syurga.

Di lihat dari kecenderungan pemikirannya, kelompok Murji’ah terbagi empat, yaitu Murji’ah Khawârij, Murji’ah Qadarîyah, Murji’ah Jabbârîyah dan Murji’ah Khâlishah (tidak berpihak kemana-mana). Firqah Murji’ah terpecah menjadi enam kelompok, yaitu:
1. Al-Yunûsîyah
Al-Yunûsîyah adalah pengikut Yunûs ibn 'Uwun an-Numayrî. Di antara perkataannya adalah:
a. Iman adalah mengenal Allah, tunduk terhadap perintah Allah, meninggalkan takabur kepada Allah dan cinta dengan hati.
b. Yang mengenal Allah adalah Iblis tetapi dia takabur kepada Allah.
c. Yang dapat masuk syurga di antara orang-orang beriman adalah yang memiliki keikhlasan dan memiliki mahabbah, bukan dengan amal dan taat.

2. Al-`Ubaydîyah
Mereka adalah pengikut `Ubayd ibn Muktab. Di antara perkataannya adalah; manusia yang mati dalam tauhid, tidak akan dimudharatkan oleh apa saja yang dikerjakan semasa hidupnya. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa Allah berbentuk rupa insan.

3. Al-Ghassânîyah
Al-Ghassânîyah adalah kelompok pengikut Ghassân al-Kûfî. Di antara perkataannya adalah, sesungguhnya iman itu ma`rifah Allah SWT dan Rasul-Nya serta pengakuan terhadap semua yang diturunkan Allah dan dibawa oleh Rasul. Perkataannya yang lain adalah: “Aku mengetahui bahwa Allah telah mewajibkan haji ke Ka`bah, sedangkan aku tidak mengetahui Ka`bah itu di mana, mungkin di Hindi”.

4. Ats-Tsawbânîyah
Mereka pengikut Abî Tsawbân al-Marjî, mereka berkata, iman adalah ma`rifah dan pengakuan terhadap Allah dan rasul-Nya. Di samping itu, bagian dari iman juga pengakuan terhadap segala sesuatu yang boleh dan tidak boleh dikerjakan dalam pandangan akal.

5. At-Tawminîyah
At-Tawminîyah adalah pengikut Mu`âz At-Tawmî, mereka berkata bahwa, iman adalah sesuatu yang memelihara diri dari kufur. Menurut mereka, iman adalah nama dari sesuatu yang apabila ditinggalkan oleh seseorang, maka ia menjadi kufur.

6. Ash-Shâlihîyah
Ash-Shâlihîyah adalah pengikut Shâlih ibn `Umarâ’ Ash-Shâlihî. Mereka berkata, iman adalah ma`rifah Allah, sedangkan kufur adalah jahil terhadapnya. Orang yang berkata bahwa Tuhan adalah yang ketiga dari tiga bukanlah kafir, tetapi perkataan itu tidak akan keluar kecuali dari kafir. Menurut mereka, ma`rifah Allah adalah cinta dan tunduk kepada-Nya.



7. Asy-Syî`ah
Syî`ah adalah kelompok yang menghormati `Alî ibn Abî Thâlib secara khusus. Mereka berpendapat antara lain:
a. `Alî ibn Abî Thâlib menjadi khalifah dengan nash dan wasiat dari Rasul, baik dari nash yang nyata atau tersembunyi.
b. Bahwa imâmah berada dalam hak keturunan `Alî ibn Abî Thâlib. Apabila imâmah jatuh kepada selain keturunan`Alî, maka itu adalah kezhaliman.
c. Imâmah bukanlah urusan kemaslahatan 'âmmah, dan imâm tidak boleh dipilih melalui pemilihan umum.
d. Imâmah urusan ushûlîyah dan rukun agama, oleh karena itu tidak boleh bagi rasul membiarkan dan menyerahkannya kepada umum.
e. Semua orang yang menjadi imâm (kepala pemerintahan) wajib terpelihara dari dosa baik kecil maupun besar.

Dalam perkembangannya kemudian, Syî'ah terpecah menjadi lima kelompok besar, yaitu:
1. Kaysânîyah
Mereka pengikut Kaysân yang merupakan bekas budak `Alî ibn Abî Thâlib. Mereka ber-i`tiqâd terhadap Ali secara berlebihan, yaitu ilmu yang dimiliki `Alî itu meliputi semuanya. Mereka berkeyakinan bahwa agama adalah taat kepada seseorang. Rukun Islam yang terdiri atas shalat, puasa, mengeluarkan zakat dan haji adalah seorang laki-laki. Firqah ini terpecah menjadi empat:
a. Mukhtarîyah
Mukhtarîyah adalah pengikut Mukhtar ibn Abî `Ubayd Ats-Tsaqâfî. Ia berkata, bahwa Muhammad ibn Hanafiyah adalah kepala pemerintahan sesudah `Alî ibn Abî Thâlib. Sedangkan Muhammad ibn Hanafiyah menolak dan melepaskan diri dari perkataan itu.

b. Hâsyîmîyah
Mereka pengikut Hâsyîm ibn Muhammad ibn Hanafiyah mereka berkata Muhammad ibn Hanafiyah berpindah ke rahmat Allah dan ridha-Nya, dan imâmah berpindah kepada anaknya Abî Hâsyîm.

c. Bayânîyah
Bayânîyah ini adalah pengikut Bayân ibn Samân. Firqah ini mengatakan, bahwa imâmah berpindah dari Abî Hâsyîm kepada Bayân ibn Samân sesudah meninggalnya.
Kelompok ini yang cukup berlebihan terhadap `Alî, sehingga mereka berkata bahwa Amîrul Mukminîn `Alî itu Tuhan, bagian dari Tuhan bertempat pada diri `Alî. Tuhan bersatu pada tubuh `Alî. Oleh karenanya `Alî mengetahui hal yang ghaib, bahkan mampu mengalahkan kafir dalam pertempuran. Dengan ketuhanannya ia mampu mencabut pintu benteng pertahanan Khaybar, suara `Alî adalah halilintar dan tawanya adalah kilat. Tuhan berada dalam bentuk rupa manusia.

d. Rizâmîyah
Rizâmîyah adalah pengikut Rizâm ibn Razmî. Mereka berpendapat bahwa imâmah sesudah `Alî berpindah kepada anaknya Muhammad. Kemudian berpindah kepada anaknya Muhammad Ibrâhîm, kemudian berpindah kepada `Alî ibn `Abdullâh ibn `Abbâs melalui wasiat, kemudian berpindah kepada Muhammad ibn `Alî, kemudian berpindah kepada Ibrâhîm kawan Abî Muslim. Mereka berkata bahwa roh ketuhanan berada dalam tubuh Abî Muslim.

2. Az-Zaydîyah
Az-Zaydîyah pengikut Zayd ibn `Alî ibn Husayn ibn `Alî ibn Abî Thâlib. Mereka itu berkata, bahwa imâmah berada dalam keturunan Fathîmah binti Rasulullah, tidak boleh imâmah dipegang oleh orang lain. Mereka berkata, boleh ada dua kepala pemerintahan dalam satu wilayah. Firqah ini terpecah menjadi dua:
a. Sulaymânîyah
Yaitu pengikut Sulaymân ibn Jârir, mereka itu berkata, imâmah berada dalam musyawarah antara orang (makhlûq), imâmah bisa terangkat dengan bay`at dua orang yang terpilih. Mereka berkata, `Usmân ibn `Affân kafir, karena kejadian yang diadakannya, mereka mengkafirkan `Aysyah, Zubayr dan Thalhah dengan sebab memerangi `Alî.

b. Ash-Shâlihah - Batrîyah
Yaitu pengikut Hasan ibn Shâlih ibn Hayyî dan pengikut an-Nawwan Abtar. Mereka tidak mengambil kata tegas terhadap `Usmân ibn `Affân, apakah dia muslim atau kafir. `Alî ibn Abî Thâlib adalah manusia terbaik sesudah Rasulullah.

3. Al-Imâmîyah
Al-Imâmîyah adalah mereka yang berkata bahwa `Alî ibn Abî Thâlib adalah imâm sesudah Nabi SAW berdasarkan nash yang lahir. Dalam pandangan mereka, hal yang sangat penting, mendasar dan terpenting dalam agama Islam adalah penentuan imâmah. Firqah al-Imâmîyah terpecah menjadi tujuh firqah:
a. Al-Bâqirîyah al-Ja`farîyah
Mereka pengikut Muhammad ibn Bâqir ibn `Alî Zaynal `Abidîn dan pengikut anaknya Ja`far Sâdiq (Bâqir wafat tahun 114 H, Ja`far wafat tahum 148 H), mereka berkata bahwa Muhammad anaknya Ja`far adalah imam keduanya.

b. An-Nawûsîyah
Mereka pengikut Nawûs, mereka berkata bahwa Ja`far Sâdiq masih hidup dan tidak akan mati sebelum lahir pemerintahannya, dialah yang disebut al-Mahdi. `Alî ibn Abî Thâlib masih hidup dan akan keluar dari bumi serta memerintah dengan adil.

c. Al-Afthâhiyah
Kelompok ini berkata bahwa imâmah berpindah dari as-Sâdiq kepada anaknya `Abdullâh al-Afthah, yaitu anak tertua dari as-Sâdiq. Mereka berkata imâmah berada pada anak Ja`far as-Sâdiq yang tertua.

d. Asy-Syumathîyah
Pengikut Yahyâ ibn Abî Syumit, mereka berkata, sesungguh Ja`far berkata, kawan kamu bermain adalah dengan nama nabi kamu.

e. Al-Ismâ`îlîyah Al-Wâqifah
Mereka berkata, imâm sesudah Ja`far adalah Ismâ`îl melalui nash.

f. Al- Mûsâwiyah dan al-Mufadhdhalîyah
Mereka berkata, imâmah berada pada Mûsâ ibn Ja`far berdasarkan nash.

g. Al-Itsnâ `Asyarîyah
Mereka berkata, bahwa imâmah sesudah Mûsâ Kâzhim berada pada anaknya `Alî Ridhâ, sesudahnya Muhammad at-Tâqî al-Jawâd. Kemudian pada `Alî ibn Tâqî, kemudian pada al-Hasan al-`Asqarî, kemudian pada anaknya Muhammad al-Qâ’im al-Muntazhar. Nama A’immah Itsnâ `Asyar menurut mereka adalah: al-Murtadhâ, al-Mujtabâ, asy-Syâhid, As-Sajad, al-Bâqir, ash-Shâdiq, al-Kâzhim, ar-Ridhâ, at-Tuqâ, an- Nuqâ, az- Zakâ dan al-Hujjah al-Muntazhar.

4. Al-Ghâlîyah
Al-Ghâlîyah adalah mereka yang berlebih-lebihan terhadap imâm mereka, sampai kepada tingkat menghukum ketuhanan kepada imâm-nya. Kadang malah menyerupakan imâm-nya dengan tuhan dan kadang menyerupakan tuhan dengan makhluk. Sikap berlebihan mereka mencakup dalam empat hal yaitu; tasybîh, bidâ`, ra'ah dan tanâsukh. Al-Ghâlîyah terpecah kepada sebelas firqah:
a. As-Sabânîyah
As-Sabânîyah adalah pengikut `Abdullâh ibn Sabâ’, ia berkata pada `Alî, engkau adalah Tuhan. Oleh karenanya `Alî membuangnya ke Madâ’in. Dia berkata, `Alî masih hidup dan tidak akan mati, padanya terdapat bagian ketuhanan.

b. Al-Kâmilîyah
Mereka pengikut Abî Kâmil, dia menghukum kufur para sahabat Rasulullah yang tidak membai'at `Alî.

c. Al-`Ulbâ’iyah
Al-`Ulbâ’iyah adalah pengikut 'Ulbâ’ ibn Zâri` ad-Dûsî. Di antara pemikirannya ialah, bahwa dirinya melebihi `Alî atas Nabi SAW. Mereka berkata, bahwa Allah mengutus Muhammad supaya menyeru umat kepada `Alî, tetapi Nabi Muhammad malah menyeru untuk dirinya.

d. Al-Mughîrîyah
Mereka adalah pengikut Mughîrah ibn Sa`îd al-`Ajlî. Pada awalnya ia mendakwakan imâmah bagi dirinya sesudah imâm Muhammad, kemudian ia mendakwakan nubûwah langsung bagi dirinya dan ia menghalalkan sesuatu yang haram.

e. Al-Manshûrîyah
Pengikut Manshûr al-'Ajlî, pada awalnya ia mengatakan bahwa dia adalah pengikut Abî Ja`far Muhammad ibn Abî al-Bâqir. Tatkala al-Bâqir menolak, maka ia berkata bahwa al-Bâqir adalah imâm, sesudah al-Bâqir meninggal dunia, imâmah berpindah kepadanya. Di antara perkataannya bahwa dia telah naik ke langit dan melihat ma`bûd (Allah) dan dia berjabat tangan dengan-Nya. Bahwa rasul tetap ada selama-lamanya dan risalahnya tidak putus.

f. Al-Khathâbîyah
Mereka adalah pengikut Abî Khathâb, namanya Muhammad ibn Abî Zaynal al-As`âdî. Di antara perkataannya bahwa yang menjadi imâm adalah para nabi. Ja`far ibn Muhammad itu adalah tuhan.

g. Al-Kayyâlîyah
Mereka adalah pengikut Ahmad ibn Kayyâl. Di antara perkataannya adalah, bahwa alam terbagi tiga, yaitu: alam akal, alam adnâ dan alam insani.

h. Al-Hisyâmîyah
Al-Hisyâmîyah adalah pengikut Hisyâm ibn Hikâm dan Hisyâm ibn Sâlim al-Jualiqî. Hisyâm berkata antara yang disembah dan semua jism ada persamaan. Allah mengetahui sesuatu setelah kejadiannya. Tidak boleh dikatakan bahwa kalâm Allah itu makhluk atau bukan makhluk. `Alî adalah Tuhan yang wajib ditaati.

i. An-Nu`mânîyah
Mereka pengikut Muhammad ibn Nu`mân (Abî Ja`far al-Ahwâl). Muhammad berkata, Allah tidak mengetahui sesuatu yang belum ada. Allah itu `alîm terhadap dirinya bukan jahîl. Tetapi hanya mengetahui sesuatu apabila telah men-taqdîr dan meng-irâdah-nya. Allah itu adalah cahaya dalam bentuk rupa manusia. Ibn Nu`mân menulis dalam kitabnya yang bernama If`al Lâ Taf`al.

j. Al-Yunûsîyah
Al-Yunûsîyah adalah pengikut Yunûs ibn `Abdur Rahmân al-Qummî (w. 150 H). Mereka berkata, malaikat membawa `Arasy dan `Arasy membawa Tuhan.

k. An-Nusayrîyah
Di antara perkataannya, adalah bahwa Allah itu lahir dalam rupa sesuatu atau orang-orang yang terbaik. Manusia yang terbaik sesudah rasul adalah `Alî, dan sesudahnya adalah anak-anak `Alî, maka Allah lahir dalam rupa mereka. Secara umum, an-Nusayrîyah lebih cenderung menetapkan bagian ketuhanan pada diri manusia, sedangkan Ishâqîyah cenderung kepada mensyarikatkan nubuwah.

5. Al-Ismâ'îlîyah
Firqah al-Ismâ'îlîyah adalah mereka yang menetapkan imâmah bagi Ismâ`îl ibn Ja`far yakni anaknya yang tertua. Firqah Ismâ`îlîyah berbeda pendapat tentang Ismâ`îl ibn Ja`far, di antaranya ada yang berpendapat:
a. Bahwa Ismâ`îl belum mati, secara lahiriah ia kelihatan mati, tapi kematiannya ini hanyalah sebagai siasat untuk menghindarkannya dari usaha pembunuhan.
b. Bahwa Ismâ`îl telah mati, hanya saja nash imâmah mengindikasikan agar imâmah berpindah kepada keturunannya.

Di samping itu, ada beberapa pemikiran yang dianut mereka, antara lain:
a. Barang siapa mati sebelum mengenal imam pada zamannya, maka ia mati seperti orang jahiliyah.
b. Hukum syariat tidak ada, baik hukum fardhu, sunat, haram, makruh dan mubah.

Firqah ini memiliki beberapa gelaran, di Irak mereka disebut al-Bâthinîyah, al-Qaramithîyah dan al-Muzakkiyah. Di Khurasan mereka disebut at-Ta`lîmîyah dan al-Mulhidah. Bâthinîyah Qâdimah berkata, kami tidak mengatakan Tuhan itu mawjûd dan tidak mengatakan tidak mawjûd, kami tidak mengatakan-Nya jahil dan tidak mengatakan-Nya 'alîm, demikian pula kuasa dan yang lemah.

TANBÎH:
Dari firqah-firqah yang telah diuraikan di atas hanya satu yang benar, yaitu Ahlussunnah Wal Jamaah, sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Abû Hasan al-Asy`arî. Sebab akidah Ahlussunnah Wal Jamaah sesuai dengan sunnah dan jamaah (akidah para sahabat rasul) dan sejalan dengan isi al-Quran.
Para ulama al-Mujtahidîn tidak berbeda dalam hal akidahnya, perbedaan di antara mereka hanyalah berkisar dalam masalah furu` syariat. Khususnya pada permasalahan yang tidak terdapat nash yang qath`î (jelas/pasti) tentang kedudukan hukumnya. Imâm Hanafî, Imâm Mâlikî, Imâm Syâfi'î, dan Imâm Ahmad ibn Hanbal sama dalam hal akidah. Akidah yang mereka anut adalah Ahlussunnah Wal Jamaah.
Akidah dan iman adalah dua rangkaian dasar, dan pokok dalam ushûluddîn. Keduanya merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Iman adalah keyakinan hati dengan sungguh-sungguh dan tidak ada keraguan sedikitpun terhadap enam perkara :
1. Percaya dan yakin dengan sungguh-sungguh, bahwa Allah itu ada.
2. Percaya dan yakin dengan sungguh-sungguh, bahwa malaikat-Nya ada dan mereka adalah makhluk yang tidak berbuat kesalahan kepada Allah SWT.
3. Percaya dan yakin dengan sungguh-sungguh, bahwa para rasul Allah itu ada, dengan tugas menyampaikan perintah Allah kepada alam semesta (`Âlamîn).
4. Percaya dan yakin dengan sungguh-sungguh, bahwa hari akhirat serta semua rangkaiannya (syurga, neraka, shirâth al-mustaqîm dan mizân serta bangkit di padang mahsyar) dan lain-lainnya ada.
5. Percaya dan yakin dengan sungguh-sungguh, terhadap kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada para rasul-Nya ada dan benar datang dari Allah.
6. Percaya dan yakin dengan sungguh-sungguh, terhadap qadar baik dan buruk terhadap seseorang telah ada dalam qadhâ Allah yakni, telah ada dalam ilmu dan hukum dan ketentuan Allah.

Berhubung yang telah tetap dalam ilmu dan keputusan Allah itu tidak berada dalam pengetahuan manusia, maka manusia diwajibkan beramal dan berusaha untuk menutupi kebutuhan dan kemaslahatannya. Apapun yang berhasil dan tercapai dengan usahanya, pada hakikatnya telah terdahulu dalam ketentuan Allah,yakni qadhâ-qadar-Nya.
Berkaitan dengan pembahasan ini, salah satu sumber yang menjadi dasarnya adalah hadits A`rabî:
Pada suatu hari, Jibril datang kepada Nabi dalam bentuk rupa orang Arab pedesaan, lalu duduk berhadapan dan lututnya bersentuhan dengan lutut Nabi SAW. Jibril berkata: “Wahai Rasulullah, apakah Islam itu?”, Rasul menjawab: “Engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan bahwasanya aku Rasulullah. Engkau mengerjakan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan berhajji ke Baytullâh jika engkau mampu”. Kemudian Jibril bertanya:”Apakah iman itu?”, Rasul menjawab: “Percaya kepada Allah, percaya kepada malaikat-Nya, percaya kepada semua kitab-Nya, percaya kepada semua rasul-Nya, percaya kepada hari akhir, dan percaya terhadap qadar baik dan jahatnya”. Mendengar jawaban itu, Jibril berkata: “Kamu benar”, lalu ia bertanya lagi: “Apakah ihsan itu?”. Nabi Saw. menjawab: “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya, Allah melihat kamu”. Jibril berkata: “Kamu benar”, kemudian ia bertanya lagi: “Kapan terjadinya kiamat?”. Nabi menjawab: “Tidaklah orang yang ditanyai itu lebih tahu dari yang bertanya”. Kemudian Jibril berdiri dan keluar, lalu Rasulullah memberitahukan, bahwa orang tersebut adalah Jibril, ia datang kepada kamu untuk mengajarkan tentang perkara agamamu”.

Dalam riwayat yang lain, ditambahkan tentang tanda-tanda kiamat, yaitu antara lain:
a. Apabila budak perempuan melahirkan tuannya.
b. Apabila orang-orang yang rendah martabatnya menjadi pemimpin manusia (kepala negara, kepala partai, kepala wilayah, dll.).
c. Apabila penduduk pedesaan telah beruluk-uluk dalam membangun rumahnya.

Ada lima hal yang tidak ada yang tidak diketahui manusia kecuali Allah. Kemudian Rasulullah SAW membaca: “Sesungguhnya Allah disisi-Nya ilmu tentang kiamat, turun hujan, anak yang sedang berada dalam rahim. Diterima dari Abî Sa`îd Al-Khudrî RA, dari Nabi SAW. Nabi berkata, masuk ahli syurga ke dalam syurga dan masuk ahli neraka ke dalam neraka, kemudian Allah berkata, keluar olehmu siapa saja yang ada dalam hatinya iman seberat biji-bijian yang sangat halus, kemudian mereka semuanya dikeluarkan darinya (neraka) semua mereka sudah hitam, maka mereka semuanya dimasukkan ke dalam sungai hayâh. Kemudian semua mereka tumbuh sama seperti tumbuh biji-bijian yang berada di tepi air banjir, apakah tidak kamu lihat bahwasanya (biji-bijian) keluar ia berwarna kuning lagi berkilau-kilauan.
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa orang-orang yang beriman diwaktu mati tidak kekal disiksa dalam neraka, walaupun mereka telah berbuat dosa besar di waktu sebelum mati. Sebesar manapun dosa yang telah mereka kerjakan itu, pada akhirnya dengan syafâ`at Nabi Muhammad SAW, mereka akan dikeluarkan dari siksa neraka.
Inilah akidah yang dianut oleh kelompok Ahlussunnah Wal Jamaah. Selain itu, hadits tersebut menunjukkan bahwa orang-orang yang mengerjakan dosa besar, tidak jadi kafir dengan pekerjaan itu, sebab apabila jadi kafir dengan mengerjakan dosa besar, maka mereka tidak dikeluarkan dari neraka selama-lamanya. Sedangkan hadits tersebut dengan jelas mengatakan bahwa mereka akan dikeluarkan dari neraka, selama mereka mempunyai iman di waktu mati.


D. PENUTUP
Permulaan penulisan risalah ini mulai tanggal 7 Rajab 1427 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 1 Agustus 2006 Miladiyah pada jam 17.00 Wib tepatnya hari Selasa. Selesai penulisannya pada hari Sabtu 28 Ramadhan 1427 Hijriyah bertepatan 21 Oktober 2006 Miladiyah tepatnya pada jam 15.28 WIB. Dimulai dan diakhiri penulisan risalah ini adalah di rumah pribadi penulis.
Kepada pembaca risalah ini diharapkan agar membetulinya dan memperbaikinya dengan sangat teliti dan cermat, apabila melihat ada kesalahannya, baik tulisan atau isinya. Harapan penulis jangan sekali-kali membacanya dengan emosional dan terus menyatakan salah. Karena semua yang saya tulis itu berasal dari isi beberapa kitab yang mu`tabarah. Harapan saya juga risalah ini memberi manfaat bagi pembacanya dan mendapat pahala bagi penulisnya dan bagi yang mencetak serta menyebarluaskannya.
Saya Tgk. H. M. Daud zamzami memohon ampunan apabila ada kesalahan dalam penulisan risalah ini. Hanya petunjuk Allah, ampunan-Nya dan ridha-Nya yang patut penulis harapkan di hari akhirat nanti, Amin.

Share/Bookmark

Artikel yang berkaitan



0 komentar:

Posting Komentar

komentar anda?