A.
PENDAHULUAN
Dalam kajian fiqh,
terdapat banyak sekali perbedaan antara laki-laki dan perempuan berkaitan
dengan bentuk pembebanan hukum (taklif) dan tata-cara pelaksanaannya. Al-Suyuthi
(w. 911 H), salah seorang ulama Syafl'iyyah menginventarisir kasus-kasus hukum
yang dikhususkan untuk wanita tidak kurang dari 120 kasus, yang tersebar dalam
beberapa bagian fiqh.[1]
Perbedaan ini
bukanlah bentuk diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam Islam,
sebagaimana yang dipahami oleh kalangan yang anti terhadap Islam. Tetapi
perbedaan ini timbul karena sistem ajaran Islam yang sangat melindungi hak dan
martabat wanita. Bukti nyata dalam hal ini adalah perubahan yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW terhadap tradisi-tradisi masyarakat Arab pra-Islam yang
merendahkan martabat wanita, dengan ajaran dan nilai-nilai Islam yang
mengangkat harkat dan martabat mereka.
Oleh karena itu, perbedaan bentuk taklif
dan tata-cara pelaksanaannya merupakan salah satu sisi yang bertujuan
melindungi serta menjaga harkat dan martabat wanita.
Dalam kaitannya
dengan fiqh ibadat, haji/umrah merupakan salah satu ibadat yang pada sebagian
bentuk hukum dan tata-cara pelaksanaannya membedakan antara laki-laki dan
wanita. Pembahasan berikut ini akan mengetengahkan tata-cara pelaksanaan
haji/umrah khusus untuk wanita, dengan merujuk kepada beberapa literatur fiqh
Syafiiyyah.
B.
PEMBAHASAN
Bentuk hukum dan
tata-cara pelaksanaan haji/umrah khusus untuk wanita dapat dirincikan sebagai
berikut:
1. Harus didampingi oleh mahram/suami, atau beberapa wanita
terpercaya. Ini merupakan salah satu syarat kesanggupan (istitha'ah)
bagi wanita, di mana istitha'ah itu tak lain adalah salah satu syarat
wajib haji/umrah. Artinya, jika syarat ini tidak terpenuhi maka seseorang
wanita tidak wajib menunaikan haji/umrah, karena dianggap tidak memiliki
kesanggupan. Meskipun demikian, jika seseorang wanita merasa yakin terhadap
keamanannya dalam melaksanakan haji atau umrah sendirinya (tanpa pendampingan),
maka dibolehkan melaksanakannya jika haji/umrah itu fardhu. Tetapi pelaksanaan
ini tidak bersifat wajib. hanya saja dibolehkan (jawaz).[2]
2. Harus mendapatkan izin suami bagi yang mempunyai suami, karena
melayani (khidmah) suami sifatnya segera. Sedangkan kewajiban haji/umrah
sifatnya bisa diundurkan pelaksanaannya (tarakhkhi).[3]
Jika seorang isteri melakukan ihram tanpa izin suaminya, maka boleh bagi sang
suami memaksanya ber-tahallul, dan terhadap isteri wajib ber-tahallul,
baik haji/umrah itu wajib atau sunnat. Seandainya isteri bersikeras tidak mau
ber-tahallul, padahal keadaannya memungkinkan ber-tahallul,
lantas suami menggaulinya, maka dalam hal ini isteri tersebutlah yang berdosa,
sedangkan suaminya tidak berdosa.[4]
3. Jika sedang ber-`iddah karena meninggal suami, haram
terhadap wanita berangkat menunaikan haji/umrah, jika pada saat meninggal
suaminya ia belum masuk ke dalam ihram. Adapun jika terdahulu ihramnya atas
meninggal suami, maka boleh baginya berangkat menunaikannya.[5]
4. Jika seorang wanita,
telah diceraikan dan sedang ber-`iddah, maka boleh bagi mantan suami
melarangnya menunaikan haji/umrah agar menyelesaikan ‘iddah-nya terlebih
dahulu. Seandainya wanita itu bersikeras pergi haji/umrah, maka dalam hal ini
tidak boleh bagi mantan suami memaksanya ber-tahallul jika ‘iddah
yang sedang dijalani merupakan ‘iddah dari talak ba-in.
Sebaliknya, jika ‘iddah itu raj'i, dan mantan suami pun me-ruju'
di dalam masa ‘iddah-nya, maka setelah ruju' dibolehkan bagi suami
memaksanya ber-tahallul.[6]
5. Disunnatkan terhadap wanita sebelum masuk ke dalam ihram
menggunakan inai pada dua telapak Langan sampai kepada pergelangannya. Demikian
juga disunnatkan menggunakan sedikit inai pada wajah agar menutupi warna
kulitnya. Adapun sesudah ihram maka dimakruhkan menggunakan inai.[7]
6. Dimakruhkan terhadap mereka mengucap talbiyyah dengan
suara yang keras. Tetapi cukup dengan ukuran mendengar oleh dirinya sendiri.[8]
7. Diharamkan terhadap
mereka menutup muka di dalam ihram, sama halnya seperti menutup kepala bagi
laki-laki. Adapun selain muka, maka wajib ditutupi.
8. Dibolehkan terhadap mereka mengulurkan kain dari kepala ke muka
dengan cara merenggangkannya dari muka dengan kayu atau lainnya, meskipun hal
dilakukan bukan karena suatu kebutuhan. Hukum ini bisa saja berubah menjadi
wajib jika is meyakini timbulnya fitnah dengan sebab membiarkan muka dalam
keadaan terbuka.[9]
9. Dibolehkan terhadap mereka di dalam ihram memakai pakaian yang
meliputi badan (muhith), kecuali sarong tangan (quffaz). Meskipun
demikian, jika ingin menutupi telapak tangannya, maka dibolehkan dengan cara
membalut kain yang lain di atasnya.[10]
10. Tidak disunnatkan terhadap mereka pada saat thawaf mengusap
Hajar Aswad (istilam). Demikian juga tidak disunnatkan mengecup, dan meletakkan
dahi kepadanya, kecuali dilakukan tiga hal tersebut pada saat sunyi area thawaf
dari kaum laki-laki.
11. Tidak disunnatkan terhadap mereka melakukan thawaf dengan
mendekat kepada ka'bah, kecuali pada saat sunyi area thawaf dari kaum laki-laki.[11]
12. Tidak disunnatkan terhadap mereka melakukan iththiba'.[12]
dan lari-lari kecil (raml) dalam thawaf. Kedua perbuatan ini bisa saja
berubah menjadi haram jika dilakukan dengan tujuan menyerupai laki-laki. [13]
13. Tidak disunnatkan terhadap mereka lari-lari kecil dalam sa'i,
tetapi cukup bagi mereka berjalan seperti biasanya saja. [14]
14. Disunnatkan terhadap
mereka dalam pelaksanaan wuquf untuk ber-wuquf pads pinggiran mauqif (tempat
wuquf). Artinya, kepada mereka tidak dianjurkan ber-wuquf pada tempat yang
dianjurkan ber-wuquf terhadap laki-laki, yakni pada batu besar tempat wuquf-nya
Rasulullah SAW. Demikian jugs tidak dianjurkan ber-wuquf pads tempat yang
berdesak-desakan dengan laki-laki.[15]
15. Disunnatkan terhadap mereka jika memungkinkan, agar berangkat ke
Mina sebelum terbit fajar untuk melempar jamrah 'aqabah pada hari ke-10
zulhijjah, karena menghindari dari berdesak-desakan. [16]
16. Disunnatkan terhadap mereka jika ingin menyembelih kurban atau
hadiah untuk mewakilkan penyembelihannya kepada laki-laki. [17]
17. Tidak disunnatkan terhadap mereka mencukur rambut ketika ber-tahallul,
tetapi cukup dengan menggunting saja.[18]
18. Tidak diwajibkan thawaf wida' terhadap mereka, jika saat
ingin meninggalkan Makkah mereka dalam keadaan haid atau nifas, tetapi
disunnatkan berdiri pada pintu masjid al-haram, dan memanjatkan doa yang
telah ditentukan.[19]
19. Jika datang haid atau nifas sebelum melakukan thawaf rukun (thawaf
ifadhah), dan tidak memungkinkan menetap di Makkah untuk menunggu datangnya
suci, maka kepada wanita seperti ini diberikan dua jalan keluar, yaitu: pertama,
langsung berangkat dari Makkah tanpa melakukan thawaf, lantas ketika
telah sampai pada satu tempat yang sukar untuk kembali lagi ke Makkah darinya,
maka mereka ber-tahallul di sini, sama seperti orang yang tertawan.
Sedangkan thawaf tetap wajib dalam tanggungannya. Kedua, melakukan
thawaf dalam kondisi haid atau nifas dengan cara ber-taqlid kepada Abu
Hanifah atau Ahmad ibn Hanbal, yang berpendapat boleh bagi wanita seperti ini
melakukan thawaf, dengan resiko menanggung dosa serta wajib menyembelih satu
unta. Berdasarkan pendapat ini, maka terlepaslah zimmah wanita ini dari
kewajiban thawaf.[20]
C.
KESIMPULAN
Dari berbagai
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pengkhususan tata cara pelaksanaan
haji/umrah terhadap kaum wanita dengan berbagai bentuknya, bertujuan untuk
menjaga dan melindungi mereka dari berbagai bentuk gangguan dan ketidak-nyamanan
mereka di dalam melakukan ibadat ini. Hal ini terlihat jelas dari alasan-alasan
hukum yang terdapat di dalam setiap rincian di atas. Alasan-alasan hukum yang
dapat ditangkap dari uraian tersebut selalu berorientasi kepada pemberian rasa
aman terhadap fisik, harta, dan kehormatan mereka. Dengan demikian, pembedaan
tata cara ini merupakan salah satu bentuk perhatian khusus dari syara' dalam
menjaga dan melindungi harkat dan martabat wanita.*****
D.
KEPUSTAKAAN
Al-Mahalli. Jalal al-Din. Karz
al-Raghibin 'ala Syarh Minhaj al-Thalibin, Jld. II Cet. 1, Kairo: Dar Ihya'
al-Kutub at-`Arabiyyah, 1923;
Al-Nawawi, Yahya ibn Syarf, Kitab al-Idhah
fi Manasik al-Hajj wa al-'Umrah, Cet. V, Makkah: Maktabah al-Imdadi ah 2003;
Al-Ramli, Syams al-Din Muhammad ibn Abi
al-'Abbas, Nihayah al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, Jld. III, Beirut: Dar
al-Fikr, 2004;
Al-Suyuthi, Jalal al-Din 'Abd al-Rahman, al-Asybah
wa al-Nazha'ir fi al-Furu', Cet. H, Jeddah: al-Haramain, 1960;
Ibrahim al-Bajuri, Hasyryah al-Bajuri
'ala Syarh ibn Qasim al-Ghazi 'ala Matn Abi Syuja', Jld. II, Jeddah:
al-Haramain, t.t;
Ibn Hajar al-Haytami, Syihab al-Din Ahmad,
Tuhfah al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, Jld. IV, Beirut: Dar al-Filer, t.t.
Tgk.
H. Hasanoel Bashry H.G
Rumah
:
Jln.
Iskandar Muda No.11
Mesjid
raya, Samalanga 24264 Aceh
Hp.
085260921949
Email:
abu_mudi@yahoo.com
Facebook:
http://www.facebook.com/abu.mudi
Kantor:
Komplek
Dayah LPI MUDI
Mesjid
raya, Samalanga 24264 Aceh
Flexi.
(0644) 7000349
Website
: www.al-aziziyah.com
[1]
Al-Suyuthi, Jalal al-Din 'Abd al-Rahman, al-Asybah wa al-Nazhairfi al-Furu',
Cet. II, (Jeddah: al-Haramain, 1960), hlm. 151-152
[2]
Ibn Hajar al-Haytami, Syihab al-Din Ahmad, Tuhfah at-Muhtaj bi Syarh
al-Minhaj, J1d. IV, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 24-25
[3]
Al-Ramli, Syams al-Din Muhammad ibn Abi al-`Abbas, Nihayah al-Muhlaj bi
Syarh al-Minhaj, Jid. III, (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), hlm. 251
[4]
A]-Ramli, Nihayah..., hlm. 368
[5]
Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri 'ala Syarh Ibn Qasim al-Ghiri 'ala
Matn Abi Syuja', Jld. II, (Jeddah: al-Haramain, U), hlm. 177
[6]
Al-Nawawi, Yahya ibn Syarf, Kitab al-ldhah fi Manasik al-Haj wa al-'Umrah,
Cet. V, (Makkah: Maktabah at-lmdadiyyah. 2003), hlm. 51
[7]
A]-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 129
[8]
AI-Nawawi, Kitab al-ldhah..., hlm. 144
[9]
AI-Nawawi. Kitab al-ldhah..., hlm. 152
[10]
ibn Hajar at-Haytami, Tuhfah..., hlm. 165
[11]
Ibn Hajar al-Haytami, Tuhfah..., hlm. 84. Lihat juga, Al-Nawawi, Kitab
al-Idhah..., hlm. 236
[12]
Iththiba' adalah menjadikan bagian tengah kain rida' atau kain
penutup badan berada dibawah bahu kanan, tepatnya dibawah ketiak kanan, dan
membiarkan bagian atas bahu kanan dalam keadaan terbuka. Sedangkan dues ujung
kain tersebut ditempatkan di stns bahu kiri. Lihat, Al-Nawawi, Kitab
al-Idhah.... hlm. 207
[13]
Al-Ramli, Nihayah..., hlm. 287
[14]
A1-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 260
[15]
Al-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 283
[16]
Al-Mahalli, Jalal al-Din, Karz al-Raghibin 'ala Syarh Minhaj al-Thalibin,
Jid. 11, Cet. 1, (Kairo: Dar lhya' al-Kutub al-`Arabiyyah, 1923), hlm. 116
[17]
A I-Nawawi, Kitab al-ldhah..., hlm. 331
[18]
Al-Nawawi, Kitab al-Idhah..., hlm. 348
[19]
AI-Nawawi, Kitab al-dhah..., hlm. 405-407
[20]
Ibn Hajar al-Haytami, Tuhfah..., hlm. 74-75
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar anda?